Tuesday, December 06, 2005

Melamun di Dom 14: Eiffel, we’re lost!

23 Agustus 2005

Maaf, kisah ini lama tersimpan dan baru kulanjutkan sekarang... so much things to do... hehehe. Baru kuteruskan saat aku duduk di depan meja komputer karena harus membuat sebuah laporan. Alih-alih membuat laporan, saat pikiranku buntu, kupikir lebih baik meneruskan kisah yang sempat terhenti ini yaa...

Ini adalah hari terakhir kami berada di Jerman. Dan kami bangun pagi telat! Pukul 6 pagi, Agnes dan mbak Ina ramai-ramai menyerbu masuk ke kamar... sesaat panik nih, seperti lagi digerebek tramtib. Mereka semalam tidur di kamar Armel, jadi aku tidur sendirian. Entah kenapa, weker gak bunyi. Harusnya jam 5 kami sudah harus bersiap-siap. Kereta kami akan berangkat pukul 7.16! Jadi waktu yang tersisa buat kami di pagi cerah itu 1 jam 16 menit.

Kebayang kan paniknya kami mengemasi barang-barang, cuci muka, sisiran seadanya, dan menggendong ransel dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sarapan? Forget it. Kami harus pamit segera pada Jerman, pada apartemen Armel dan jalan-jalan yang kami lewati selama ini menuju ke stasiun Koeln Hbf. Namun koper mbak Ina dan tas Agnes lumayan berat buat diangkat meniti anak tangga naik ke stasiun. Setelah tiba, kami harus turun tangga menuju ke peron keberangkatan.

7.16! kami berdesakan masuk ke dalam gerbong kereta Thalys yang akan mengantar menuju ke Paris. Susah payah menyeret koper di lorong gerbong yang cukup sempit. Lalu menyampirkan koper dan ransel ke bagasi di atas kursi. Fiiuuhh... kereta Thalys berangkat. Dan kami berpandangan seperti tak percaya. Perjalanan post-Koeln kami awali dengan serunya!

Kereta Thalys adalah kereta super cepat yang digunakan antarnegara: Jerman-Belgia dan Perancis. Saking cepatnya, pemandangan di luar jendela lekas sekali berlalu. Kukeluarkan buku Lonely Planet dan CD player untuk membunuh waktu. Mencari informasi mengenai Paris yang akan kami singgahi beberapa jam lagi. Sambil mendengarkan suara Sarah Brightman yang mendayu-dayu menyanyikan lagu “Time to say goodbye”. Lagu ini sangat berkesan bagiku saat diputar berulangkali di MetroTV mengiringi berita wafatnya Paus Yohanes Paulus II tempo hari.

Sebelum menuju Paris, kereta melewati Brussels. Sebetulnya pingin sekali mampir di sana, ada teman seorang romo SCJ yang ngajak mampir di biaranya... [Romo Purwanto, sori gak bisa mampir. Keretanya gak lama berhenti di Brussels sih].
Untung Agnes membawa bekal berupa camilan berupa semacam tingting kacang [aneka kacang dicampur: almond, pistachio, dll... nyam, enak sekali] dan hals bonbon. Sehingga kami cukup dapat menahan lapar.

Pukul 11.30 kereta kami tiba di Gare du Nord, Paris. Nggak sempat saya mengucapkan dengan noraknya: “Paris, I am in love!” seperti judul film itu, karena kami tiba di tempat asing ini tanpa tahu harus ke mana! Kebayang kan lucunya wajah 3 orang asing ini. Kami kebingungan musti mencari penginapan ke arah mana?
Untunglah, di antara kami, mbak Ina yang jago berbahasa Perancis. Dia coba tanya mengenai bagian Informasi ke petugas keamanan, tapi hasilnya nihil. Akhirnya, kami berjalan ke luar stasiun. Hujan rintik-rintik. Menyeberangi jalan, sepertinya di arah sana ada beberapa penginapan.

Di emperan, mbak Ina dan Agnes menyimpan bawaannya. Aku duduk menunggu. Mereka mau mengecek tarif hotel di sana. Jadi, aku cuma duduk di trotoar memandangi kendaraan yang lalu lalang. Juga orang-orang yang melewatiku.
Beberapa saat mereka kemudian muncul. Katanya ada hotel yang rada murah, tapi waktu mereka minta melihat kamar, ruangannya rada gelap dan scary. Jadi, gak jadi deh.

Eh, di sana tuh ada hotel Comfort, tunjukku.
Kami berangkat ke sana di tengah hujan. Mbak Ina bertanya pada resepsionis mengenai tarif. Sementara itu bau cat dan debu beterbangan menunjukkan bahwa hotel itu sedang direnovasi. Ya ampun, tarif kamarnya paling murah Eur 110 untuk bertiga!

Gak jadi deh... aku menjaga koper dan tas lagi. Agnes dan Ina akan pergi lebih jauh menyusuri jalan mencari penginapan.
Singkat kata, mereka akhirnya kembali dan mewartakan kabar baik ini. Ada sebuah hotel di sono, tarifnya cuma Eur 75 buat bertiga. Lumayan... kami pun beramai-ramai ke sana.

Nama hotelnya Francais, alamatnya di Rue du 8 Mai 1945 [aku belum bisa menyebutnya dalam bahasa Perancis, jadi semoga aku gak pernah nyasar dan ditanya alamat tinggal]. Lokasinya tepat di seberang Gare de L’est! Aku jadi salut pada Agnes dan Ina, bela-belain mereka jalan kaki di tengah hujan dan menemukan tempat ini... hehehe.

Setelah check-in di resepsionis, kami menuju ke kamar. Kamarnya bagus dan lengkap. Ada 3 bed, tempat setrikaan, kamar mandi dengan bathtub dan air hangat. Setelah merapikan barang-barang, masak Indomie, dan mandi, kami menikmati makan siang berupa Indomie dan sosis gemuk dari Jerman. Kami ngobrol sambil ketawa-tawa mengingat kejadian ajaib sepagi ini. Setelah itu, bobok... rasanya capek sekali.

Pukul 15 bangun. Kami berencana sesore ini berjalan ke Eiffel. Jadi kami naik bus ke Trocadero. Tarif bus Gare de L’est sampai Trocadero Eur 1,40 [jauh dekat sama saja tarifnya]. Trocadero adalah halte terakhir bus tersebut. Menyeberangi Trocadero, sampai di pelataran museum, maka di seberang sana terlihat menara Eiffel menjulang tinggi.

Eiffel
Turis-turis berfoto-foto di pelataran, kami pun juga. Lalu turun melewati taman, indah sekali penataan dan arsitekturnya, terutama patung-patung yang ada di sana.

me between them
Kemudian kami menyeberangi jalan menuju ke Eiffel. Berjalan di atas jembatan di atas sungai Seine, melihat-lihat perahu yang melintas di bawah. Mendongak ke atas, batangan-batangan baja Eiffel semakin tampak jelas. Kami mampir di kedai membelai sebungkus kentang goreng pakai saos tomat dan mayonaise, dimakan bertiga... anggap saja snack sore. Jangan tanya harganya yang Eur 3,50!

Image hosted by Photobucket.com
Mau naik Eiffel? Pakai lift apa yang pakai kaki? Pakai lift tarifnya lebih mahal daripada yang pakai kaki... Emoh ahh... jadi teringat sama tangga Dom. Jadi kami cuma melewati bagian bawah Eiffel dan taman-tamannya. Berjalan menuju Picquet. Di sana ada sebuah supermarket, sehingga kami dapat membeli air minum botolan, buah naktarien dan baguette isi tuna buat makan malam.

Kami melanjutkan perjalanan sore itu. Melewati Invalides, St. Germain [Ina sempat bertanya ke pejalan kaki kalau-kalau kami tersesat], St. Michel [dengan patung St. Michael yang gagah terbuat dari emas]... jalan jauh begini [hampir seperempat kota Paris loh!] mau ke mana? Sampai juga di tepi Sungai Seine, di sana terlihat sebuah gereja bersejarah itu: Katedral Notre Dame.

Di pelataran Notre Dame terlihat ramai sekali anak muda bernyanyi dalam lingkaran. Dari aksesoris [ransel dan kaos] yang mereka kenakan, jelas bahwa mereka anak-anak WYD2005 yang meneruskan perjalanan kemari. Kami duduk mengaso, menikmati baguette tuna dan air botolan... burung-burung merpati tampaknya menghuni taman di pelataran Notre Dame. Lalu ke mana si Hunchback? Esmeralda dan kelompok gipsy yang melewati kota Paris itu? Ah, kisah si bongkok dari Notre Dame itu begitu jelas membayang.

Notre Dame
Gargoyle di menara-menaranya segera menjadi incaran saat berfoto di depan katedral. Tidak itu saja, relief di dindingnya banyak menyimpan kisah kitab suci dan juga sejarah Paris.

Notre Dame
Ada papan pengumuman yang di pasang di pintu gereja, bahwa setiap malam jam 21.30 diadakan pemutaran film mengenai Notre Dame. Itulah yang membuat kami menunggu.

Roller Youth
Untuk membuang waktu, saya menuju ke jalan di samping gereja. Anak-anak muda Paris sedang memamerkan ketangkasan bersepatu roda, sambil sesekali mereka menggoda gadis-gadis yang lewat. Setiap kali pesepatu roda berhasil melewati rintangan, tepuk tangan meriah penonton, dan kotak derma diedarkan. Lalu pesepatu roda lainnya tidak mau kalah menunjukkan kebolehannya. Kadang dengan cara usil, memorakporandakan jejeran gelas yang harus dilewati lawannya... wah, asik juga yaa...

Pukul 21.30 pintu masuk Notre Dame dibuka. Sayang gelap gulita dengan penerang minim, sehingga interiornya tak terlihat jelas. Kami duduk di deretan bangku depan. Di udara di bawah langit-langit di bentangkan sebuah kain putih yang akan menjadi layar. Sebelum film diputar, diedarkan kotak derma. Film Notre Dame membeberkan sejarah 2000 tahun tempat ini berdiri sebagai saksi jatuh bangunnya kota Paris. Notre Dame [yang berarti “Our Lady”] telah menjadi ikon kota Paris, sehingga dalam momen-momen penting dunia, masyarakat berkumpul di sana untuk berdoa.

Bila kamu menonton film bioskop berjudul “Before Sunset”, ada sebuah pemandangan ketika mereka melintasi sungai Seine, sambil menunjuk ke Notre Dame dikisahkan bahwa pada waktu Perang Dunia, pasukan Jerman katanya telah memasang bom di beberapa situs penting di Paris, termasuk Notre Dame. Namun entah kenapa, prajurit yang bertugas menarik picu detonator tak pernah berhasil. Sehingga Notre Dame tak berhasil diledakkan... entah apakah itu kisah nyata, yang pasti menurut film dokumenter yang kami nonton malam itu memperlihatkan Notre Dame yang sempat porak poranda dan dipugar beberapa kali.

Untuk mengumpulkan dana pembangunan, Victor Hugo menulis kisah “The Hunchback of Notre Dame” yang berhasil menjadi kisah legendaris.

Pukul 22.30 pertunjukan selesai. Rasanya kami dapat mendengar tembok-tembok katedral ini menceritakan kisah yang tadi kami saksikan. Kami memandang gedung ini dengan penuh kekaguman dan membuatku menyentuh dindingnya. Agnes dan Ina berfoto-foto. Kamera mereka lampu blitz-nya lebih kuat dibanding kameraku.

Kami menuju ke halte dan bertanya ke polisi jalan pulang. Lalu kami menuju Metro [kereta bawah tanah] yang mengantar kami kembali ke Gare de L’est. Kami mampir membeli baguette tuna dan quiche jambon [jambon berarti daging babi] buat makan tengah malam.

Rasanya nyaman bertemu kasur malam itu. Di tengah kota Paris. Kebayang nggak?

No comments: