Tuesday, December 13, 2005

Melamun di Dom 16: sub tuum praesidium

25 Agustus 2005

peziarah

sejauh ini langkah kita
terendam air yang mengalir
di kaki Pyrenea
membasuh pedih dan duka
dihibur nyanyian Bunda


Pukul 7 pagi saya terjaga di tengah guncangan kereta yang melaju. Butuh waktu seketika untuk memulihkan kesadaran bahwa kami dalam perjalanan menuju Lourdes. Tempat ziarah itu. Tujuan yang tersimpan di angan-angan sejak beberapa waktu lalu. Tahun lalu, ada kegiatan kaum muda sedunia di Lourdes dan dihadiri almarhum Paus Yohanes Paulus II. Niat saya menjadi volunteer acara tersebut, sayang saya tak dapat mengikutinya. Belum jodoh kali ya...

7.45 kami turun dari kereta di stasiun Lourdes. Kereta masih akan meneruskan perjalanan, kalau tak salah ingat ke Tarbes. Kami menggotong bagasi dengan cerita lama: tak tahu mau ke mana... nowhere to go. Middle of nowhere. Mbak Ina diutus untuk menemui seorang biarawati yang kebetulan lewat di sana. Lalu kami menuju ke halte menunggu bus. Lama sekali busnya nggak muncul-muncul, menurut jadwal masih sekitar sejam lagi... Mbak Ina dan Agnes berniat menyewa taksi. Tapi saya usul bagaimana kalau berjalan kaki saja...

Jadilah kami berjalan kaki. Saya menggendong ransel. Mbak Ina menyeret koper. Agnes menjinjing tas. Benar-benar kami tak ada ide ke arah mana harus dituju. Papan penunjuk jalan yang menyebut “Grotte” [grotto: gua Lourdes] yang kami ikuti. Selain itu ada turis yang menunjuk tangga ke bawah jalan, jadi kami turun. Inilah jalan yang menuju ke grotto. Di sepanjang penuh dengan toko benda-benda suci dan restaurant maupun penginapan.

Tas dan koper ditaruh di pinggir jalan. Mbak Ina dan Agnes pergi mensurvei tarif penginapan di sekitar situ. Seperti biasa aku menjaga barang-barang... Lumayan lama juga, sehingga aku dapat memperhatikan pelayan restoran yang sedang masak dari jendela kaca, mobil yang diparkir di depanku [sehingga aku sempat diminta minggir sedikit], dan tarif menu yang tertulis di papan depan resto.

Saat mereka muncul, seperti yang lalu-lalu, kabar baik bahwa mereka sudah menemukan penginapan yang harganya terjangkau, nyaman dan aman. Lumayan, Hotel Julienne tarifnya Eur 44 semalam untuk 3 orang dengan 3 bed. Jadi kami berjalan menuju ke sana. Tas dan koper kami simpan dulu di kamar lain, karena katanya kamar yang akan kami tempati sedang dibersihkan.

Kami meneruskan acara jalan-jalan pagi itu. Meskipun rasanya sedikit aneh karena belum mandi, sikat gigi dan sarapan pagi, hehehe... Toko-toko benda suci yang berjejer di sepanjang jalan rasanya terlalu menggoda. Umumnya menjual rosario, medali suci, patung, gambar-gambar suci. Bila sudah memasuki setiap toko, pasti menemukan Palais de Rosari. Semacam supermarket benda suci! Ambil keranjang belanja dan silakan memilih-milih benda yang mau dibeli... ada banyak pilihan di sana. Harganya tertera di label, dan dijamin lebih rendah dari harga toko lain... hehehe, promosi nih! Tapi sungguhan, toko Palais de Rosari is very recommended bagi peziarah yang bingung memilih toko.

Di sana saya membeli rosario yang khusus dipesan Manfred tempo hari di bandara Frankfurt. Rosarionya berbentuk mawar berwarna biru dan mengeluarkan wangi tak habis-habisnya... Rosario itu untuk suster Pia dan suster Joannita OSF di Semarang.

Lourdes hall
Kemudian kami terus berjalan sampai ke lokasi halaman gereja Lourdes. Pemandangan bukit-bukit terlihat indah di kejauhan. Jalan masuk berbentuk lingkaran dengan salib di tengah seolah menyambut kedatangan setiap peziarah. Ada kotak donasi ditaruh di sana, dalam rangka Perayaan 150 tahun Penampakan Bunda Maria kepada St Bernadette pada tahun 2008. Saya memasukkan koin euro di sana sambil berdoa semoga dapat mengikuti Jubileum tersebut.

Lalu kami berjalan balik menuju ke hotel. Namun toko-toko tersebut sangat menggoda. Apalagi bila pelayan toko pandai menjual, maka calon pembeli seolah tak dapat dilepas sebelum berbelanja. Mbak Ina kepingin sekali membeli pendant Lourdes lapis emas 18 karat seharga Eur 29,5 dengan kalungnya. Kata pelayan toko produk macam itu hanya dijual di Lourdes, sangat bermakna bila dibawa pulang ke Indonesia... hmmmh.

Tiba di hotel pukul 12 siang. Acara mandi dan mengatur-atur barang, lalu istirahat.

Pukul 15 bangun, siap-siap untuk jalan lagi. Cari makan dulu karena lapar niih... kami masuk di cafe dan memesan pizza 2 pan. Soalnya beberapa restoran yang kami jumpai sudah tidak lagi menyediakan makanan berat [makan siang] bagi peziarah yang kelaparan macam kami... Pizza lumayan jadi pengganjal perut. Meskipun pizzanya sangat tipis dan toppingnya tidak seramai pizza di Indo. Pelayannya seorang pria berkepala gundul, dia sangat atraktif dan ramah melayani setiap pengunjung. Bila tamunya orang Italia, maka dia pun berbahasa Italiano.

Lourdes churches
Setelah itu kami berjalan ke halaman gereja Lourdes. Ina pergi ke tempat pengakuan dosa. Jadi saya dan Agnes menunggu di halaman. Melihat-lihat setiap peziarah yang berfoto-foto di depan salib dan patung bunda Maria. Setelah beberapa saat Mbak Ina belum muncul juga, kami mencarinya di tempat pengakuan dosa. Tempatnya berupa gedung dengan beberapa kamar dan ruang tunggu seperti klinik. Di depan pintu tertulis nama imam yang melayani pengakuan dan bahasa yang dipakainya. Mbak Ina tidak kelihatan di sana, jadi kami ke luar menuju ke sumber air.

Tersedia keran-keran air yang siap mengisi botol-botol yang dibawa peziarah. Ataupun untuk sekedar membasuh muka. Segar sekali airnya. Beberapa botol yang dibeli di toko tadi diisi penuh. Saya tidak berani membeli banyak botol, kuatir ransel semakin bertambah berat. Bagasi yang diizinkan Ryan Air sangat pelit, cuma 20kg.

Setelah itu kami berjalan masuk ke dalam antrian menuju ke grotto.

Inilah moment of truth.
Sebelum berangkat dari Jakarta, saya membuat pengakuan dosa pada imam. Pengakuan dosa tersebut berupa obrolan di pastoran mengenai masalah yang saya hadapi sebelum berangkat. Pimpinan tempat kerja saya tidak mengijinkan saya pergi. Padahal beberapa bulan sebelumnya saya telah membuat surat permohonan izin untuk mengurus visa di kedutaan Jerman di Jakarta, tiket pesawat untuk menjadi relawan WYD2005. Setelah tawar menawar dengan pimpinan, saya diijinkan pergi dengan catatan cuti tahun depan dipotong. Visa telah kupegang, tiket pesawat juga. Namun mengapa sekarang prosedur dibuat sulit? Malahan dengan ancaman sanksi berat...

Imam pengakuan memberi saya penitensi untuk berdoa rosario di depan grotto. Katanya saya harus berdoa bagi orang-orang yang menyakiti hati dan mereka yang pernah saya sakiti hatinya. Itulah yang kulakukan sekarang di tengah antrian peziarah... bulir-bulir rosario bergulir. Kelebatan-kelebatan wajah setiap orang tampak dalam doaku, dan saat melihat wajah sang Bunda di grotto, air mataku ikut menetes. Ada rasa aneh yang sulit kujelaskan.
Kini anakmu datang, ya Bunda.
Sub tuum praesidium confugimus, Dei Genetrix!

Grotto
Batu padas grotto kusentuh. Inikah tempat di mana sang bunda menampakkan diri kepada gadis kecil Bernadette? Kupandangi wajah sang Bunda...
Peristiwa yang dialami St. Bernadette sesungguhnya bukanlah peristiwa menyenangkan. Dari buku yang kubaca, dia sempat dianggap gila, hilang ingatan, penyebar cerita bohong, dikucilkan bahkan setelah dia masuk biara. Dia menanggung sakit asma dan meninggal karena kanker tulang. Namun kalimatnya itu: “Rasanya saya rela menukarkan seluruh hidup demi untuk dapat melihat sekali lagi kemuliaan ilahi perempuan di grotto itu...”

Doa rosario saya teruskan sambil berjalan, mendaki ke atas bukit. Tiba di bukit, terdapat sebuah jalan yang harus diseberangi untuk menuju ke lokasi Jalan Salib. Kuatir kemalaman, jadi saya turun untuk mencari Agnes dan Mbak Ina.

Di halaman gereja kami menunggu prosesi lilin jam 20.30. Sebelum prosesi dimulai, saya menapak anak tangga ke menara gereja.

Golden Cross
Terdapat mahkota dengan salib terbuat dari emas. Gereja ini dibangun berdasarkan permintaan Bunda Maria melalui Bernadette. Namun, yang terdapat di dalam bangunan ini justru tiga gereja. Dapat dibayangkan luas dan megahnya.

procession
Pukul 20.30 kami bersiap-siap mengikuti prosesi lilin. Patung bunda ditaruh pada sebuah tandu yang diangkat beberapa perempuan. Orang-orang sakit dengan kursi roda berada di barisan paling depan. Beberapa relawan tampak mengatur peziarah supaya tertib.

Lilin-lilin dinyalakan. Doa rosario dimulai dalam aneka bahasa: Perancis, Inggris, Jerman, Spanyol, India dan bahkan juga Arab. Kami memegang lilin berjalan dalam perarakan sambil sesekali bernyanyi: “Ave, ave, Ave Maria...” Doa Salam Maria kudoakan dalam bahasa Indonesia. Memang terdengar rada aneh di antara massa berbahasa asing. Tapi bukankah Tuhan mendengarkan segala bangsa dan bahasa?

Perarakan berhenti di tengah lapangan. Seorang penyanyi perempuan bernyanyi solo: “Ave Maria” suaranya membelah kesenyapan malam. Setelah itu, Doa Malam dan diakhiri dengan lagu “Regina Caeli” [Salam, ya Ratu].

Pukul 22 kegiatan prosesi selesai. Kami berjalan pulang. Lilin-lilin yang kami pegang kami taruh di depan patung St. Bernadette yang sedang menggembalakan domba-domba.

Bernadette

perawan di grotto
memberkahimu
dengan senyum dan wangi bunga

miskinlah dunia,
miskinlah hati
saat dikau
mencabut rumput
memakannya,
dan membasuh lumpur
di parasmu nan lugu

sejauh ini
engkau mengekalkan cinta
di sana!

Friday, December 09, 2005

Melamun di Dom 15: the sound of silence

24 Agustus 2005

Pagi pukul 8 kami terjaga di tengah kamar hotel yang nyaman. Matahari bersinar terik di luar. Di bawah jendela hotel dapat terlihat keramaian jalan di bawah. Dari jendela kamar mandi lebih jelas lagi pemandangan, karena kepala dapat didongakkan keluar jendela. Restoran China yang ada di seberang jalan tampaknya menggoda. Namun waktu untuk menikmati Paris sisa sehari ini, karena malam nanti kami berangkat dengan kereta ke Lourdes, sehingga kami musti check-out pukul 12 siang. Jadi kami bermalas-malasan saja di kamar. Menikmati sarapan pagi mie instant, sosis babi gemuk dari Jerman, baguette tuna dan apel... sarapan komplit, bukan?

Tiba pukul 12 siang, barang-barang sudah kami kemas. Beberapa harus ditinggalkan supaya ransel dan koper tidak berat. Bayangin, Mbak Ina sampai meninggalkan kopi ginseng CNI-nya berbungkus-bungkus di kamar. Lalu kami turun ke front office untuk check-out. Petugasnya sangat ramah. Kami diberi ruang penitipan koper dan ransel, sehingga kami dapat pergi berjalan-jalan seharian tanpa perlu repot membawanya. Selain itu, sempat kutanyakan letak Beauvaix airport tempat Ryan Air mendarat. Karena tiket pulangku melalui Paris, sehingga dari Roma aku musti balik ke Paris. Bila lancar, dari Roma ke Paris naik pesawat pagi, terus langsung ke bandara Charles de Gaulle mengejar pesawat jam 12 siang ke Jakarta.

Ya ampun, ternyata bandara Beauvaix itu jauh amirr dari Paris. Persisnya berada di luar kota, seperti jarak kota Bogor dengan Jakarta deh... resepsionis hotel coba membantu saya mencari informasi transportasi apa yang bisa menyelamatkanku mengejar pesawat siang. Namun, katanya nihil. Selain itu, mbak Ina perlu mengkonfirmasi tanggal kepulangannya dari Roma.

Maka tujuan acara jalan-jalan kami siang itu yang pertama adalah ke kantor Malaysia Airlines. Petugas hotel Francais dengan baik hati memberikan alamat dan menunjukkan rute ke perwakilan MAS di Paris. Naik Metro kami menuju ke sana. Tiba di alamat yang dituju, ternyata kantor MAS tersebut bukanlah yang dimaksud. Kami diarahkan ke alamat lain. Maka kami pun berjalan lagi, mencari kantor MAS yang sesungguhnya untuk urusan tiket.

Akhirnya sampai juga. Nah ini dia yang mengejutkan, dari rencana mengatur hari kepulangan itu, Mr. Philippe, petugas MAS menemukan bahwa tiket saya sudah tidak lengkap. Kupon tiket KL-Jakarta telah raib. Terjadi keributan, karena saya merasa tidak lalai menjaga tiket tersebut. Mereka senantiasa tersimpan dalam ‘kantong ajaib’ yang kugantung di leher dan kudekap selalu. Teringat akan kejadian waktu mendarat di KL, kuceritakan bahwa kemungkinan petugas bandara KL yang telah merobek kupon tersebut.

Mr. Philippe menjanjikan akan mengontak kantor MAS Jakarta dan Malaysia mengenai hal ini. Sehingga tanggal kepulanganku harus diundurkan satu hari, dan tetap melalui Paris. Tidak bisa reroute melalui Roma.

Sebelum kami meninggalkan kantor MAS, mbak Ina sempat menanyakan di mana letak kamar kecil. Dengan ramah Mr. Philippe menunjukkan toilet umum menggunakan koin yang terletak di luar. Persis di trotoar depan kantor. Lalu mbak Ina pergi dengan misuh-misuh... hehehe.

Kami berjalan menuju ke Galeria Lafayette. Inilah pusat perbelanjaan mode kaum borjuis. Kami pun masuk sambil memperhatikan aksesoris yang dipajang di sana. Mbak Ina menemukan toilet. Sekalian saya mengisi botol air minum di keran air minum yang tersedia di situ.

Lalu kami keluar menyeberangi jalan. Ada sebuah kedai souvenir. Bila dibandingkan dengan kedai serupa di sekitar Eiffel, harga yang ditawarkan di sini jauh lebih murah. Apalagi penjualnya orang Vietnam yang fasih sepotong-sepotong berbahasa Indonesia. Tentu kami bukan orang Indonesia pertama yang dijumpainya di Paris.
Sekalian kami tanyakan padanya di mana letak restoran Asia. Maklum hari sudah siang, saatnya makan niih... dia menunjukkan arah jalan yang berbelok-belok. Cukup sulit kami menemukan tempat itu karena terdapat beberapa restoran di sana. Namun akhirnya ketemu juga. Dengan tarif Eur 6, makan siang dengan menu nasi dan lauk komplit.

Setelah itu, kami berniat kembali ke Galeria. Mbak Ina mau membeli tali ikat koper karena kuatir kopernya sudah sangat sesak. Saya diminta menunggu di lantai bawah, mereka menuju ke atas. Di bawah, saya berjalan melihat-lihat rak-rak parfum dengan aneka merek terkenal. Jangan tanya harganya... ratusan euro! Lalu di depan sana, ada butik Louis Vuitton. Bukankah ini yang disebut-sebut oleh ibu dari Makassar yang pertama kali kujumpai di kisah awal perjalanan? Tas produk Louis Vuitton yang harganya Eur 600-an itu? Alamak, harganya ampun-ampunan deh. Belum lagi penjaganya yang mengawasi ketat setiap calon pembeli. Setiap pembeli tidak boleh bertransaksi dua kali, dan diharuskan pakai kartu kredit.

Karena itu, aku segera ke luar butik Louis Vuitton dan berdiri menunggu Agnes dan mbak Ina.
Seorang lelaki berjas hitam mendekatiku. Dia langsung memegang pinggangku [menjepit di antara tulang iga] dan mendorongku ke luar dengan kasarnya. Saya langsung berseru: “I’m just waiting for my friends!” Pintu dibukanya, dan saya pun shock menyadari hal ini. Baru saja saya disuruh ke luar dari toko dengan cara demikian tidak sopan.
Maka saya pun kembali masuk ke dalam toko. Si jas hitam tampak berdiri di sana. Saya berjalan di sekitarnya sambil memandangnya tajam. Dia pura-pura seolah-olah saya tidak ada. Dan berjalan turun ke lantai dasar. Saya mengikutinya. Dia masuk ke ruangan. Saya kembali ke atas, lalu turun kembali.

Akhirnya dia keluar juga. Langsung kubilang: “Hey, watch out your manner, Sir! Saya tidak bisa menerima perlakuan tadi...”
Dia bertanya: Where are you from? Chinese?
[ada apa sih sampai dia menyebutku dari China?]
Langsung kujawab: I’m Indonesian.
Dia memintaku mengikutinya. Saat melintasi tempat peristiwa tadi, kulihat mbak Ina dan Agnes sudah ada di sana, dengan pikiran penuh pertanyaan ke mana dia mau membawaku, saya memutuskan meninggalkannya.

Really, he has made a bad day for me... sepanjang jalan aku mendongkol. Bagaimana bisa petugas itu memperlakukan dengan demikian kasar? Mbak Agnes mencoba menghibur. “Mungkin pekerjaan mengharuskan dia demikian, Ton... bayangkanlah dia juga seorang pegawai, dengan gaji seberapa yang diperolehnya...”
Iya, tapi itu bukan excuse untuk mengadili dan menghukum pengunjung dengan cara demikian.

Pengalaman ini dengan berat kuakui memperkaya perjalanan hidupku selanjutnya. Meski rasanya sulit diterima. Saya jadi belajar bersabar dan coba memahami hal yang sulit dimengerti.

Louvre
Kami berjalan dalam senyap di tengah Paris.
Kami sempat beristirahat di pelataran Museum Louvre. Memandangi matahari senja yang bersinar terik. Aku berbaring di dinding pualamnya. Lalu ada sepasang pengantin muda yang meminta saya memotretnya. Kami berjalan ke benteng pertahanan Perancis tempo dulu. Di sana ada dua perempuan backpacker yang tampak dekil sekali. Dijamin, mereka tentu petualang sejati. Mereka sedang asik menunjuk-nunjuk peta.

Dan akhirnya kami tiba di sebuah bukit. Terdapat gereja Sacre Coeur [Sacred Heart] di sana. Pemandangan kota Paris dapat terlihat dari atas bukit. Untuk mendakinya tersedia anak tangga dari batu. Taman bunga di sekitarnya.

Sacre Coeur
Saat masuk ke dalam gereja, misa sedang berlangsung. Komuni dibagikan, aku pun maju menyambut komuni. Lalu berjalan ke bangku belakang gereja. Berdoa di sana. Ada patung St. Michel [malaikat Mikael] yang berdiri gagah menghunuskan pedang pada si iblis. Beberapa lilin bernyala di depannya.

Lalu aku beranjak ke patung “Maria Stella Maris” [Maria Bintang Laut].
Pemandangan yang kulihat itulah yang menggerakkan hatiku, membuat airmataku tak tertahankan... Bunda Maria menggendong kanak-kanak Yesus di atas ombak ganas, sambil mengulurkan tangannya kepada seorang pemuda yang nyaris tenggelam. Betapa mengenaskan dan sekarang aku rasakan hal serupa... help me, or I am perished!

Setelah itu. Patung St. Antonius dari Padua yang menggendong kanak-kanak Yesus. Inilah santo yang kusebut sebagai pelindungku secara pribadi. Sosoknya kini berdiri di hadapanku, kusentuh jemari kakinya, sambil memohonkan mukjizat Tuhan. Bukankah dalam hidupnya dia diberkahi dengan karunia mukjizat?

Lalu patung berikutnya: Mother and Son. Maria dan kanak-kanak Yesus. Aku jadi teringat pada syair kuno tersebut: “sub tuum praesidium confugimus, Sancta Dei Genetrix”. Ke dalam perlindunganmu kami berlari, ya Santa Bunda Allah.
Sering doa ini kuubah menjadi, ke dalam pelukanmu kami anak-anakmu berlari, ya Santa Bunda Allah.

Ibarat tanah yang kering, gereja Sacre Coeur menyiramkan seember air sejuk di hatiku.
“Hati Kudus Yesus, jadikanlah hati kami seperti hatiMu...”

Saat hari telah senja, kami beranjak pergi. Kami harus kembali ke hotel untuk bersiap berangkat ke stasiun. Tak lupa membeli bekal: botol air minum, cheese burger McD [paling murah! Cuma Eur 0,95] dan salad.

Pukul 21 kami berangkat dengan Metro ke stasiun Paris Austerlitz dengan membawa ransel dan koper yang aujubillah... di Austerlitz kami duduk-dudk di lantai pojok menunggu jam 23 saat keberangkatan ke Lourdes. Serombongan anak muda melintas. Mereka dari Indonesia. Peserta WYD. Dengan tujuan sama: Lourdes. Maka kami ngobrol dengan ramainya. Katanya mereka ikut dengan rombongan KWI, di antara mereka ada yang bernama Abe. Meskipun ikut rombongan KWI, katanya mereka tetap bayar sendiri semua ongkos perjalanan. Yang mengejutkan, mereka cuma sebentar saja di Lourdes, besok pagi tiba, sore mereka sudah harus balik.
Waduh, nggak ikut prosesi lilin dong!

Kami dinner salad dan burger di lantai pojokan stasiun. Salad burger McD jadi kegemaranku, karena pakai sayur mayur yang rada aneh, plus tomat kecil-kecil, dan dressingnya pakai minyak zaitun yang dibungkus dalam sachet.

Pukul 23. Kami naik kereta. Perjalanan malam menggunakan kereta tidur [liegewagen]. Sekamar ada 6 bed. Mirip ruangan kelas III kapal laut. Tapi lebih sempit lagi, dan ada 3 bed bersusun di tiap sisi. Kebetulan sekamar kami berlima.

Disediakan botol air minum dan perkakas tidur: sumpal telinga dari karet. Jadi malam itu kami menjelajah menuju selatan Perancis dalam buaian kereta malam...

Hello darkness my old friend,
I come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while I was sleeping
And the vision that was planted in my brain
Still remains, within the sound of silence...

People talking without speaking
People hearing without listening ...

Tuesday, December 06, 2005

Melamun di Dom 14: Eiffel, we’re lost!

23 Agustus 2005

Maaf, kisah ini lama tersimpan dan baru kulanjutkan sekarang... so much things to do... hehehe. Baru kuteruskan saat aku duduk di depan meja komputer karena harus membuat sebuah laporan. Alih-alih membuat laporan, saat pikiranku buntu, kupikir lebih baik meneruskan kisah yang sempat terhenti ini yaa...

Ini adalah hari terakhir kami berada di Jerman. Dan kami bangun pagi telat! Pukul 6 pagi, Agnes dan mbak Ina ramai-ramai menyerbu masuk ke kamar... sesaat panik nih, seperti lagi digerebek tramtib. Mereka semalam tidur di kamar Armel, jadi aku tidur sendirian. Entah kenapa, weker gak bunyi. Harusnya jam 5 kami sudah harus bersiap-siap. Kereta kami akan berangkat pukul 7.16! Jadi waktu yang tersisa buat kami di pagi cerah itu 1 jam 16 menit.

Kebayang kan paniknya kami mengemasi barang-barang, cuci muka, sisiran seadanya, dan menggendong ransel dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sarapan? Forget it. Kami harus pamit segera pada Jerman, pada apartemen Armel dan jalan-jalan yang kami lewati selama ini menuju ke stasiun Koeln Hbf. Namun koper mbak Ina dan tas Agnes lumayan berat buat diangkat meniti anak tangga naik ke stasiun. Setelah tiba, kami harus turun tangga menuju ke peron keberangkatan.

7.16! kami berdesakan masuk ke dalam gerbong kereta Thalys yang akan mengantar menuju ke Paris. Susah payah menyeret koper di lorong gerbong yang cukup sempit. Lalu menyampirkan koper dan ransel ke bagasi di atas kursi. Fiiuuhh... kereta Thalys berangkat. Dan kami berpandangan seperti tak percaya. Perjalanan post-Koeln kami awali dengan serunya!

Kereta Thalys adalah kereta super cepat yang digunakan antarnegara: Jerman-Belgia dan Perancis. Saking cepatnya, pemandangan di luar jendela lekas sekali berlalu. Kukeluarkan buku Lonely Planet dan CD player untuk membunuh waktu. Mencari informasi mengenai Paris yang akan kami singgahi beberapa jam lagi. Sambil mendengarkan suara Sarah Brightman yang mendayu-dayu menyanyikan lagu “Time to say goodbye”. Lagu ini sangat berkesan bagiku saat diputar berulangkali di MetroTV mengiringi berita wafatnya Paus Yohanes Paulus II tempo hari.

Sebelum menuju Paris, kereta melewati Brussels. Sebetulnya pingin sekali mampir di sana, ada teman seorang romo SCJ yang ngajak mampir di biaranya... [Romo Purwanto, sori gak bisa mampir. Keretanya gak lama berhenti di Brussels sih].
Untung Agnes membawa bekal berupa camilan berupa semacam tingting kacang [aneka kacang dicampur: almond, pistachio, dll... nyam, enak sekali] dan hals bonbon. Sehingga kami cukup dapat menahan lapar.

Pukul 11.30 kereta kami tiba di Gare du Nord, Paris. Nggak sempat saya mengucapkan dengan noraknya: “Paris, I am in love!” seperti judul film itu, karena kami tiba di tempat asing ini tanpa tahu harus ke mana! Kebayang kan lucunya wajah 3 orang asing ini. Kami kebingungan musti mencari penginapan ke arah mana?
Untunglah, di antara kami, mbak Ina yang jago berbahasa Perancis. Dia coba tanya mengenai bagian Informasi ke petugas keamanan, tapi hasilnya nihil. Akhirnya, kami berjalan ke luar stasiun. Hujan rintik-rintik. Menyeberangi jalan, sepertinya di arah sana ada beberapa penginapan.

Di emperan, mbak Ina dan Agnes menyimpan bawaannya. Aku duduk menunggu. Mereka mau mengecek tarif hotel di sana. Jadi, aku cuma duduk di trotoar memandangi kendaraan yang lalu lalang. Juga orang-orang yang melewatiku.
Beberapa saat mereka kemudian muncul. Katanya ada hotel yang rada murah, tapi waktu mereka minta melihat kamar, ruangannya rada gelap dan scary. Jadi, gak jadi deh.

Eh, di sana tuh ada hotel Comfort, tunjukku.
Kami berangkat ke sana di tengah hujan. Mbak Ina bertanya pada resepsionis mengenai tarif. Sementara itu bau cat dan debu beterbangan menunjukkan bahwa hotel itu sedang direnovasi. Ya ampun, tarif kamarnya paling murah Eur 110 untuk bertiga!

Gak jadi deh... aku menjaga koper dan tas lagi. Agnes dan Ina akan pergi lebih jauh menyusuri jalan mencari penginapan.
Singkat kata, mereka akhirnya kembali dan mewartakan kabar baik ini. Ada sebuah hotel di sono, tarifnya cuma Eur 75 buat bertiga. Lumayan... kami pun beramai-ramai ke sana.

Nama hotelnya Francais, alamatnya di Rue du 8 Mai 1945 [aku belum bisa menyebutnya dalam bahasa Perancis, jadi semoga aku gak pernah nyasar dan ditanya alamat tinggal]. Lokasinya tepat di seberang Gare de L’est! Aku jadi salut pada Agnes dan Ina, bela-belain mereka jalan kaki di tengah hujan dan menemukan tempat ini... hehehe.

Setelah check-in di resepsionis, kami menuju ke kamar. Kamarnya bagus dan lengkap. Ada 3 bed, tempat setrikaan, kamar mandi dengan bathtub dan air hangat. Setelah merapikan barang-barang, masak Indomie, dan mandi, kami menikmati makan siang berupa Indomie dan sosis gemuk dari Jerman. Kami ngobrol sambil ketawa-tawa mengingat kejadian ajaib sepagi ini. Setelah itu, bobok... rasanya capek sekali.

Pukul 15 bangun. Kami berencana sesore ini berjalan ke Eiffel. Jadi kami naik bus ke Trocadero. Tarif bus Gare de L’est sampai Trocadero Eur 1,40 [jauh dekat sama saja tarifnya]. Trocadero adalah halte terakhir bus tersebut. Menyeberangi Trocadero, sampai di pelataran museum, maka di seberang sana terlihat menara Eiffel menjulang tinggi.

Eiffel
Turis-turis berfoto-foto di pelataran, kami pun juga. Lalu turun melewati taman, indah sekali penataan dan arsitekturnya, terutama patung-patung yang ada di sana.

me between them
Kemudian kami menyeberangi jalan menuju ke Eiffel. Berjalan di atas jembatan di atas sungai Seine, melihat-lihat perahu yang melintas di bawah. Mendongak ke atas, batangan-batangan baja Eiffel semakin tampak jelas. Kami mampir di kedai membelai sebungkus kentang goreng pakai saos tomat dan mayonaise, dimakan bertiga... anggap saja snack sore. Jangan tanya harganya yang Eur 3,50!

Image hosted by Photobucket.com
Mau naik Eiffel? Pakai lift apa yang pakai kaki? Pakai lift tarifnya lebih mahal daripada yang pakai kaki... Emoh ahh... jadi teringat sama tangga Dom. Jadi kami cuma melewati bagian bawah Eiffel dan taman-tamannya. Berjalan menuju Picquet. Di sana ada sebuah supermarket, sehingga kami dapat membeli air minum botolan, buah naktarien dan baguette isi tuna buat makan malam.

Kami melanjutkan perjalanan sore itu. Melewati Invalides, St. Germain [Ina sempat bertanya ke pejalan kaki kalau-kalau kami tersesat], St. Michel [dengan patung St. Michael yang gagah terbuat dari emas]... jalan jauh begini [hampir seperempat kota Paris loh!] mau ke mana? Sampai juga di tepi Sungai Seine, di sana terlihat sebuah gereja bersejarah itu: Katedral Notre Dame.

Di pelataran Notre Dame terlihat ramai sekali anak muda bernyanyi dalam lingkaran. Dari aksesoris [ransel dan kaos] yang mereka kenakan, jelas bahwa mereka anak-anak WYD2005 yang meneruskan perjalanan kemari. Kami duduk mengaso, menikmati baguette tuna dan air botolan... burung-burung merpati tampaknya menghuni taman di pelataran Notre Dame. Lalu ke mana si Hunchback? Esmeralda dan kelompok gipsy yang melewati kota Paris itu? Ah, kisah si bongkok dari Notre Dame itu begitu jelas membayang.

Notre Dame
Gargoyle di menara-menaranya segera menjadi incaran saat berfoto di depan katedral. Tidak itu saja, relief di dindingnya banyak menyimpan kisah kitab suci dan juga sejarah Paris.

Notre Dame
Ada papan pengumuman yang di pasang di pintu gereja, bahwa setiap malam jam 21.30 diadakan pemutaran film mengenai Notre Dame. Itulah yang membuat kami menunggu.

Roller Youth
Untuk membuang waktu, saya menuju ke jalan di samping gereja. Anak-anak muda Paris sedang memamerkan ketangkasan bersepatu roda, sambil sesekali mereka menggoda gadis-gadis yang lewat. Setiap kali pesepatu roda berhasil melewati rintangan, tepuk tangan meriah penonton, dan kotak derma diedarkan. Lalu pesepatu roda lainnya tidak mau kalah menunjukkan kebolehannya. Kadang dengan cara usil, memorakporandakan jejeran gelas yang harus dilewati lawannya... wah, asik juga yaa...

Pukul 21.30 pintu masuk Notre Dame dibuka. Sayang gelap gulita dengan penerang minim, sehingga interiornya tak terlihat jelas. Kami duduk di deretan bangku depan. Di udara di bawah langit-langit di bentangkan sebuah kain putih yang akan menjadi layar. Sebelum film diputar, diedarkan kotak derma. Film Notre Dame membeberkan sejarah 2000 tahun tempat ini berdiri sebagai saksi jatuh bangunnya kota Paris. Notre Dame [yang berarti “Our Lady”] telah menjadi ikon kota Paris, sehingga dalam momen-momen penting dunia, masyarakat berkumpul di sana untuk berdoa.

Bila kamu menonton film bioskop berjudul “Before Sunset”, ada sebuah pemandangan ketika mereka melintasi sungai Seine, sambil menunjuk ke Notre Dame dikisahkan bahwa pada waktu Perang Dunia, pasukan Jerman katanya telah memasang bom di beberapa situs penting di Paris, termasuk Notre Dame. Namun entah kenapa, prajurit yang bertugas menarik picu detonator tak pernah berhasil. Sehingga Notre Dame tak berhasil diledakkan... entah apakah itu kisah nyata, yang pasti menurut film dokumenter yang kami nonton malam itu memperlihatkan Notre Dame yang sempat porak poranda dan dipugar beberapa kali.

Untuk mengumpulkan dana pembangunan, Victor Hugo menulis kisah “The Hunchback of Notre Dame” yang berhasil menjadi kisah legendaris.

Pukul 22.30 pertunjukan selesai. Rasanya kami dapat mendengar tembok-tembok katedral ini menceritakan kisah yang tadi kami saksikan. Kami memandang gedung ini dengan penuh kekaguman dan membuatku menyentuh dindingnya. Agnes dan Ina berfoto-foto. Kamera mereka lampu blitz-nya lebih kuat dibanding kameraku.

Kami menuju ke halte dan bertanya ke polisi jalan pulang. Lalu kami menuju Metro [kereta bawah tanah] yang mengantar kami kembali ke Gare de L’est. Kami mampir membeli baguette tuna dan quiche jambon [jambon berarti daging babi] buat makan tengah malam.

Rasanya nyaman bertemu kasur malam itu. Di tengah kota Paris. Kebayang nggak?

Wednesday, October 26, 2005

Melamun di Dom 13: concluding mass

22 Agustus 2005

Pukul 7.30 saya terjaga. Suasana senyap, damai dan indah terasa di pagi itu. Atap kemah masih basah oleh embun. Sleeping bag kugulung kembali. Ini adalah hari terakhir kami sebagai volunteer nginap di sini. Dan memang menyebalkan saat menyadari bahwa hari terakhir itu sudah tiba. Setelah merapikan isi kemah, pintu kemah berupa ritsleting kubuka.
Anyway, saatnya mandi dan sarapan. Siang nanti ada acara perpisahan para volunteer di Messe.

Di tenda makan ketemu lagi teman-teman dari Johor Baru. Sambil menikmati roti kepal, nescafe dan susu, kami ngobrol mengenai rencana perjalanan sesudah acara di Koeln berakhir. Tenda makan terisi lebih banyak peserta dibandingkan kemarin. Namun tidak seramai hari-hari sebelumnya, karena banyak volunteer yang sudah check out alias pulang dari Fuhlinger See.

Kesenyapan itu terasa makin dingin. Apalagi saat kembali ke kemah untuk mengemasi barang-barang ke dalam ransel. Saat bertemu Jung dan Sandra untuk berpamitan, sepertinya masih ada cerita yang belum selesai kami kisahkan. Jung tampak letih setelah lembur jaga di Marienfeld, namun dia sudah bangun dan akan ke Messe untuk acara perpisahan.

Pukul 9.30 saya check out dari kemah Fuhlinger See. Melewati jalan berpasir dan hamparan bukit-bukit rumput. Juga bebek-bebek yang berenang di danau. Menuju ke halte Seeberg, naik bus ke Wilhelm Sollman Str. Di sana berkenalan dengan Manuel, volunteer dari Jerman yang ajaibnya, hingga hari terakhir begini belum tahu di peron sebelah mana kereta yang menuju Messe... Manuel jadi teman perjalanan untuk ngobrol, sehingga hanya kilasan-kilasan tempat yang terakhir kali dilewati kereta dapat kutangkap.

Tiba di apartemen Armel, lebih ramai lagi. Ada Mbak Ina, Agnes, Stella dan Armel menyambutku ibarat anak hilang... hehehe. Kami tak dapat bercerita banyak karena musti segera menuju ke Messe. Di perjalanan, kami mampir di wartel. Stella ingin menelepon ke Jakarta, demikian juga mbak Ina. Tarifnya murah sekali, beberapa sen euro bisa dipakai nelpon ke nomor ponsel di Indonesia selama beberapa menit. Maklum pakai saluran VoIP.

Sambil menunggu mereka nelpon, saya perhatikan seorang anak kecil yang mau fotokopi selembar kertas. Karena badannya kecil sekali, saya coba membantunya menaruh kertas ke mesin fotokopi, lalu menekan tombolnya. Agnes berusaha mencegah, “gak usah dibantu, Ton... di sini sudah biasa, orang fotokopi layani diri sendiri...”
“Iya, tapi anaknya kecil banget...”, jawabku
Dan benar saja, hasil fotokopinya mengejutkan saya sendiri: posisi kertasnya tidak tepat, alias hasilnya jelek. Aku cuma meringis... hehehe. Anak itu mengambil hasil kopian, lalu ke meja kasir untuk membayar. [apa kata babenya kalau tahu itu hasil kerjaan saya, ya? Hehehe...]

Setelah itu kami tiba di Messe. Mahluk-mahluk berseragam volunteer memerahkan tempat itu terakhir kali. Di depan pintu kami dibagikan beberapa suvenir khusus. Concluding Mass for Volunteer sudah dimulai. Kami menerobos kerumunan relawan untuk mendapat tempat. Ramai sekali... Uskup dalam homilinya menyebut kami para relawan sebagai onta. Peserta menyambutnya dengan sorakan.
“Tanpa onta, para majus tidak akan dapat sampai ke Bethlehem”, kata uskup.
Peserta bersorak lagi.
“kalian telah menjadi onta-onta yang baik, yang melayani para peserta WYD selama beberapa pekan. Tak peduli besar-kecilnya pekerjaan yang kalian tangani, namun itu sangat berharga...”
Peserta bergemuruh berseru: “be-ne-det-to”...
Setelah misa, kami berfoto-foto. Beberapa teman relawan yang sejak awal kami kenal, sekarang kami jumpai di sini kembali: teman dari Paraguay, Polandia, dan tim kami...
Kami ngantri untuk makan siang bersama. Menu kali ini spesial. Ada chili dan roti, steak ikan, serta minuman aneka rasa dalam botol-botol 1,5liter.

concluding mass for volunteer
Saya berkenalan dengan seorang ibu tua yang kebetulan juga relawan di WYD ini. Katanya, dia sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi untuk menghidupi keluarganya. Tak dapat kulupakan kilatan matanya yang memancarkan kebanggaan saat ia mengatakan: “anak saya juga ikut dalam kegiatan WYD ini sebagai pembawa acara. Kamu lihat dia itu tadi yang ngomong setelah misa...”
What a great mom!

Foulques, Ina, Melitta, Edouard, and me
Saya bertemu dengan Fulques [ejaan namanya seharusnya Foulques], Edward [Edouard] dan Estelle untuk berpamitan. Mereka sedang duduk-duduk di halaman rumput di bawah pohon rindang. Kemudian Melitta, dia masih mau menyanyikan lagu “Mitte” khusus terakhir kalinya.
Dan our commander, Florian Jung. Kami berjabatan erat di depan pintu Messe sebelum berpisah. Dia bilang sangat terkesan dengan kehadiran kami di sini sebagai relawan.

Saya mengantar Melitta ke stasiun Messe. Tas kopernya lumayan berat. Dia sedang mengejar kereta ke Muenster. Sempat salah peron, kemudian kami berlari ke tangga lain... kali ini peron yang tepat. Sebuah kereta dengan pintu terbuka. Melitta langsung melompat masuk dengan kopernya, sambil melambaikan tangan...

Dari situ saya menuju ke pusat kota. Untuk berpamitan dengan Media Markt, Galeria, 4711 dan Dom, hehehe... di Galeria ada dua kali saya meminta lembaran Tax Free. Petugasnya, seorang cewek, di ruangan khusus, mungkin dia sampai hapal. Soalnya saat belanja terakhir jam 17, saya menghampirinya untuk membuat formulir Tax Free, dia sudah berkemas mau pulang kantor. Namun, dia mau juga melayani demi pengembalian 2-3 euro tax-ku... hehehe. [mungkin dia pikir, gigih juga nih anak... Akan lebih seru lagi nanti kisah pengembalian pajak di bandara Charles deGaulle, Paris]

Mbak Ina sms memberitahu supaya saya menunggu di Dom untuk janjian makan malam bersama. Saya pun balik ke Dom. Duduk-duduk termangu di tangga pelataran Dom memandang beberapa orang yang lalu lalang menuju Koeln Hbf. Teringat pada pertama kali kami tiba di tempat ini serta keramaian peziarah dari aneka bangsa. Warna-warni ceria mereka masih dapat terlihat.

Armel membuyarkan lamunanku di Dom. Mereka [Mbak Ina, Agnes, Armel, Stella] tiba dan bersepakat mengagetkan daku dari belakang. Lalu memeriksa tas belanjaan hasil ‘pamitanku’ tadi. Kemudian kami berjalan menuju ke sebuah restoran Korea.

Menu yang disediakan a la buffet, alias makan sepuasnya dengan membayar Eur 6 per orang. Kami duduk semeja, asyik ngobrol sambil mengganti piring berikut isinya... menu nasi dan masakan timur sungguh nikmat. Hingga jam 21.15, tinggal beberapa pengunjung saja yang masih betah dalam resto itu, termasuk meja kami... 15 menit lagi resto tersebut akan ditutup. Makanannya enak sekali siih. Tak lupa kami memuji-muji nyonya pemilik resto [sampai katanya pelayannya mau bungkuskan makanan buat bekal kami, hihihi...].

Malam telah larut, kami harus pulang ke rumah untuk berkemas-kemas. Besok pagi kami akan berangkat meninggalkan Koeln. Saya meminjam komputer Armel untuk mengopi beberapa lagu Indonesia ke MP3 player sebagai teman perjalanan.

Mbak Ina, Agnes dan Stella tidur di kamar Armel. Saya tidur di kamar Ato sendirian.
Pukul 01.30 saya baru dapat terlelap setelah kemas-kemas dan menyortir barang bawaan selesai. Akhirnya, malam terakhir tiba juga...

vivere pericoloso

jangan henti dulu
waktu mengejar kita
saat kita berusaha mengeja makna hidup

seluruh cinta
musti kita panggul
dengan langkah tertatih

semoga,
aku masih sanggup
melarik keajaiban
di ujung sana

Monday, October 24, 2005

Melamun di Dom 12: Children of the lesser God

21 Agustus 2005

quo vadis


orang asing itu bertanya,
“ke mana jalan ke surga?”

aku diam
menunjuk ke bumi


Udara berkabut di tengah hamparan sleeping bag di Marienfeld. Beberapa anak muda yang sudah bangun sedang duduk menikmati kopi dan roti, sambil ngobrol dalam aneka bahasa. Lebih banyak yang masih asyik pulas, meringkuk di dalam sleeping bag. Sesekali layar raksasa di lapangan menayangkan pengumuman: “si Anu dari rombongan anu dipanggil menghadap ke Info Point”. Langit tidaklah cerah pagi itu. Sleeping bag kami basah dihujani embun semalam.

Agnes, mbak Ina dan Stella sudah bangun. Mereka mau ke Dixi. Jadi aku diminta menjaga bedroll yang menjadi basecamp kami. Ibadat pagi telah dimulai. Saya duduk dan coba mengikutinya, meski dengan bahasa yang tidak kupahami. Cukup lama hingga mereka kembali. Agnes membawa majalah-majalah SCJ. Mereka baru saja mampir di blok romo-romo SCJ dari Indonesia [ketemu romo Mar katanya] dan diberi majalah.

Kini giliran saya yang hendak pergi. Loh, mau ke mana?
Mau balik ke Fuhlinger See. Ransel, sleeping bag sudah kukemasi. Kemudian acara pamitan dengan Agnes, Mbak Ina dan Stella. Sepanjang jalan banyak hal yang dapat dilihat: orang-orang pada antri di depan Dixi, cukup panjang loh... Saya berpikir, gimana kalo ada yang sudah mendesak sekali bertemu Dixi buat nyetor? Waduh, bisa repot. Syukurlah bahwa sepagi itu perutku bisa diajak kompromi sehingga tidak perlu bertemu Dixi.

Dixie lovers in Marienfeld :)
Sisa-sisa keramaian semalam masih dapat terlihat. Lilin yang mencair di bak air besar yang ada di setiap blok. Kotak-kotak sisa makanan berserakan. Beberapa orang lewat memegang gelas kertas berisi minuman hangat...

Menjelang jam 10 pagi saya tiba di Gate 2. Banyak polisi berjaga di sana. Paus Benediktus XVI dan iring-iringan mobil baru tiba dan memasuki Marienfeld, sehingga jalan utama diblokade polizei. Setelah blokade dibuka, baru saya dapat melanjutkan jalan kaki ke pos jaga kami. Di sana ada Edward dan Estelle sedang bertugas. Mereka sempat menanyakan kabar saya semalaman... kujawab bahwa sejak tugas kemarin pagi saya belum sempat pulang, semalam bergabung di blok Volunteer yang ramai sekali dan tidur di bawah langit. Mereka sepertinya terpesona memandangku, karena mereka tidur di tenda khusus.

Polizei on duty
Untunglah ada bus yang berangkat pagi itu. Kata Edward, semua akses jalan diblok polizei saat Paus mengadakan misa pagi di Marienfeld. Beberapa kaum muda ikut juga dalam bus. Sebetulnya tujuan bus itu hanya berhenti di stasiun Sindorf, namun beberapa penumpang berhasil membujuk pak sopir sehingga mau mengantar sampai ke Koeln Messe. Sepanjang jalan mereka bernyanyi-nyanyi lagu yang kedengarannya seperti lagu anak TK: “lalala... busfarat... busfarat...” yang seringkali ditimpali oleh pak sopir dengan gembira.

Bus melewati jalan tol. Baru sekali ini saya menikmati perjalanan naik bus lewat jalan tol di sana, sambil ngantuk tentu saja. Tiba di Messe, saya langsung ke stasiun menunggu kereta ke Chorweiler. Sepi sekali suasana peron. Maklum saja semua peserta WYD masih berada di Marienfeld.

Di terminal Chorweiler, saya berkenalan dengan Anne. Dia sedang duduk dengan wajah kusut memegang ransel. Kami menunggu bus ke Seeberg arah Fuhlinger See. Sesekali dia bersin dan membersihkan hidung. Inilah yang membuat dia bertambah dongkol. Flu-nya menjadi makin parah akibat menginap di lapangan terbuka Marienfeld... Katanya hari Rabu besok dia harus berangkat ke Indonesia. Apa??
Iya, Anne sedang liburan sekolah, dan dia sudah jadwalkan keberangkatan ke Jakarta untuk menjumpai orangtuanya di sana. Kebetulan ayahnya kepala sekolah sebuah sekolah Jerman di Jakarta. Dia hendak ke Fuhlinger See buat mengemasi barang, check out, pulang ke rumah untuk berendam air hangat.

Tiba di Fuhlinger See, ibarat tiba di surga. “tent sweet tent” [versi lain dari “home sweet home”], ransel bawaan disimpan di kemah, kemudian pergi mandi dulu... Maklum, sejak kemarin pagi belum sempat mandi, hihihi...

Di tenda makan ada beberapa volunteer yang sedang asyik ngobrol sambil sarapan. Saya duduk semeja dengan Deepak, volunteer dari India, dan seorang India lagi yang sudah lama menetap di Amsterdam. Juga ada seorang cewek dari Minnesota. Tampaknya dia juga kesal sekali pagi itu. Katanya dia juga baru pulang dari Marienfeld. Dia coba bandingkan WYD tahun ini dengan WYD sebelumnya di Toronto, katanya ini yang terburuk baginya, transportasi ke lokasi payah, lalu fasilitas umum tidak dapat diakses dengan mudah. WYD sebelumnya di Toronto katanya lebih rapi terorganisir, semua kegiatan dilaksanakan di satu lokasi, all in one place, sehingga peserta tidak perlu berpindah-pindah lokasi. Lalu kami ngobrol tentang Amerika, Minnesota [yang mengingatkanku pada kisah Laura Ingalls ‘little house on the prairie’], Amsterdam dan beberapa tempat yang ada di pikiran kami.

Pukul 14 saya istirahat di kemah, di tengah kesenyapan danau Fuhlinger. Semilir angin sejuk sore itu membuat saya lekas tertidur meskipun hanya untuk sesaat. Pukul 15 saya sudah bangun untuk mandi. Jadwal saya sore itu ingin jalan-jalan ke pusat kota.

Museum Roman-Germanisch yang terdapat di sisi Dom rasanya terlalu sayang dilewati. Petunjuk mengenai pintu masuk di museum terkenal itu tidak jelas, sehingga setelah menitip tas ransel kecil yang kubawa, saya langsung masuk lewat pintu sebelahnya... saat sedang menikmati benda-benda kuno yang dipajang dalam lemari kaca, seorang perempuan petugas menghampiri saya memberitahu bahwa saya harus membeli tiket di counter depan. Khusus untuk peserta WYD diberi harga khusus tiket masuk 1 euro.

Setelah itu perjalanan sejarah peradaban Jerman dan dunia dimulai... Museum ini menyimpan koleksi benda-benda purba, tulang belulang, perkakas, perhiasan, persenjataan, serta diorama peradaban masa lampau.

Love statue
Ada yang menarik perhatianku, sebuah tugu yang dibuat untuk memperingati seorang kekasih yang meninggal. Sebuah ode terpahat di sana. Tugu itu didirikan oleh seorang perempuan bangsawan untuk kekasihnya, seorang prajurit yang berasal dari kalangan kasta rakyat biasa. Mereka terpisahkan oleh tradisi. Dan menurut keyakinan, prajurit yang gugur tadi tak dapat bersatu dengan perempuan itu bahkan di dunia akhirat. Karena itu sang gadis menuliskan kalimat pada tugu dengan sangat sedihnya [sayang saya tidak mencatat terjemahannya, fotonya saja yang dapat saya ambil].

Hubungan Roma [sebagai pusat dunia] dan German di masa lampau tampak jelas dari pengaruh budaya dan arsitekturnya. Sejak tahun 20 SM Jenderal Agrippa dari Romawi menguasai Jerman dan kemudian dinamai: “Colonia Claudia Ara Agrippinensium”. Ada suatu sudut dalam museum berupa potongan lantai bermozaik kuno dan diding masa Romawi yang pernah dipakai sebagai setting tempat jamuan makan malam para pemimpin UE dan World Economic Summit, Presiden Bill Clinton, Jacques Chirac dan Gerhard Schroeder di tahun 1999.

Selesai mengunjungi museum, saya meneruskan jalan-jalan sore ke arah Neumarkt. Di jalan saya berpapasan dengan tiga orang ibu dari Indonesia: Ibu Helena, Ibu Helen dan Ibu Indri. Kejadiannya juga serba kebetulan. Mereka sedang ngobrol dalam bahasa Indonesia, dan saya menyapa mereka. Mereka juga surprise melihatku terutama setelah tahu bahwa saya dari Makassar, Indonesia. Dan sore itu saya berjalan hanya mengenakan kaos t-shirt dan sendal.
“Mas Toni kok tahan dingin ya, hanya pakai kaos dan sendalan...”, tanya mereka.
Saya cuma cengengesan. Maklum sudah alumni nginap semalam di Marienfeld. Mungkin karena itu saya dapat kebal dari cuaca dingin sore itu. Ibu-ibu itu sudah lama tinggal di Koeln dan mereka bercerita bahwa mereka baru saja mengantar seorang teman ke stasiun Koeln Hbf. Setelah bertukar alamat e-mail, kami pun berpisah dengan pesan dari mereka: “jangan lupa pakai jaket dan sepatu kalau jalan-jalan...” [hehehe... aku memang sengaja tidak bawa sepatu, karena penuh-penuhin ransel]

Pope Benedictus banner
Sepanjang jalan ke Neumarkt, toko-toko pada tutup. Maklum hari Minggu, banyak toko libur. Bahkan pada hari Senin juga beberapa toko suka tutup, kata seorang teman. Saya berjalan sampai di depan toko legendaris itu: 4711. Parfum yang sangat terkenal di Indonesia pada tahun 1980-an. Sayang tokonya juga tutup, jadi saya hanya dapat memandang etalasenya. Terdapat poster-poster yang mengisahkan sejarah parfum 4711.

Ramuan rahasia parfum itu awal mulanya dibuat oleh seorang rahib, dan dihadiahkan kepada raja dalam pesta perkawinan. Ramuan tersebut kemudian dikembangkan dan diberi merek 4711, sesuai dengan nomor rumah yang ditempati. Rumah bersejarah itu sudah berubah menjadi pertokoan tempat saya berdiri sekarang.

Mbak Ina mengirim SMS memberitahukan bahwa jam 20 mereka akan tiba di Koeln Hbf dari Marienfeld. Saya diajak untuk makan malam bersama. Karena itu saya segera kembali ke stasiun Koeln. Sambil menunggu, saya masuk ke kios buku mengamati majalah, koran dan buku-buku... bahasa Jerman semua! Koran lokal mengangkat tema kunjungan Paus ke Jerman sebagai berita utama, beberapa koran memuat foto ukuran besar suasana Marienfeld yang begitu ramai.

Lewat pukul 20, stasiun makin ramai. Mbak Ina dan kawan-kawan tidak kelihatan. Saya memutuskan untuk balik ke Fuhlinger See agar tidak kemalaman. Sebelumnya beli sepotong pizza Hawaiian seharga Eur 1,50 untuk makan malam.

Di jalan, saya berkenalan dengan anak-anak Siberia: Xeniya, Luda dan Tanja. Kami asyik ngobrol sambil menunggu kereta tiba. Mereka bilang Siberia tidak sedingin yang orang bayangkan. Tempatnya asyik, ada salju dan sinar matahari. Mereka mengajak saya mampir ke sana... Waduh, jadi pingin deh jalan-jalan ke Siberia.

Dalam kegelapan malam di Fuhlinger See, saya berjumpa dengan seorang anak Portugal yang melangkah gontai menggendong ransel. Dia bercerita bahwa sudah 5 jam dia berjalan kaki dari Marienfeld ke sini. Macet, katanya. Kereta dan bus dari Marienfeld penuh sesak dengan peziarah yang hendak kembali ke Koeln. Waduh, membayangkannya saja menyeramkan. Karena tidak mau menunggu, dia memutuskan berjalan kaki kembali kemari. Rencananya, begitu tiba di kemah, dia ingin langsung tidur.

Tengah malam, saat sedang duduk-duduk menikmati pemandangan di pinggir danau, Hubert dan Julia datang menghampiriku.
“Toni, dari mana saja seharian?”
“Saya pulang dari Marienfeld pagi tadi...” jawabku.
“Semalam kamu nginap di Marienfeld?” tanyanya lagi.
“Yup”, jawabku singkat.
Lalu Hubert tertawa keras.
“You are crazy... kamu nginap di Marienfeld lalu pulang pagi-pagi...”, katanya meringis.
Saya menceritakan mengenai anak Porto yang tadi berjalan kaki 5 jam karena traffic jam.

Lalu saya mampir ke tenda makan untuk membuat teh panas. Di sana ada anak Malaysia, mereka juga baru kembali dari Marienfeld. Di ruangan sebelah tenda makan, musik menghentak-hentak... beberapa relawan sedang asyik berdansa.

Ini adalah malam terakhir bagi beberapa relawan yang akan pulang besok. Masa menginap kami di Fuhlinger See tidak lama lagi.
Sekarang saya dapat menikmati istirahat di dalam kemah, tempat pertama kali kami tiba di sini... seperti biasanya, di bawah taburan bintang-bintang.

Monday, October 10, 2005

Melamun di Dom 11: we have seen the star

20 Agustus 2005

Pukul 5 pagi saya sudah harus bangun. Karena acara kemas-kemas masih dilanjutkan, saking banyaknya barang bawaan yang harus disortir... selain itu shift pertama tugas pagi di Marienfeld adalah saya dan Fulques. Kami sudah janjian bertemu di Messe jam 7.30. Saya berencana menyimpan ransel besar di mesin penitipan barang otomat di Koeln Hbf, tarifnya 2 euro per hari.

Armel muncul di tengah kesibukan berkemas. Dia bilang tas ransel saya disimpan saja di atas lemari, romo yang nginap cuma semalam saja di kamar. Jadi saya terbebas dari rencana ke Koeln Hbf buat menyimpan ransel. Saya dapat berlenggang ke Messe dengan hanya membawa ransel kecil, sleeping bag dan bedroll [duhai bedroll, hingga sekarang aku belum pernah menggunakanmu...].

Tiba di Messe, cukup sulit menemukan di mana tempat pemberangkatan bus. Messe luas sekali. Aku mengikuti anak-anak muda yang baru turun dari kereta dan berjalan melewati terowongan hingga tiba di shelter bus khusus ke Marienfeld. Banyak sekali relawan yang menunggu untuk diberangkatkan. Bus yang tersedia cukup banyak. Setiap 3 menit bus berangkat dan terisi penuh.

Pukul 7, saya menunggu Fulques. Tuh anak belum tiba dari Fuhlinger See. Jadi saya gunakan sleeping bag yang masih tergulung sebagai alas duduk. Setiap rombongan relawan yang datang saya perhatikan. Beberapa menit berlalu, Fulques belum muncul juga. Nomor hp-nya saya tidak punya.

Yang muncul justru Mariana, si jejak petualang...
“Eh lu orang ke mana saja...”, langsung saya menyamperinya. Dia cuma cengengesan menenteng ransel sambil memperkenalkan teman grupnya. Katanya dia nginap di Messe selama ini. Kemudian dia pergi bersama arus relawan yang naik ke bus. Dasar, Mariana. Tuh anak sempat dicari-cari sama mbak Ina dan Agnes. Saya cuma bilang tuh anak gak usah dicari, ntar muncul sendiri... benar kan?

Pukul 7.30 Fulques belum muncul, jadi saya ikut dengan bus ke Marienfeld. [Tadi sempat sakit perut, tapi nggak usah saya cerita mengenai perjumpaanku dengan Dixi di pagi yang cerah itu, ya... hehehe].

Sekitar jam 9 bus kami tiba di Marienfeld. Yang tiba sepagi itu di Marienfeld adalah para relawan yang membantu menyiapkan tempat. Siang nanti barulah peserta berbondong-bondong memasuki Marienfeld.

Florian Jung rupanya nginap di sini semalam. Markus dan Kristina juga sudah ada, tapi saya tidak tahu apakah mereka juga nginap sejak malam tadi.

Fulques sempat nelpon ke Jung. Tahu nggak, dia bilang lagi nyasar naik kereta ke Aachen. Aachen? Itu kan berlawanan arah dari Koeln. Ya ampun, Fulques! Ternyata orang Eropa bisa juga nyasar di sini.... hehehe. Maklum sih, bahasa Jerman beda banget sama bahasa Perancis. Aku sempat ngirimi Fulques sms berupa petunjuk ke Messe: “It’s Toni. Just go to Koeln Messe and follow the volunteers there. Ask the officer with white suite. You will pass the tunnel and find buses line. See u, Fulques!” [maklum sms itu belum kuhapus. sesudah ini baru dapat kuhapus karena sudah tersimpan...]

Nggak tahu apakah sms tsb bermanfaat apa tidak, yang pasti beberapa saat kemudian baru dia muncul sambil cengar-cengir... dia nyasar betulan sampai ke Aachen. Jung kemudian beristirahat di tenda. Kami berdua berjaga di posko. Kristina minta bantuan kami untuk mengatur ransum berupa kotak-kotak makanan dan bungkusan roti tawar. Kotak makanan disusun menyerupai tembok benteng, dan kemudian bungkusan-bungkusan roti tawar ditaruh di dalam.
Yang dia kuatirkan adalah bila hujan turun sewaktu-waktu. Dengan mudah terpal dapat ditutup di atas “benteng makanan” ini. Ramalan cuaca cukup mencemaskan, katanya diduga hujan akan turun pada puncak perayaan WYD di Marienfeld. Apalagi langit terlihat agak mendung.

Kemudian security vest alias rompi relawan untuk jaga malam dalam dos-dos musti kami turunkan dari mobil, lalu dibagikan ke relawan yang baru tiba. Fulques semangat sekali mengangkut dos-dos itu. Asyik bila dapat rekan yang semangat juangnya tinggi.

Agak siang, Edward dan Estelle tiba. Jam 13 mereka menggantikan tugas kami di pos jaga.
Markus kemudian memanggil kami dan meminta untuk mengantarkan sepeda ke relawan di Frechen. Sepeda yang dimaksud adalah sepeda Deutsche Bahn [DB], keren sekali dengan kunci digital. Saya dan Fulques bersedia melaksanakan tugas itu. Frechen terletak sekitar 5 kilometer dari situ. Sesudah itu kami musti pulang dengan berjalan kaki ke tempat ini...

Yah... yang penting bisa bersepeda, ya toh?
Maka saya dan Fulques mengayuh sepeda sambil membawa peta yang diberikan Markus. Cukup sulit juga menentukan arah, karena melewati hutan-hutan. Tapi asyik sekali pakai sepeda DB, ada persenelingnya. Yang payah waktu melewati tanjakan bukit-bukit, musti dikayuh sambil ngos-ngosan... hehehe, rupanya saya sudah cukup tua untuk hal ini.

Singkat cerita, kami tiba di Frechen dengan sehat walafiat. Sepeda DB kami berikan kepada yang berhak... dan kami pulang berjalan kaki. Apa?? Nahhh... ini dia yang menarik. Seperti anak hilang kami berjalan kaki pulang. Lalu saya tanya Fulques, berani nggak hitching?
“What? Hitching?? What is hitching?” tanyanya culun.
Lalu saya jelaskan bahwa menurut buku Lonely Planet, hitching itu nama lain dari nebeng alias numpang di mobil orang. Soalnya ada turis yang modal cekak suka ‘hitch hiking’ di daratan Eropa... lalu dengan tenangnya dia mengacungkan jempolnya setiap kali ada mobil yang lewat.

Saya nggak berani melihat dan menahan tawa saat mobil tersebut dengan tenangnya melewati kami... hahaha. Ada beberapa mobil berlalu. Mobil berikutnya sebetulnya sudah melewati kami, namun kemudian direm. Thanks to God. Rupanya ada juga yang tergerak hatinya memberikan tumpangan kepada dua pemuda nyasar...

Pengemudinya seorang ibu. Dia mengenali kami dari kaos WYD yang kami kenakan dan menebak bahwa kami hendak ke Marienfeld. “Benar sekali...”, serempak kami menjawab. Di belakang kaos kami memang tertulis menyolok ‘volunteer’.
Lalu ibu itu bertanya saya berasal dari mana. “Indonesia”, jawabku. “France”, jawab Fulques. Langsung ibu yang baik hati itu ngomong dalam bahasa Perancis sama Fulques. Kami diturunkan di pinggiran Marienfeld karena ibu itu mau meneruskan perjalanan ke tempat lain. Itu saja sudah merupakan berkah buat kami sehingga tidak perlu berjalan kaki beberapa kilo. Mukjizat lagi?

Kami menempuh jarak yang tersisa melalui hutan dan melintasi ladang. Rombongan peziarah mulai ramai memasuki kawasan ini. Akhirnya tiba di posko kami... Fulques rencananya mau balik ke Koeln untuk ambil cucian di Ursulinen.

Jung sudah bangun dan memegang sebuah sepeda DB. Saya ingin ke lokasi dalam Marienfeld, soalnya di jalan tadi Agnes sms meminta saya datang ke tempatnya di blok B5, katanya ada Jayadi, mahluk Indonesia yang studi di Jerman. Maka saya meminjam sepeda DB yang dipakai Jung untuk masuk ke dalam lokasi.

Inilah kesempatan saya pertama kali meninjau lokasi ‘perkampungan’ peziarah yang akan dipakai nginap malam nanti.

Wow, ramai sekali... sepanjang jalan penuh dengan kaum muda yang baru datang membawa ransel besar dan sleeping bag, berpapasan dengan mereka yang membawa kotak makan siang. Macet sungguh... sepeda DB yang saya kendarai musti dengan bunyi lonceng klakson, ucapan “excuse me”, sambil tak lupa tersenyum... biasanya mereka pun dengan senang hati minggir, apalagi karena saya mengenakan kaos volunteer.

Beberapa kali nyasar, karena saya tidak membawa denah lokasi... baru kemudian tiba di blok B5. Ini tempat dikhususkan bagi para volunteer menginap. Seragam merah semua, jadi ada sekitar 3 kali saya mengitari tempat ini mencari wajah Indonesia bernama Agnes. Dan ketika sudah hampir putus asa, ya astaga, dia ada di sana sedang duduk ngobrol... Saya pun berkenalan dengan Jayadi. Katanya dia nginap di blok lain.
“Agnes sudah makan?” tanyaku dengan manis.
Dijawab Agnes: “belum”. Maka aku pun bercerita bahwa kami punya ‘benteng makanan’ di luar sana. Kalau mau aku ambilkan. Agnes setuju, jadi aku musti balik buat mengambilkan makanan.

[sebetulnya rencana saya sore itu mau balik ke Fuhlinger See untuk beristirahat di kemah kami yang permai]
Sepeda DB kukembalikan dan dikunci secara digital dulu. Lalu aku minta beberapa dos makanan pada Kristina yang diberikannya dengan senyum manis. Kemudian aku berjalan kaki kembali memasuki areal yang penuh sesak dengan manusia. Kali ini aku membawa denah lokasi, jadi mudah mencari jalan terdekat...

Beberapa kali nyasar di blok B5 sebelum bertemu Agnes... soalnya semua memakai seragam merah sih. Agnes senang sekali melihat aku datang. Bedroll-ku sekarang bisa digelar di atas bedroll-nya yang luas sekali. Di sekitar kami sudah penuh dengan para relawan, sehingga sulit mencari lahan kosong.
“Eh Ton, Armel ada di blok lain... kasihan tuh, katanya dia belum dapat makan. Aku bawakan ya dos makanan untuk dia...”, kata Agnes.
Dan sekarang aku sendiri. Matahari sore bersinar terik. Konser musik ditayangkan di layar lebar di setiap blok. Aku coba berbaring untuk istirahat.

Sewaktu berjalan ke sini tadi aku sempat merasa sesuatu yang aneh di hatiku... di tengah lautan manusia dari segala bangsa ini, apa gerangan yang menginspirasikan sehingga kami datang ke sini? ‘Kegilaan’ macam apa ini? Kemudian dengan rasa tak percaya, terbersit rasa bangga bahwa kini aku menjadi bagian dari lautan ini. ‘we have come to worship Him’.

Agnes membeli beberapa kandil untuk acara nanti malam. Baik sekali tuh anak. Dia mau ngajak Stella dan mbak Ina beramai-ramai nginap di atas bedroll-nya. Aku pergi mencari air minum... berjalan melewati deretan boks Dixi. Oh ya, ada toilet khusus di tempat terbuka untuk pria buang air kecil. Terbuat dari plastik berbentuk bundar dan dibagi 4 bagian. Jadi empat orang bisa pipis bersamaan, di tengahnya ada lubang saluran penampung. Terus, untuk cuci tangan, nggak pakai air, cuma pakai dispenser cairan pencuci tangan yang mirip alkohol.

Keran air minum tersedia untuk peziarah. Di sana saya mengisi botol minum. Sayang botol yang saya bawa ukuran 500ml, botol-botol besar sudah kubuang karena terlalu makan tempat. Padahal untuk saat ini saya butuh botol besar daripada harus bolak-balik ngantri untuk isi air minum.

Jam 20, Paus Benediktus XVI tiba. Peserta ramai sekali mengelu-elukan: “be-ne-det-to...’ berulang kali. Beliau menumpang di mobil papal yang anti-peluru itu. Kami memandangnya dari layar lebar. Kelihatan dekat sekali namun jauh di atas bukit yang khusus didirikan sebagai panggung.

Ibadat dimulai saat hari senja. Lilin-lilin dinyalakan. Tempat ini semakin penuh dipadati peziarah. Tidak hanya kaum muda, ada juga kakek-nenek, bahkan anak-anak kecil dalam kereta bayi. Mereka akan menginap semalam suntuk di lapangan terbuka Marienfeld. Termasuk orang cacat yang ditemani paramedis.

Selesai prosesi ibadat malam, sekarang kami hendak beristirahat. Sleeping bag digelar. Bayangin, 4 sleeping bag di atas matras Agnes: aku, mbak Ina, Stella dan punya Agnes sendiri. Posisi Agnes terjepit di bawah kaki Stella dan mbak Ina. Maklum badannya kecil jadi bisa nyungsep... hehehe.

Aku dapat memandang bintang-bintang di langit serta embun yang berjatuhan dari langit... sebuah pengalaman yang sangat berkesan.

Sungguh, kami telah melihat bintangNya!

dikau

engkau di sini
berbayang malam
saat kusandarkan letih
di pundakmu

terbanglah, terbangkan
tidurku
dengan sayap malam
dan titian angin
akan kutunjukkan
tempat para peri bersama manusia
di mana
setiap kisah tak kunjung akhir

Melamun di Dom 10: Du sei bei uns in der Mitte

19 Agustus 2005

Hari ini kami sedikit bernafas lega. Tiada tugas sepanjang pagi hingga siang, selain janji meeting sore di depan tenda Jung untuk persiapan puncak WYD di Marienfeld. Justru karena itu, saya jadi sempat ragu sewaktu naik kereta pagi itu, maunya langsung ke Fuhlinger See, tapi saya berhenti di Hansaring. Di peron Hansaring mustinya lanjut dengan kereta lain ke Chorweiler... keretanya cukup lama muncul, saya turun dan berjalan mengelilingi stasiun. Oh ya, di kejauhan tampak gedung toko Saturn. Jadi saya berjalan ke sana.

Toko Saturn adalah jaringan waralaba penjualan barang elektronik di Jerman, pesaingnya adalah toko Media Markt. Hampir semua daerah Jerman dijangkau oleh kedua konglomerasi ini. Harga barang yang ditawarkan cukup bersaing, apalagi bila barang tersebut sedang promo. Perang dagang kedua toko sangat terasa bila melihat poster-poster iklan yang dipasang pada halte-halte. Misalnya, Saturn dengan mottonya: “Geiz ist Geil!” menjual MP3 Player 512Mb seharga 39 Euro. Di tempat lain Media Markt dengan mottonya: “Ich bin doch nicht bloed” juga memasang iklan MP3 Player dengan harga lebih rendah.

Pembeli tentu yang diuntungkan. Meskipun sedikit bingung sebelum memutuskan jadi belinya yang mana? Saat memasuki Saturn Hansaring, saya sempat nyasar. Pikir saya karena sudah berada di toko Saturn, maka ibarat supermarket, barang elektronik lainnya mungkin ada di lantai atas... ya ampun, dari lantai satu sampai lantai [ada 3 lantai] atas hanya melulu menjual produk CD, termasuk VCD, DVD, CD musik bahkan piringan hitam... hehehe. Rupanya bangunan yang saya masuki khusus menyediakan CD doang.

Aku langsung mencari pintu keluar saat menyadari bahwa bukan tempat ini yang kumaksud. Nyebrang jalan, baru ketemu Saturn barang elektronik. Selamat datang di surga benda-benda ajaib! Dibandingkan Saturn di Galeria Kaufhof kemarin, Saturn Hansaring memang lebih luas dan lengkap koleksinya. Misalnya telepon PSTN wireless, mulai dari merek Siemens, T-Com, serta jenis-jenis dan harganya... belum lagi bila ada barang yang dianggap cacat [boksnya tidak utuh], harganya jatuh sangat murah.

Setelah melewati kasir, wisatawan diberikan formulir pengembalian pajak atas harga barang yang dibayar. Ada desk khusus di toko yang melayani tax refund. Dan untuk itu musti menunjukkan paspor kepada petugas. Formulir yang sudah dicap, nanti dapat ditunjukkan kepada pabean di bandara untuk mendapatkan pengembalian pajak tadi.

Selesai dari Saturn saya kembali ke stasiun Hansaring. Menunggu kereta menuju ke Fuhlinger See.

Hari sudah siang. Di tenda makan Fuhlinger See, saya duduk semeja dengan beberapa teman baru: Inga, Simone dan Sarah. Mereka sedang ngobrol dengan teman-teman grup kami. Sebetulnya saya tidak terlalu ingat lagi peristiwa siang itu. Setelah kembali di Indonesia, Inga menulis e-mail dan menceritakan kejadian lucu di meja makan...

Kami mengobrolkan mengenai peristiwa kemarin. Mereka katanya sempat ke Sungai Rhein untuk melihat Bapa Suci... Kebetulan surat kabar memasang berita utama kedatangan Paus di Koeln. Ada foto Bapa Suci yang baru mendarat dari pesawat, dan saya coba menirukan... mereka ketawa terbahak-bahak. Piring kertas yang ada di meja saya taruh di kepala. Detailnya tidak dapat saya ungkapkan. Setelah peristiwa itu, melalui e-mail, Inga bercerita bahwa piring kertas itu kemudian diminta oleh peserta lain untuk dipakai makan... dengan senang hati mereka berikan. Dan itulah yang membuatku gantian ketawa saat membaca e-mailnya.

Selesai makan siang, kami duduk-duduk di tepi danau. Jung dan Sandra sedang membuat tabel tugas untuk acara di Marienfeld besok. Beberapa teman sedang jemuran di bawah matahari. Hubert mengambil gitar dan bernyanyi-nyanyi dengan beberapa teman. Seru dan asyik juga mendengar lagu Jerman yang mereka nyanyikan. Lalu Jung ceburan ke dalam danau...
Mereka mengajak saya untuk ikut berenang... “tunggu”, jawabku... saya berlari ke kemah yang beberapa hari kami tinggalkan. Setelah berganti pakaian baru nyebur ke danau...

Bbbrrr... dingin sekali airnya. Ada ikan kecil-kecil berenang di dasar danau. Bebek-bebek yang biasanya berenang di permukaan danau, telah lari menjauh. Beberapa teman yang berani berenang sampai ke tengah danau dan duduk di bak pelampung yang ada di sana.
Kemudian hujan gerimis turun... teman-teman berlarian masuk ke dalam kemahnya. Acara berenang tidak dapat dilanjutkan. Aku pun juga balik ke kemah.

Sore hari, Mbak Ina datang. Seharian ini Mbak Ina istirahat di apartemen Armelia. Jam 17, grup kami berangkat bersama-sama ke stasiun menuju ke Horem. Hujan yang turun semakin deras.

Sepanjang jalan, Melitta menyanyikan lagu yang suka kudengar: “Du sei bei uns”. Lagu ini dinyanyikan dalam doa permohonan waktu misa pembukaan di Dusseldorf. Iramanya seperti tarian Hawaii... liriknya: “Du sei bei uns in der Mitte... Hoere Du uns, Gott”, dan saya ikut menari.
“Nyanyikan dong lagu Mitte”, begitu saya minta pada Melitta. Karena nggak hapal kalimatnya, aku hanya ingat Mitte doang... dan dia ketawa kalau saya bilang ‘mitte’. Dengan senang hati dia pun menyanyikan lagu ini... sampai kami tiba di Marienfeld.

Lapangan Bunda Maria, demikian arti harafiah Marienfeld. Kabarnya pernah terjadi mukjizat di sini jauh sebelum dijadikan tambang. Namun baik tambang, maupun tempat mukjizatnya tidak dapat terlihat. Yang ada lapangan yang luas sekali, lebih mirip ladang yang membentang. Tanah becek dan tergenang air hujan. Namun jalanan akses ke areal World Youth Day telah diaspal. Panitia tentu telah bekerja keras berbulan-bulan menata tempat ini.

Posko kami di Info Point gate 2. Di sana kami berkumpul sore itu. Tepatnya berteduh. Sambil menunggu kedatangan Markus, komandan dari Jung yang akan memberi instruksi.

Pukul 19, langit masih terang. Kami menikmati bekal makan malam berupa roti dan ikan kaleng. Teman-teman Perancis bernyanyi-nyanyi lagu Perancis dengan merdunya. Katanya itu nyanyian “Notre Dame”, pujian bagi Bunda Maria.
Sesudah itu, Markus baru muncul. Umurnya kelihatan sudah cukup tua. Dia asli nggak bisa berbahasa Inggris, untunglah ada Kristina, rekannya, seorang ibu yang lancar berbahasa Inggris, sambil tidak berhenti merokok. Kami akan bergantian bertugas di posko ini mulai besok pagi, bahkan ada yang kebagian jaga malam hingga pagi.

Dari tempat kami, kubah tempat Paus akan merayakan misa tak dapat terlihat karena terletak di kejauhan. Matahari telah terbenam. Selesai instruksi, kami diantar dengan mobil kembali ke stasiun Horem untuk pulang ke rumah.

Ina memberitahukan bahwa besok kamar yang kami tempati akan dipakai oleh seorang Pastor teman Armelia. Jadi, ketika tiba di kamar pukul 23.30, kami mengemas-kemasi barang bawaan kami sebelum tidur.

Besok adalah puncak perayaan WYD di Marienfeld.

Sunday, October 02, 2005

Melamun di Dom 9: shopping with pope

18 Agustus 2005

Sore kemarin, Donna membawa sekantong besar pakaian kotor saya dan mbak Ina. Dia menawarkan untuk mencucikan pakaian kami di rumahnya di Bonn. “Tak apalah, pakai mesin cuci lekas kok...”, begitu Donna menawarkan bantuan pada kami.

Hari ini kami telah membuat janji, akan mengadakan perjalanan ke Belanda siang hari. Tidak jauh sebetulnya, cuma sampai kota Venlo yang terletak di perbatasan Belanda dan Jerman.
Namun, sebelum itu aku harus ke Fuhlinger See menghadiri rapat di depan kemah Jung.

Jam 10.15 aku tiba, rapat sudah dimulai. Sandra seperti biasa menerjemahkan apa yang diomongkan Jung. Tugas di Marienfeld dibagi dalam beberapa shift kelompok.
“Ina, Donna dan Guntur [dia suka menyebut Gunther] di mana?”, tanyanya.
“mereka ada di rumah”.
“jadi Toni mewakili mereka?” tanya Jung lagi.
“nggak juga sih, tugas saya menyampaikan hasil pembicaraan siang ini kepada mereka...”

Matahari bersinar terik. Pemandangan danau terlihat indah. Setelah pembagian tugas selesai, kami menuju ke tenda makan. Makan siang telah dibagikan, saya sekelompok dengan teman-teman Perancis.

Seperti biasa, menunya pasta, kali ini dimasak dengan jamur. Saya minta Fulques pimpin doa dalam bahasa Perancis. Dia setuju. Lalu makanan dibagikan... Fulques bertindak sebagai kepala keluarga yang baik, saya sempat meledeknya; “dad, who is our mom?”
“ohh, your mom’s name Mary, Toni”, jawabnya.
“Mary who? Mary our mother or Mary our neighbour?”, godaku lagi...
Si Fulques jadi merah padam... hahaha. Kami tertawa terbahak-bahak menggodanya.
Sayangnya saya tidak bisa berlama-lama bersenda gurau dengan mereka, jam menunjukkan pukul 11.30. Saya musti segera kembali ke stasiun. Saya pamitan pada mereka... dan tergesa-gesa ke stasiun.

Jam 12.30 tiba di Dom. Rame sekali suasana di sana. Ada yang sedang membagikan DVD-DVD film Jesus secara gratis. Untung mbak Ina dan Donna segera muncul. Donna membawa sekantung besar pakaian kami yang sudah dicuci dan dikeringkan. Dia bercerita, semalam dia baru sampai di rumahnya di Bonn jam 1 malam, saking penuhnya kereta menuju Bonn oleh peserta WYD. Jadi tengah malam dia begadang nungguin mesin cuci. Suaminya sempat nyari dia di ruang cuci... trims, ya, Donna!

Jam 13.25 kami berangkat dengan kereta menuju ke Venlo. Di jalan, sempat ada pemeriksaan tiket, kami menunjukkan ID volunteer yang kami kenakan, namun karena jarak yang ditempuh melewati perbatasan Jerman, kami musti membayar tiket. Demikian juga paspor kami tak luput dari pemeriksaan. Mbak Donna tidak membawa paspor, dia ngomong dalam bahasa Jerman menjelaskan kepada petugas. Untunglah petugas itu mau mengerti...

15.30 kami tiba di Venlo. Kami jalan-jalan di sepanjang emperan toko-toko. Suasananya tidaklah asing, selain berbahasa Belanda, dan begitu banyak ‘sale’ barang-barang murah digelar. Donna membeli sandal kelom seharga 2 euro. Mbak Ina sibuk memilih arloji buat suami kesayangannya di Jakarta... dan aku cuma memerhatikan keramaian di sana. Ada dua aktris teater jalanan yang dicat sekujur tubuh dan pakaiannya sehingga mirip patung. Mereka bergaya diam, bila ada yang memberikan uang koin baru mereka bergerak normal. Unik juga.

Christ statue at Venlo
Donna cerita, negeri Belanda lebih longgar aturan hukumnya. Misalnya mengisap mariyuana dilarang di Jerman, sedangkan di Belanda diperbolehkan. Maka orang Jerman ada yang ke Venlo cuma buat ngisap mariyuana. Demikian pula bila mencari suaka politik, banyak yang lari ke Belanda.

Jam 18.15 kami kembali ke stasiun, matahari masih bersinar terang. Kami berkenalan dengan dua gadis yang hendak ke Jerman untuk mengikuti kegiatan WYD. Namanya Elske dan Schoen. Mereka justru minta petunjuk jalan pada kami.
Kemudian mereka minta tanda tangan kami pada topi yang mereka kenakan... ketemu fans, nihh...

Dom's hall crowded
Pukul 19.30 kami tiba di Dom. Suasana ramai sekali, karena Bapa Paus tiba di Jerman dan sore ini mengunjungi Dom. Dom ditutup oleh polisi, segala akses diblokade dengan portal. Orang-orang berdesakan untuk melewati jalan sempit yang tersedia. Sampah tampak bertebaran di seluruh halaman Dom.

Di sebuah sudut Dom, ada pos jaga polisi yang sudah kosong... makanan kaleng bergeletakan di mana-mana, selain itu kaleng-kaleng aerosol [parfum], dan pisau-pisau lipat. Tampaknya di tempat ini beberapa jam lalu dijadikan tempat screening peserta yang ingin masuk ke Dom, dan segala barang tersebut harus ditinggalkan di pos. Tampak beberapa orang sedang memunguti benda-benda tersebut.

Saya berjalan ke Media Markt dan Saturn Galeria [toko barang elektronik] mencoba membebaskan diri dari arus massa. Di sana melalui layar televisi aneka model yang dipajang di toko saya mengikuti liputan berita kunjungan Paus di Jerman. Paus mendarat di bandara dijemput oleh pejabat negara Jerman. Massa terlihat memenuhi tepi Sungai Rhein. Paus menumpang di perahu Rhein Energie dan melambai-lambaikan tangan. Sayangnya, sempat terjadi insiden: Kayu salib WYD yang telah dibawa keliling Eropa, dan sekarang ditegakkan di perahu tersebut sempat jatuh [patah] akibat tertiup angin. Untunglah Paus tidak duduk tepat di bawah kayu salib... ini benar-benar di luar skenario panitia, tentu saja.

Betapa jernih dan jelas kunjungan Paus terlihat dari layar kaca televisi... rasa-rasanya saya berhadapan langsung dengan Paus Benedetto... oh ya, massa kaum muda mengelu-elukan Bapa Suci dengan seruan: Be-ne-det-to... tak henti-henti. Antusiasme kaum muda tak terperikan dalam peristiwa ini.

Jam 22.30 saya kembali ke stasiun Koeln Hbf. Massa masih memadati stasiun. Stasiun sempat diblokade polisi... dengan susah payah, akhirnya bisa lewat juga.
Tiba di rumah, kami masak mie ditemani sayur kaleng dan tuna... lumayan buat makan malam. Tadi hampir semua restoran tutup, semua makanan mereka laris diserbu peziarah.

Wednesday, September 28, 2005

Melamun di Dom 8: nowhere to go

17 Agustus 2005

It must be a sunny day. No rain. What a day... but I missed one of our mates: Mariana. Nobody knew where she was after the Opening Ceremony of World Youth Day. So, last night only me and mbak Ina slept in our nice and comfort room.
[Eh, sorry, gua kalo lagi mabok suka begini nih... ngomongan gak jelas]

Sarapan pagi itu: roti dan Tuna Venezia... so special, karena tunanya jauh-jauh datang dalam kemasan kaleng ke Koeln. Tunanya nggak sendiri, karena ditemani salad sayur, sehingga mereka tampak berjejal dalam kaleng kecil itu. Trims ya, tuna! :)

Kami musti berangkat ke stasiun utama Koeln, karena ada janji dengan Guntur dan Donna di sana. Mereka datang dari Bonn, dan kami bertugas di Universitas Koeln tempat acara musik piknik digelar. Stasiun sudah ramai, aku berjalan ke arah Dom. Ada beberapa atraksi digelar spontan, misalnya rombongan peziarah dari Afrika. Ramai sekali mereka bernyanyi, menari diiringi tabuhan gendang dan lambaian bendera.

Tiba-tiba ada yang menggamitku. Eh, si Guntur sudah muncul. Tergesa-gesa kami turun ke S Bahn [jalur kereta bawah stasiun] menuju ke Neumarkt, kuatir telat. Dari situ kami naik kereta U1 ke arah UniversitaatStrasse. Kampus Universitas Koeln ini mirip UI Depok, ada danau dan areanya luas sekali. Beberapa angsa berenang di airnya yang jernih. Padang rumputnya menghijau luas.

Kami bertemu dengan Jung dan teman-teman dari Fuhlinger See yang sudah berkumpul di sana. Kata Jung belum ada kegiatan pagi itu hingga jam lima sore.
Akhirnya kami kembali ke stasiun. Di jalan, Sandra memberitahukan kabar buruk ini: Bruder Roger pendiri komunitas Taize dikabarkan tewas semalam. Beliau ditikam dari belakang oleh seorang perempuan peziarah dari Romania.

What??? Bruder Roger itu? Yep, sahut Sandra datar.

Kami terkejut bukan kepalang... lagu-lagu Taize begitu akrab dengan telinga kaum muda dan dipakai pada beberapa bagian perayaan WYD. Estelle bilang bahwa Taize letaknya beberapa mil dari Paris. Beberapa poster Bruder Roger tampak terpampang di dinding Info Point. Ini tentu ungkapan dukacita beberapa peserta WYD.

Kami melanjutkan perjalanan ke Messe dengan berjalan kaki di sepanjang sungai Rhein. Ada sebuah perahu besar KSHG, semacam perkumpulan mahasiswa katolik di Jerman, yang sedang tertambat di tepi sungai. Kami mampir dan masuk ke dalam perahu. Ada kafe di dalam. Kami duduk ngobrol sambil memandang sungai dari jendela.

Coklat panasnya sedap, sekalipun harganya 1 euro. Kemudian kami ke anjungan perahu. Duduk-duduk berjemur di bawah mentari yang bersinar terik. Dari kejauhan terdengar lagu Taize sedang dinyanyikan di Messe...

by the river of Rhein
Sajak ini langsung terlahir di sana:
ingatkah dikau, kawan
di tepi sungai Rhein
kita duduk termangu
ditemani secangkir coklat panas
sambil mengingat-ingat Tuhan
nyanyikan lagu
harapkan perdamaian
di tingkap rumah-rumah kecil
yang berderet tampak serupa
dengan pintu dan cerobong asap
dan selipan bunga di jendela
kita mencari jejak
pada peta yang belum pernah disentuh

adakah rumput-rumput basah
akan kauinjak
saat menempuh jarak ke tenda
seperti burung kembali ke sarang?


Kami meninggalkan perahu KSHG, dan terlihat beberapa stand jurnalis digelar di sepanjang jalan. Tampaknya ada beberapa stasiun tv dan radio mengadakan peliputan live kegiatan WYD. Ada teman yang hendak diwawancarai oleh wartawan, namun Sandra mengingatkan bahwa karena kami sedang mengenakan seragam volunteer, maka kami tidak diperbolehkan memberikan informasi apa pun kepada pers.

Tiba di Hall Messe terlihat antrian untuk makan siang yang penuh berjubel. Donna dan Guntur kemudian mengajak saya dan mbak Ina untuk berangkat ke rumah Donna di Bonn. “kita makan siang di Bonn yuk!”
“nasinya cukup nggak?”
“gampanglah itu... kita masak-masak di rumahku”, jawab Donna dengan logat Bataknya.
Maka kami pun balik ke stasiun Koeln Hbf, untuk menumpang kereta ke arah Bonn. Di stasiun kami berpapasan dengan rombongan yang dengan serunya bernyanyi-nyanyi: “Tujuh belas Agustus tahun ampat limaaa....”, sambil mengibar-ngibarkan bendera merah putih.
Ohlala... rombongan anak-anak Indonesia mahasiswa Berlin, sedang merayakan tujuhbelasan di stasiun Koeln dengan ramainya. Setelah ‘upacara’ kecil-kecilan alias ngobrol dengan mereka, kami pun melanjutkan perjalanan.
Ada kabar yang saya dengar bahwa mahasiswa Indo di Berlin terkesan rada ‘som-se’, katanya mereka jarang mau negur atau nyapa duluan bila ketemu dengan mahluk Indo. Apa benul? [benar dan betul?] ahh, itu sih gosip... karena perjumpaan kami di stasiun siang itu akrab sekali. Merdeka!

Kereta ke arah Bonn tiba jam 13. Keretanya agak beda dengan kereta yang sering kami tumpangi. Yang ini mirip kereta tua, duduknya saling berhadapan. Tapi asyiknya ada sandaran kepala di samping kursi. Jadinya aku bisa bobok di jalan, sesudah ngobrol dengan Chris Milas, teman dari Michigan yang mau ke Bonn juga.

Chris ini fasih menyebutkan beberapa istilah seperti: sate, ikan, sapi. Jenis-jenis ikan dalam bahasa Indonesia juga disebutnya lancar. Rupanya aneka makanan tadi dikenalnya dari komunitas Indonesia di Michigan, AS. Pacarnya, cewek dari Indo, suka ngajak dia makan masakan Indo di sana... tapi, so sad but true, dia kemudian ditinggal sama pacarnya ini... hik hik hik... makanya mungkin ini yang makin membuat dia hapal dengan nama masakan Indo.

Kami tiba di stasiun utama Bonn [Bonn Hbf] dan mengantar Chris ke bus yang dipenuhi dengan rombongan Indonesia. Tujuan mereka kebetulan sama? Kebetulan?? Kok bisa kebetulan ya... Ya, semoga Chris dapat melupakan kenangan sedih dengan pacarnya itu.

Kami lanjutkan perjalanan naik kereta ke stasiun Hersel. Menuju ke rumah Donna! Guntur cerita lucu di sepanjang jalan, kisah tentang tukang becak yang karena kurang bayarannya nggak mau pakai rem... ramai sekali deh. Orang-orang di gerbong mungkin pada takjub dengan keceriaan kami. Maklum Guntur arek Surabaya, Donna dari Batak, mbak Ina dari Jakarta, dan saya dari nowhere... hehehe. Kebayang kan kalo lagi ngobrol. Mirip rujak cingur! Sedap.

Tiba di Hersel, kami berjalan ke apartemen Donna. Saya dan Guntur diminta pergi belanja ayam dan sayur ke Aldi supermarket. Supermarketnya tidak jauh dari rumah Donna. Sepanjang jalan yang kami lalui sangat asri dan sepi. Tidak banyak kendaraan lalu lalang. Supermarket itu juga tidak ramai. Saya langsung ke rak sayur, buah dan makanan beku untuk memerhatikan benda-benda ajaib. Guntur bingung saat memilih chicken wings dalam kemasan atau chicken karage. Akhirnya keduanya dibawa.
Brokoli hijau nggak ada, diganti dengan kembang kol putih. Terus, buahnya apa?

Ada buah yang menarik. Naktarine, semacam plum. Maka kami ambil satu kotak. Tiba di apatemen Donna, saya lebih takjub lagi. Dapurnya rapi sekali, dua celengan babi ditaruh di jendela dapur. Di luar pemandangan pepohonan. Celengan babi itu, kata Donna, bila sudah penuh, isinya banyak sekali koin euro... bisa dipakai buat liburan ke Indonesia. Makanya dia minta dibelikan celengan babi gemuk sama suaminya.

Donna dan mbak Ina masak di dapur. Aku duduk di teras, menikmati pemandangan kebun tetangga. Pemanggang BBQ sedang dipanaskan. Ayam-ayam karage ditaruh di atasnya.
Menu makan siang kami: nasi panas, ayam bakar karage, tumis kol sewajan, plus sambal Indofood. Rasa-rasanya kami sedang makan siang di Indonesia... ramai dan sedap sekali! Hehehe. Bayangkan saja, nasinya sampai ludes sebakul.
“trus, suamimu makan apa nanti, Donna?” tanya mbak Ina.
“tak usah kuatirlah... dia bisa masak nasi sendiri”, jawab Donna.
“tau nggak, dia itu biasa beli roti, carinya roti yang sedikit murah... aku kan maunya roti yang biarpun sedikit mahal, tapi bisa diiris tidak hancur... eeh, pas rotinya dipotong hancur, kubilang baru rasa kamu...”, cerita Donna dengan logat Batak yang kental mengenai kebiasaan suaminya yang Jerman itu.

Setelah menikmati naktarine [yang sedikit kecut namun manis dan berair] dan ngobrol, kami mengagumi isi kamarnya yang di dindingnya terdapat gambar yang indah... “wah, kelihatan seperti kamar pengantin niih... rapi sekali”, ujarku. Mba Ina pun juga setuju.

Pukul 16.15 kami meninggalkan Hersel, kembali ke Neumarkt yang cukup jauh dari Bonn. Di Neumarkt, kami bertemu dengan seorang ibu tua dari Indonesia yang sedang menunggu kereta juga. Namanya Ibu Marta. Beliau seorang perawat yang sudah lama bekerja di Jerman. Katanya, beliau baru saja pulang berenang. Ada sebuah tas keranjang anyaman rotan yang dibawa dengan handuk. Waduh, sedap sekali bisa menikmati masa tua seperti ini ya...

Tiba di UniversitaatStr, saya berpapasan dengan teman Perancis.
“kalian kemana saja seharian ini?”
“tadi kami ke Ursulinen, mengambil pakaian yang dicuci kemarin”, kata Fulques menunjukkan tas bawaannya. “sudah makan?” tanyaku.
“kami makan di McD, masing-masing 6 euro...”, katanya.
“wow, tentu itu makan siang yang asik”. Tapi dalam hati kuakui bahwa makan siang kami tadi lebih asyik lagi...

Saat berkumpul dengan teman-teman di sana, Sandra memberitahu bahwa besok kami berkumpul di depan tenda Jung untuk persiapan acara di Marienfeld. Masing-masing teman kuperhatikan agak lesu sore itu. Rupanya, teman-teman seharian ini dongkol, instruksi dari Jung tidak jelas mengenai kegiatan musik piknik. Sejak pagi mereka bangun [kabarnya semalam mereka baru pulang ke Fuhlinger See dari Dusseldorf sudah larut malam], berangkat ke UniversitaatStr dan di sini mereka duduk bengong saja.

Saya coba menghibur Melitta dan teman-teman. Di seberang lapangan ada pembagian kue-kue dalam kotak besar dan dus-dus susu coklat. Kotak kue kubuka, isinya beberapa macam kue bolu...
“Ooww, this is my mom’s cooking! It’s very delicious. Please, take it.”
Hanya beberapa teman yang mau mengambil kue yang kutawarkan. Mereka tentu mangkel dengan apa yang terjadi sore itu, selain bahwa rasa kue bolunya memang kurang meyakinkan. Mungkin karena dimasak massal untuk ratusan ribu peserta WYD, ya?

Akhirnya kami berpamitan. Lapangan Universitas di penuhi dengan kaum muda yang sedang bermain, duduk-duduk, ataupun berpacaran. Saya mampir ke kotak Dixi sebentar. Begitu pun Donna. Keluar dari Dixi, kupikir mereka sudah mendahului pergi ke stasiun. Aku pun segera ke stasiun... eh, tiba di sana, mereka tidak ada.
Aku balik ke dalam kampus. Ya ampun, kami berselisih jalan rupanya. Si Donna tadi malah mengabsen setiap kotak Dixi dengan menyebut namaku. Dipikirnya aku masih ada di sana... hehehe.

Tiba di stasiun, kami menunggu Agnes. Nah, terjadi lagi selisih jalan...
Agnes beritahu melalui sms bahwa dia sudah tiba di UniversitaatStr. Tapi mungkin di stasiun lain di sekitar kampus yang luas ini. Padahal kami tadi melalui AachenerStr. Cukup lama menunggu di stasiun, sebelum kami memutuskan untuk berangkat kembali ke TrimbornStr. Mau pulang. Armelia katanya lagi masak ayam goreng dan nasi kuning...

Jam 20 kami tiba di rumah. Dan benarlah, Armel lagi masak ayam goreng. Hari apa sih hari ini? Rasanya kami pesta makan nasi sepanjang hari ini... oh ya, proklamasi kemerdekaan!
Sekalipun seharian ini mirip orang nyasar, “nowhere to go”, tapi yang jelas, makanan hari ini sedap, bo. Anggaplah ini karunia. bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa...

Sekali lagi, merdeka, coy!

Tuesday, September 27, 2005

Melamun di Dom 7: opening ceremony

16 Agustus 2005

Pukul 7.30 kami baru bangun. Waduh, telat bangun nihh... hari ini kan musti kumpul dengan teman-teman dan berangkat ke Dusseldorf sebelum misa pembukaan WYD dimulai!

Maka acara kebut-kebutan mandi dan sarapan pagi terjadi di pagi yang cerah itu [kali ini tidak hujan]. Saya sarapan roti kepal dan sayur kaleng [saking banyaknya makanan kaleng yang diberikan setiap hari, saya jadi punya koleksi sekantung logistik]. Sedangkan Mbak Ina dan Mariana sarapan nasi goreng Gaga, yang cukup diseduh dengan air panas, kemudian tinggalkan sebentar... dan nasi ‘goreng’ sudah siap.

Air panas memakai air keran [di sana air keran wastafel bisa langsung diminum] dan colokan pemanas air yang saya bawa dari Indo. Setelah siap, kami berjalan ke stasiun Trimbornstrasse. Kami memutuskan untuk langsung ke Dusseldorf, tidak berhenti di Chorweiler. Nah, sepanjang jalan setiap kali kereta berhenti di stasiun, para peserta WYD berjubelan masuk ke dalam gerbong. Mereka tentu punya tujuan sama, ke Dusseldorf.

Kami dapat tempat duduk. Kebanyakan yang baru datang hanya bisa berdiri. Mariana dengan tenang masih menikmati sarapan paginya di kereta: bekal roti dan mentega yang dioleskannya sepotong-sepotong... Ketika kereta tiba di LTU Arena, kami menunggu Jung dan grup kami, serta Guntur.

Oh ya, Guntur nginap di Bonn selama kami tinggal di kamar apartemen Jimmy. Katanya ada rumah teman di Bonn yang ditumpanginya. Nah, dia juga bersama Armelia ikut mendaftar menjadi volunteer WYD. Hari Senin kemarin, mereka akhirnya berhasil diterima sebagai volunteer, dan kami merekomendasikan dia pada Jung supaya dia dapat bergabung di tim kami. Jung setuju.

Di halte LTU Arena, saat menunggu itu, kami bertemu dengan rombongan Polandia. Mbak Ina dan Mariana mengajak mereka ngobrol sambil mengeluarkan keahlian berbahasa Polish, misalnya “Jesus, I trust in you”... [aku lupa bahasa Polandianya]. Mbak Ina tentu fasih, karena istilah ini dari devosi koronka [kerahiman ilahi], sedangkan Mariana katanya belajar dari Stefan Leks, orang Polandia yang kerja di Lembaga Biblika Indonesia. Mbak Ina sempat mengutarakan maksudnya mau meminjam bendera Polandia mereka. Buat apa?

Besok kan 17 Agustus? Rencananya bendera Polandia ingin kami pakai menjadi bendera Indonesia. Tinggal dibalik saja. Putih merah, jadi merah putih... tapi dengan halus mereka menolak dan bilang bendera Polandia grup mereka cuma satu... yaahh, gak jadi deh balikin bendera Polandia! Hehehe...

Setelah lama menunggu dan yang ditunggu tidak jua muncul-muncul. Kami langsung masuk ke stadion. Penjagaan pintu masuk cukup ketat, selain ID Volunteer, harus menunjukkan Pass masuk LTU Arena. Mariana dilarang masuk, karena dia tidak punya Pass masuk LTU Arena. Kami musti mencari Jung dan meminta satu Pass buat dia.
Pukul 12 siang kami tiba di tribun dalam stadion LTU. Teman-teman rupanya sudah duduk di sana, dan juga Guntur. Waduh... jadi tadi kami nunggu siapa ya? Lha yang ditunggu sudah ada di dalam. Hehehe... Florian rupanya tidak dapat memberikan pass masuk buat Mariana, karena dia bukan anggota tim kami.

Siang itu sedang digelar rehearsal alias gladi bersih untuk acara pembukaan WYD nanti sore. Kami membagikan lembaran teks lagu, koran Direkt ke setiap bangku di tribun. Atap stadion berupa kubah ditutup, mungkin kuatir bila hujan turun.
Jam makan siang tiba, kali ini suasananya berbeda... lebih mirip pemain sepak bola istirahat di kamar ganti. Karena di tempat macam itu kami makan siang: lentil soup dan minumnya soda. Cuma itu doang? Ya cuma itu. Sepertinya Sodexho, perusahaan yang menyediakan logistik sepanjang WYD berlangsung, siang itu tidak menjangkau LTU Arena.
Karena lentil sup kurang ‘nendang’ [istilah mbak Ina], maka aku ngantri lagi untuk mangkok kedua. Tapi si Kimberly Fu, teman dari Kanada mengingatkan bahwa mungkin masih banyak yang belum dapat makan siang... akhirnya gak jadi nambah. Kecian dehh...

Terpaksa Snickers time! Hehehe...

Sesudah makan siang, jam dinas kami secara resmi dimulai. Kami menuju ke pos masing-masing. Para peserta mulai berdatangan masuk ke dalam stadion. Masing-masing jenis tamu dibedakan ID card dan pintu masuknya: peserta, wartawan, VIP [para uskup, kardinal, pejabat]. Penjagaan dilakukan berlapis-lapis. Yang paling ketat adalah wilayah lapangan, di sepanjang pintu akses dijaga oleh security berjas hitam-hitam dengan kabel earphone menjuntai di belakang telinga. Tidak ada yang boleh masuk ke lapangan selain petugas.

Kami bertugas memeriksa ID setiap peserta, memberi informasi dan mengantar bila perlu. Sayangnya, dalam tim saya tidak ada fasih berbahasa Jerman. Beberapa kali harus kami katakan: “Sorry, speaking please...”

Saat ada rombongan uskup dari Kanada nyasar ke tempat kami, seorang uskup dari Halifax menanyakan asal kami satu per satu. Dia cukup terkejut mengetahui saya dari Makassar, Indonesia, dia sempat titip salam buat uskup kami [sudah saya sampaikan salam beliau, dan uskup kami bilang bahwa pernah beberapa tahun bertugas di sebuah keuskupan di Kanada]. Ada juga pastor-pastor dari Bari, Itali yang nyasar, dan menanyakan di mana mengambil stola dan kasula buat misa pembuka. Saya menemani mereka ke atas, ke ruang yang dijadikan sakristi. Peraturan di sana langsung mengejutkan mereka: hanya imam yang membawa stola yang bisa masuk dan bersama-sama merayakan misa pembukaan.

Sempat juga ada seorang peserta marah-marah, dia mencari air minum ke sana kemari, namun tidak ketemu. Katanya Kardinal butuh air minum. Saya cuma mengantarnya ke kantin tempat jualan makanan dan minuman. Soalnya setahu saya, menara air Rhein Energie cuma ada satu, tapi harus keluar stadion... tapi, apakah kardinal mau minum dari menara air? Hehehe...

Pukul 17, Pembukaan World Youth Day XX digelar, serentak di tiga stadion: Bonn, Koeln dan Dusseldorf. Kamera menyiarkan siaran secara simultan bagian-bagian misa ke setiap stadion. Penonton mengikuti dari layar raksasa yang ada di atas stadion. Pada bagian Ekaristi, barulah siaran ke terfokus ke imam yang memimpin ekaristi di stadion tersebut.

Ramainya luar biasa. Mirip pertandingan Bundesliga yang digelar sore itu. Beberapa peserta berkata bahwa mereka sangat bangga dapat hadir dalam acara spektakuler sore itu. Setiap bangsa mengibarkan benderanya ditimpali gemuruh gelombang yang diciptakan bergantian. Kardinal Lehmann yang menjadi selebran utama di LTU Arena mengatakan bahwa peserta WYD 2005 telah berhasil melumpuhkan kota Koeln beberapa hari ini.

Rasanya itu tidak berlebihan, karena koran-koran lokal juga telah melaporkan hal yang sama. Mobil-mobil musti melambatkan lajunya, saat ada rombongan yang tiba-tiba menyeberang jalan. Namun, kali ini tanpa umpatan, makian, maupun klakson, selain senyum dan lambaian tangan, kata koran lokal.

Saat Kardinal Lehmann berpidato, Sandra memberitahukan saya bahwa kardinal ini tidak terlalu disukai karena sikapnya yang konservatif. Katanya sih, dia masih kolega dengan kardinal Ratzinger yang sekarang jadi paus.

Setelah acara pidato seremonial, dilanjutkan dengan acara musik! Stadion jadi bergemuruh kembali... kami menari-nari di tribun mengikuti irama lagu Jerman. Lampu-lampu dipadamkan, stadion gelap, namun cahaya berwarna-warni menerangi... Guntur jogetnya paling hot, Inul kalah deh... teman-teman sampai ketawa.

Saat arloji menunjukkan pukul 21, ini tanda kami sudah harus balik ke stasiun. Pingin sekali mengikuti acara ini sampai selesai... apalagi saat melangkah ke luar stadion, langit di luar tampak masih terang benderang, seperti masih sore. Namun, perjalanan balik ke Koeln yang memakan waktu lebih 1 jam, membuat kami harus segera pulang.

Dan benar, pukul 23 kami baru tiba di rumah.

tanah asing

mengantuk aku di metro
melihat poster
asing namun akrab
dalam kecepatan
ruang dan waktu

: berhentilah!

Melamun di Dom 6: stairway to heaven

15 Agustus 2005

dom

tembok kusam berdiri gagah
dengan menara kembar runcing
menggores langit
“mari kita bunyikan loncengnya”,
katamu kemarin

bila nafasmu panjang
509 anak tangga tentu dapat
kaudaki sampai ke puncaknya

jangan coba berhenti
sebelum kau pandang surga
dan bintang yang pernah disaksikan
para majus itu

reliefnya akan bercerita
sejarah bangsa ini dan dunia
waktu menyeberangi sungai Rhein
laksana Musa dulu
melintasi Laut Merah

Dom,
tempat peziarah menggapai langit,
berdirilah gagah selalu!


Pagi hari hujan turun. Saya suka ke jendela di belakang tempat tidur mbak Ina sewaktu dia ke kamar mandi. Duduk di jendela mengamati pemandangan di luar yang basah.
Sarapan pagi kami: wafel isi vla, sisa bekal makan tadi malam.

Sesudah itu kami bersiap-siap naik kereta ke Fuhlinger See. Rencana pindah dari kemah ke kamar apartemen sudah bulat, karena hari ini adalah hari libur kegiatan relawan. Hari Senin pekan ini, para peserta WYD mulai berdatangan dan registrasi. Besok baru diadakan acara pembukaan.

Di Chorweiler hujan turun deras. Tiba di area Fuhlinger See kami berpapasan dengan tiga teman dari Polandia. Mereka katanya mau ke bank di Koeln untuk ambil zloty [mata uang mereka] buat beli pakaian. Mungkin pakaian-pakaian mereka kebasahan akibat jacuzzi di tenda semalam...

Di tenda makan, ada teman-teman Perancis. Fulques, Estelle dan Edward. Seru sekali obrolan pagi di ruang makan... syukur bahwa Edward sudah segar kembali. Kebetulan aku nggak bawa sendok garpu, buat mengaduk isi gelas dan mengoles roti, Estelle dengan senang hati meminjamkan sendok garpunya. Oh ya, peralatan makan kami sangat istimewa, dibagikan sewaktu registrasi hari pertama dan dipakai sepanjang kegiatan berlangsung. Kelihatannya sendok garpu terbuat dari plastik, namun jangan silap, dari buletin WYD dijelaskan bahwa semua peralatan makan terbuat dari bahan jagung dan dapat mudah hancur [decomposable].

Kami beritahu bahwa hari ini kami akan pindah dari Fuhlinger See. Karena itu kami segera ke kemah dan berkemas-kemas. Teman-teman dari Perancis juga akan ke Koeln, jadi kami berangkat bersama. Fulques membantu membawakan koper mbak Ina yang padat sekali isinya. Estelle bercerita bahwa di Paris, mereka bertiga tinggal berpencar. Edward kuliah di fakultas Biologi. Bila musim liburan mereka ke Toulon dan bermain ski di sana.

Tiba di stasiun Hansaring, kami berganti kereta ke Koeln.
Perutku mulai ada gangguan lagi. My stomach is not delicious, begitu kata teman saya dulu di India... hehehe. Sehingga aku harus turun di Koeln Hbf bersama ketiga teman Perancis. Mbak Ina sendiri lanjut ke Trimbornstrasse.

Tujuanku: ke toilet McDonald di lantai bawah. Hehehe... Edward sempat menyarankan untuk ke apotek di depan McD buat beli obat diare. Tapi aku justru jadi bingung waktu penjualnya ngomong pakai bahasa Jerman, ntar keliru diberi obat bisa payah deh... Jadi aku memutuskan ke McD saja. Ada penjaga toilet dengan ramah mengatakan bahwa toilet lowong, bahkan mau mengantarku masuk... Ranselku yang besar itu saja yang kubawa masuk... Thanks God. Masalah adaptasi perutku rupanya belum selesai, namun setidaknya McD cukup menolong.

Setelah itu baru aku lanjutkan naik kereta ke Trimbornstrasse. Acara pindahan rumah berjalan lancar hari itu, meski dengan ‘gangguan’ kecil saja. Setelah menaruh ransel di kamar apartemen, dengan mbak Ina kami naik kereta ke Koeln Messe untuk makan siang. Antrian volunteer yang hendak makan siang di sana ramai sekali. Ada teman dari Filipina yang kocak sekali. Sepanjang antrian dia bercerita lucu... kami tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya.

cookers
Menu makan siang kami: nasi goreng ala India.
Syukurlah, akhirnya ada menu nasi setelah beberapa hari makan pasta aneka variasi. Nasi gorengnya pakai ayam, tapi dengan bumbu kari. Saya perhatikan di dapur umum, para koki cuma menuangkan nasi goreng instan yang dikemas beku ke dalam wajan raksasa. Lalu menutupnya beberapa saat kemudian mengaduk-aduk, sebelum dibagikan ke dus-dus.

dom
Selesai makan siang, saya berangkat ke Dom. Siang itu saya ingin mencoba mendaki anak tangga ke menara Dom. Antrian peziarah yang ingin naik cukup panjang. Karena saya memakai id volunteer, saya minta langsung naik, alias tidak perlu bayar...
Tangganya terbuat dari batu yang melingkar-lingkar ke atas. Ruangan untuk melangkah tidak terlalu lebar, cuma muat buat satu orang. Bila kebetulan berpapasan, yang satu musti merapat ke dinding dulu supaya yang lain bisa lewat. Saya menyanyi-nyanyi lagu Taize buat menghibur diri: “dalam Tuhan aku bersyukur... dengan lagu pujian... Tuhanlah... penyelamat... ku... hhhh... hhh... hhh...” napas sudah mulai terengah-engah di tengah jalan. Musti berhenti dulu... masih berapa lama sampai ke atas ya? Tak ada petunjuk apa pun, selain anak tangga yang berwarna kusam.

Ya Tuhan, semoga aku kuat naik ke atas... ada 509 anak tangga yang harus didaki. Untunglah ada air botol yang baru diisi di tower Rhein Energie tadi. Singkat kata, sampai juga. Ada ruangan berbentuk lingkaran tempat peziarah duduk-duduk kecapekan. Aku duduk dulu di sana dan memperhatikan: masih ada tangga terbuat besi ke puncak menara. Di sini belum ada apa-apa yang bisa dilihat. Maka, pendakian dilanjutkan lagi... akhirnya... tiba jua!


top of the dom
Pemandangan kota Koeln terhampar di luar, langit digelayuti awan mendung. Rumah-rumah dan sungai Rhein terlihat seperti mainan monopoli. Aku mengelilingi puncak menara dan memandang segala penjuru, ada poster ‘Ansichten Christi’ terlihat dari kejauhan. Tentu ukurannya besar, berupa lukisan Thomas yang menyentuh Kristus yang bangkit, sehingga dapat kupandang dari sini.

Sesudah itu, turun tangga... kali ini tentu lebih mudah dan bisa lebih cepat. Sempat mampir di pintu tempat lonceng katedral dibunyikan. Peziarah yang ingin membunyikan lonceng, cukup memasukkan beberapa koin euro, lonceng berdentang dengan kerasnya... Pantas saja, setiap kali lonceng Dom berbunyi saya perhatikan arloji, lho kok nggak tepat waktu? Rupanya itu hasil kerja peziarah.

Saat menjejak bumi kembali, saya masuk ke dalam Dom. Peziarah ramai. Di sayap kanan katedral, ada patung bunda Maria, menurut leaflet Dom, pernah ada mukjizat terjadi. Maka orang ramai-ramai mendekat untuk berdoa. Termasuk saya. Ada seorang pastor Italia yang sedang mendoakan masing-masing peziarah. Di depan saya ada seorang gadis. Dia ditanya oleh pastor: “where are you from?” Dia jawab: “Indonesia”.
Olala... aku langsung menggamitnya. “Dari Indonesia, ya?”

Pastor itu memandang kami berdua dan bertanya: “Are you both a couple?”
Langsung kami menjawab: “No. we’ve just met here...”

Pastor itu menumpangkan tangan dan berdoa dalam bahasa Italia. Lalu kami beranjak pergi dan mengobrol di tempat lilin. Gadis itu namanya Lisa, dia dosen Fakultas Psikologi Atma Jaya Jakarta. Dia berangkat ke Koeln dengan Thai Airways. Katanya, sepanjang penerbangan ada empat kali disediakan makan... gile bener.

Kami keluar Dom, untuk menghabiskan waktu sebelum misa jam 18.30. Jadi aku ke menara air untuk mengisi botol minumku. Lisa justru memberiku sebotol jus apel, katanya dia nggak doyan karena rasa sodanya. Kami berjalan ke Hohestrasse. Sewaktu melihat pengemis di pinggir jalan, Lisa berhenti dan membuka dompetnya. Pengemis itu diberikan duit euro. Ya ampun, kataku... pengemis di Eropa sih sungguh-sungguh dijamin negara, beda dengan di Indonesia. Baru beberapa langkah, Lisa berhenti. Ada kartu-kartu doa Mother Teresa di tangannya. Dia kembali ke pengemis tadi dan memberikan satu kartu...

Aku tersenyum-senyum... ajaib juga bisa ketemu malaikat macam ini di Koeln.
Kami ke Galeria Kaufhof. Di lantai dasar Galeria ada supermarket. Banyak sekali makanan enak dijual di sana, termasuk aneka minuman keras. Lisa kebingungan mau belikan apa buat koleganya di kampus. Hampir dibelinya sebotol minuman, cuma kuingatkan kalo botolnya pecah di jalan bisa berabe. Akhirnya kami ke counter cokelat. Ada bermacam-macam cokelat dengan harga berbeda-beda. Lisa memborong cokelat.

Dari rak cokelat, sayup-sayup aku dengar lagu yang diputar dalam supermarket, lagu “Home” Michael Buble yang suka kudengar waktu di Indonesia:

Another summer day
Has come and gone away
In Paris and Rome
But I wanna go home
Mmmmmmmm

Maybe surrounded by
A million people I
Still feel all alone
I just wanna go home
Oh I miss you, you know

And I’ve been keeping all the letters that I wrote to you
Each one a line or two
“I’m fine baby, how are you?”
Well I would send them but I know that it’s just not enough
My words were cold and flat
And you deserve more than that

Another aeroplane
Another sunny place
I’m lucky I know
But I wanna go home
Mmmm, I’ve got to go home

Let me go home
I’m just too far from where you are
I wanna come home

And I feel just like I’m living someone else’s life
It’s like I just stepped outside
When everything was going right
And I know just why you could not
Come along with me
But this was not your dream
But you always believed in me

Another winter day has come
And gone away
And even Paris and Rome
And I wanna go home
Let me go home

And I’m surrounded by
A million people I
Still feel alone
Oh, let me go home
Oh, I miss you, you know

Let me go home
I’ve had my run
Baby, I’m done
I gotta go home
Let me go home
It will all be allright
I’ll be home tonight
I’m coming back home...


Rasanya aneh juga, lagu itu bisa kudengarkan di sini... tapi coba deh dengarkan dentingan gitar dan suara Michael Buble di tanah asing. Wuih... jadi melamun nih!
Sesudah itu kami kembali ke Hohestrasse, mampir di KFC. Lagi ada promo: 2 burger, jagung, dan pepsi cuma 3,99 euro. Kami ngobrol di sana. Lisa bilang dia musti segera balik ke kampus selesai acara, karena ada ujian skripsi. Mahasiswa sudah menantinya... what a good lecturer, ya?

Menjelang 18.30 kami berjalan ke Dom. Hari itu tepat perayaan Maria Assumpta [Maria Diangkat ke Surga]. Waktu aku sebut Maria Assumpta ke Lisa, ada cewek Spanyol di Hohestrasse langsung menoleh. Temannya segera memanggil: Maria Assumpta! Olala... namanya kebetulan sama.

Dom sudah terisi banyak peziarah yang ikut misa. Kami tidak kebagian bangku, jadi berdiri saja. Waktu kardinal lewat, aku mengikutinya untuk memotret. Saat misa dimulai, aku duduk di lantai. Mungkin karena itu, perutku mules lagi... hehehe.
Aku segera keluar, berlari ke McD. Dan berdoa, agar penjaga toiletnya tidak mengenaliku. Karena aku tidak memberinya duit setiap kali keluar toilet... hehehe. Saat hendak balik ke Dom, aku berpapasan dengan Jung di jalan. Dia senang sekali melihatku, tapi hidungnya meler sepertinya pilek. Dia bilang bahwa ada pesta sandwich gratis di Heumarkt. Aku disuruh ke sana...

Karena tidak tahu jalan, aku ke Info Point di belakang Dom untuk bertanya. Di sana ketemu teman-teman Perancis! Aku memberitahukan mengenai free sandwich dan kami beramai-ramai menuju ke Heumarkt, tempat yang belum pernah kami datangi. Hujan lebat turun. Untung aku pakai jaket volunteer yang cukup menolong dari hujan.

Setelah beberapa kali hampir nyasar, sampai juga di Heumarkt. Ada konser WYD digelar di alun-alun. Pengunjung cukup ramai. Kami ke pos logistik menanyakan di mana sandwich disediakan, mereka justru memberikan dos makan malam... “bukan, bukan itu... sandwich!” Dia menunjuk ke arah belakang. Kami mengikutinya, sampai tersasar ke arah jejeran Dixi... akhirnya kami coba mencari sendiri. Di emperan toko yang dipenuhi kios Kolsch, kami bertemu dengan Hubert, Julia dan teman-teman Jerman yang sedang kongkow. Mereka memberitahu arah sandwich, dan benarlah... ada beberapa meja panjang berderet dengan sandwich berlapis-lapis disusun memanjang.

Kami langsung mengambil beberapa lapis sandwich, dan membawanya ke tempat Hubert. Aku menikmati sandwich dengan jus apel dari Lisa. Pelayan datang membawa 1 meter kolsch. Ya astaga, wadah gelas bir terbuat dari kayu yang panjangnya satu meter, di atasnya ditaruh gelas-gelas kolsch.

Hubert memamerkan kepiawaiannya menyusun tumpukan alas gelas kolsch dan dengan satu hentakan tangan dia dapat menangkap semuanya secara sempurna. Fulques mati-matian mencoba. Saya juga. Tapi tidak pernah berhasil. Fulques yang berhasil dalam permainan itu.

Aku sempat dipaksa minum kolsch, tapi kubilang: ‘haram...’. Fulques yang jago bahasa Arab ketawa dan menjelaskan kepada mereka: haram means it is not permitted by Allah. Tapi bagaimana dengan sandwich tadi yang pakai ham? Itu sih sedap. Hehehe...
Lalu ketika seorang pelayan [perempuan dan manis] datang, masing-masing teman yang ambil gelas kolsch tadi saweran duit 2 euro.

Aku sempat sms ke mbak Ina memberitahukan bahwa di heumarkt sedang ada pesta sandwich gratis, tapi rupanya mereka sedang menikmati pertunjukan konser di tempat lain.

Hari sudah malam, kami harus berpisah. Hubert dan teman-teman balik ke Fuhlinger See, saya balik ke Dom mencari mbak Ina dan Agnes.
Karena tidak bertemu, saya ke stasiun Koeln Hbf. Waduh... manusia membludak di sana. Polisi membuat penghalang supaya tidak semuanya dapat sekaligus masuk ke dalam stasiun. Sempat terjadi dorong mendorong, sebelum saya lolos masuk.
Stasiun Koeln tampaknya sudah disesaki para peziarah WYD. Pertanda bahwa beberapa hari ke depan jubelan manusia dari segala bangsa akan menjadi pemandangan umum di sini. Tiba di peron di lantai atas, segera aku melompat masuk ke dalam kereta ke arah Trimbornstrasse.

Di sana, dengan mbak Ina [yang kemudian menyusul] kami balik ke apartemen. Tiba di apartemen, Armelia memberitahu bahwa kami mendapat tambahan tamu istimewa malam itu: Mariana. Aku disuruh menjemputnya di stasiun Trimbornstrasse.

Mariana adalah teman mbak Ina di Jakarta. Anak ini cukup unik, dia termasuk anggota ‘jejak petualang’ alias tukang jalan sendiri. Dari Jakarta, dia berangkat mendekat hari H dengan tiket yang belum jelas. Ajaibnya, kelompok volunteernya juga belum jelas. Ketika mendengar bahwa Mariana sudah tiba, aku menyebutnya mukjizat.
Apalagi waktu bertemu dengan Mariana langsung... hehehe. Orangnya kecil, langsing... logatnya sangat totok [Mandarin]. Dia suka bilang: “kamu orang itu ya....” hehehe, kami suka mengingat-ingat cara Mariana ngomong dan tertawa setelah meninggalkan Koeln.

Armel menurunkan satu lagi kasur springbed.

Mbak Ina, Mariana, dan saya tidur sekamar malam itu... di kasur kami masing-masing, tentu saja.