Wednesday, September 28, 2005

Melamun di Dom 8: nowhere to go

17 Agustus 2005

It must be a sunny day. No rain. What a day... but I missed one of our mates: Mariana. Nobody knew where she was after the Opening Ceremony of World Youth Day. So, last night only me and mbak Ina slept in our nice and comfort room.
[Eh, sorry, gua kalo lagi mabok suka begini nih... ngomongan gak jelas]

Sarapan pagi itu: roti dan Tuna Venezia... so special, karena tunanya jauh-jauh datang dalam kemasan kaleng ke Koeln. Tunanya nggak sendiri, karena ditemani salad sayur, sehingga mereka tampak berjejal dalam kaleng kecil itu. Trims ya, tuna! :)

Kami musti berangkat ke stasiun utama Koeln, karena ada janji dengan Guntur dan Donna di sana. Mereka datang dari Bonn, dan kami bertugas di Universitas Koeln tempat acara musik piknik digelar. Stasiun sudah ramai, aku berjalan ke arah Dom. Ada beberapa atraksi digelar spontan, misalnya rombongan peziarah dari Afrika. Ramai sekali mereka bernyanyi, menari diiringi tabuhan gendang dan lambaian bendera.

Tiba-tiba ada yang menggamitku. Eh, si Guntur sudah muncul. Tergesa-gesa kami turun ke S Bahn [jalur kereta bawah stasiun] menuju ke Neumarkt, kuatir telat. Dari situ kami naik kereta U1 ke arah UniversitaatStrasse. Kampus Universitas Koeln ini mirip UI Depok, ada danau dan areanya luas sekali. Beberapa angsa berenang di airnya yang jernih. Padang rumputnya menghijau luas.

Kami bertemu dengan Jung dan teman-teman dari Fuhlinger See yang sudah berkumpul di sana. Kata Jung belum ada kegiatan pagi itu hingga jam lima sore.
Akhirnya kami kembali ke stasiun. Di jalan, Sandra memberitahukan kabar buruk ini: Bruder Roger pendiri komunitas Taize dikabarkan tewas semalam. Beliau ditikam dari belakang oleh seorang perempuan peziarah dari Romania.

What??? Bruder Roger itu? Yep, sahut Sandra datar.

Kami terkejut bukan kepalang... lagu-lagu Taize begitu akrab dengan telinga kaum muda dan dipakai pada beberapa bagian perayaan WYD. Estelle bilang bahwa Taize letaknya beberapa mil dari Paris. Beberapa poster Bruder Roger tampak terpampang di dinding Info Point. Ini tentu ungkapan dukacita beberapa peserta WYD.

Kami melanjutkan perjalanan ke Messe dengan berjalan kaki di sepanjang sungai Rhein. Ada sebuah perahu besar KSHG, semacam perkumpulan mahasiswa katolik di Jerman, yang sedang tertambat di tepi sungai. Kami mampir dan masuk ke dalam perahu. Ada kafe di dalam. Kami duduk ngobrol sambil memandang sungai dari jendela.

Coklat panasnya sedap, sekalipun harganya 1 euro. Kemudian kami ke anjungan perahu. Duduk-duduk berjemur di bawah mentari yang bersinar terik. Dari kejauhan terdengar lagu Taize sedang dinyanyikan di Messe...

by the river of Rhein
Sajak ini langsung terlahir di sana:
ingatkah dikau, kawan
di tepi sungai Rhein
kita duduk termangu
ditemani secangkir coklat panas
sambil mengingat-ingat Tuhan
nyanyikan lagu
harapkan perdamaian
di tingkap rumah-rumah kecil
yang berderet tampak serupa
dengan pintu dan cerobong asap
dan selipan bunga di jendela
kita mencari jejak
pada peta yang belum pernah disentuh

adakah rumput-rumput basah
akan kauinjak
saat menempuh jarak ke tenda
seperti burung kembali ke sarang?


Kami meninggalkan perahu KSHG, dan terlihat beberapa stand jurnalis digelar di sepanjang jalan. Tampaknya ada beberapa stasiun tv dan radio mengadakan peliputan live kegiatan WYD. Ada teman yang hendak diwawancarai oleh wartawan, namun Sandra mengingatkan bahwa karena kami sedang mengenakan seragam volunteer, maka kami tidak diperbolehkan memberikan informasi apa pun kepada pers.

Tiba di Hall Messe terlihat antrian untuk makan siang yang penuh berjubel. Donna dan Guntur kemudian mengajak saya dan mbak Ina untuk berangkat ke rumah Donna di Bonn. “kita makan siang di Bonn yuk!”
“nasinya cukup nggak?”
“gampanglah itu... kita masak-masak di rumahku”, jawab Donna dengan logat Bataknya.
Maka kami pun balik ke stasiun Koeln Hbf, untuk menumpang kereta ke arah Bonn. Di stasiun kami berpapasan dengan rombongan yang dengan serunya bernyanyi-nyanyi: “Tujuh belas Agustus tahun ampat limaaa....”, sambil mengibar-ngibarkan bendera merah putih.
Ohlala... rombongan anak-anak Indonesia mahasiswa Berlin, sedang merayakan tujuhbelasan di stasiun Koeln dengan ramainya. Setelah ‘upacara’ kecil-kecilan alias ngobrol dengan mereka, kami pun melanjutkan perjalanan.
Ada kabar yang saya dengar bahwa mahasiswa Indo di Berlin terkesan rada ‘som-se’, katanya mereka jarang mau negur atau nyapa duluan bila ketemu dengan mahluk Indo. Apa benul? [benar dan betul?] ahh, itu sih gosip... karena perjumpaan kami di stasiun siang itu akrab sekali. Merdeka!

Kereta ke arah Bonn tiba jam 13. Keretanya agak beda dengan kereta yang sering kami tumpangi. Yang ini mirip kereta tua, duduknya saling berhadapan. Tapi asyiknya ada sandaran kepala di samping kursi. Jadinya aku bisa bobok di jalan, sesudah ngobrol dengan Chris Milas, teman dari Michigan yang mau ke Bonn juga.

Chris ini fasih menyebutkan beberapa istilah seperti: sate, ikan, sapi. Jenis-jenis ikan dalam bahasa Indonesia juga disebutnya lancar. Rupanya aneka makanan tadi dikenalnya dari komunitas Indonesia di Michigan, AS. Pacarnya, cewek dari Indo, suka ngajak dia makan masakan Indo di sana... tapi, so sad but true, dia kemudian ditinggal sama pacarnya ini... hik hik hik... makanya mungkin ini yang makin membuat dia hapal dengan nama masakan Indo.

Kami tiba di stasiun utama Bonn [Bonn Hbf] dan mengantar Chris ke bus yang dipenuhi dengan rombongan Indonesia. Tujuan mereka kebetulan sama? Kebetulan?? Kok bisa kebetulan ya... Ya, semoga Chris dapat melupakan kenangan sedih dengan pacarnya itu.

Kami lanjutkan perjalanan naik kereta ke stasiun Hersel. Menuju ke rumah Donna! Guntur cerita lucu di sepanjang jalan, kisah tentang tukang becak yang karena kurang bayarannya nggak mau pakai rem... ramai sekali deh. Orang-orang di gerbong mungkin pada takjub dengan keceriaan kami. Maklum Guntur arek Surabaya, Donna dari Batak, mbak Ina dari Jakarta, dan saya dari nowhere... hehehe. Kebayang kan kalo lagi ngobrol. Mirip rujak cingur! Sedap.

Tiba di Hersel, kami berjalan ke apartemen Donna. Saya dan Guntur diminta pergi belanja ayam dan sayur ke Aldi supermarket. Supermarketnya tidak jauh dari rumah Donna. Sepanjang jalan yang kami lalui sangat asri dan sepi. Tidak banyak kendaraan lalu lalang. Supermarket itu juga tidak ramai. Saya langsung ke rak sayur, buah dan makanan beku untuk memerhatikan benda-benda ajaib. Guntur bingung saat memilih chicken wings dalam kemasan atau chicken karage. Akhirnya keduanya dibawa.
Brokoli hijau nggak ada, diganti dengan kembang kol putih. Terus, buahnya apa?

Ada buah yang menarik. Naktarine, semacam plum. Maka kami ambil satu kotak. Tiba di apatemen Donna, saya lebih takjub lagi. Dapurnya rapi sekali, dua celengan babi ditaruh di jendela dapur. Di luar pemandangan pepohonan. Celengan babi itu, kata Donna, bila sudah penuh, isinya banyak sekali koin euro... bisa dipakai buat liburan ke Indonesia. Makanya dia minta dibelikan celengan babi gemuk sama suaminya.

Donna dan mbak Ina masak di dapur. Aku duduk di teras, menikmati pemandangan kebun tetangga. Pemanggang BBQ sedang dipanaskan. Ayam-ayam karage ditaruh di atasnya.
Menu makan siang kami: nasi panas, ayam bakar karage, tumis kol sewajan, plus sambal Indofood. Rasa-rasanya kami sedang makan siang di Indonesia... ramai dan sedap sekali! Hehehe. Bayangkan saja, nasinya sampai ludes sebakul.
“trus, suamimu makan apa nanti, Donna?” tanya mbak Ina.
“tak usah kuatirlah... dia bisa masak nasi sendiri”, jawab Donna.
“tau nggak, dia itu biasa beli roti, carinya roti yang sedikit murah... aku kan maunya roti yang biarpun sedikit mahal, tapi bisa diiris tidak hancur... eeh, pas rotinya dipotong hancur, kubilang baru rasa kamu...”, cerita Donna dengan logat Batak yang kental mengenai kebiasaan suaminya yang Jerman itu.

Setelah menikmati naktarine [yang sedikit kecut namun manis dan berair] dan ngobrol, kami mengagumi isi kamarnya yang di dindingnya terdapat gambar yang indah... “wah, kelihatan seperti kamar pengantin niih... rapi sekali”, ujarku. Mba Ina pun juga setuju.

Pukul 16.15 kami meninggalkan Hersel, kembali ke Neumarkt yang cukup jauh dari Bonn. Di Neumarkt, kami bertemu dengan seorang ibu tua dari Indonesia yang sedang menunggu kereta juga. Namanya Ibu Marta. Beliau seorang perawat yang sudah lama bekerja di Jerman. Katanya, beliau baru saja pulang berenang. Ada sebuah tas keranjang anyaman rotan yang dibawa dengan handuk. Waduh, sedap sekali bisa menikmati masa tua seperti ini ya...

Tiba di UniversitaatStr, saya berpapasan dengan teman Perancis.
“kalian kemana saja seharian ini?”
“tadi kami ke Ursulinen, mengambil pakaian yang dicuci kemarin”, kata Fulques menunjukkan tas bawaannya. “sudah makan?” tanyaku.
“kami makan di McD, masing-masing 6 euro...”, katanya.
“wow, tentu itu makan siang yang asik”. Tapi dalam hati kuakui bahwa makan siang kami tadi lebih asyik lagi...

Saat berkumpul dengan teman-teman di sana, Sandra memberitahu bahwa besok kami berkumpul di depan tenda Jung untuk persiapan acara di Marienfeld. Masing-masing teman kuperhatikan agak lesu sore itu. Rupanya, teman-teman seharian ini dongkol, instruksi dari Jung tidak jelas mengenai kegiatan musik piknik. Sejak pagi mereka bangun [kabarnya semalam mereka baru pulang ke Fuhlinger See dari Dusseldorf sudah larut malam], berangkat ke UniversitaatStr dan di sini mereka duduk bengong saja.

Saya coba menghibur Melitta dan teman-teman. Di seberang lapangan ada pembagian kue-kue dalam kotak besar dan dus-dus susu coklat. Kotak kue kubuka, isinya beberapa macam kue bolu...
“Ooww, this is my mom’s cooking! It’s very delicious. Please, take it.”
Hanya beberapa teman yang mau mengambil kue yang kutawarkan. Mereka tentu mangkel dengan apa yang terjadi sore itu, selain bahwa rasa kue bolunya memang kurang meyakinkan. Mungkin karena dimasak massal untuk ratusan ribu peserta WYD, ya?

Akhirnya kami berpamitan. Lapangan Universitas di penuhi dengan kaum muda yang sedang bermain, duduk-duduk, ataupun berpacaran. Saya mampir ke kotak Dixi sebentar. Begitu pun Donna. Keluar dari Dixi, kupikir mereka sudah mendahului pergi ke stasiun. Aku pun segera ke stasiun... eh, tiba di sana, mereka tidak ada.
Aku balik ke dalam kampus. Ya ampun, kami berselisih jalan rupanya. Si Donna tadi malah mengabsen setiap kotak Dixi dengan menyebut namaku. Dipikirnya aku masih ada di sana... hehehe.

Tiba di stasiun, kami menunggu Agnes. Nah, terjadi lagi selisih jalan...
Agnes beritahu melalui sms bahwa dia sudah tiba di UniversitaatStr. Tapi mungkin di stasiun lain di sekitar kampus yang luas ini. Padahal kami tadi melalui AachenerStr. Cukup lama menunggu di stasiun, sebelum kami memutuskan untuk berangkat kembali ke TrimbornStr. Mau pulang. Armelia katanya lagi masak ayam goreng dan nasi kuning...

Jam 20 kami tiba di rumah. Dan benarlah, Armel lagi masak ayam goreng. Hari apa sih hari ini? Rasanya kami pesta makan nasi sepanjang hari ini... oh ya, proklamasi kemerdekaan!
Sekalipun seharian ini mirip orang nyasar, “nowhere to go”, tapi yang jelas, makanan hari ini sedap, bo. Anggaplah ini karunia. bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa...

Sekali lagi, merdeka, coy!

Tuesday, September 27, 2005

Melamun di Dom 7: opening ceremony

16 Agustus 2005

Pukul 7.30 kami baru bangun. Waduh, telat bangun nihh... hari ini kan musti kumpul dengan teman-teman dan berangkat ke Dusseldorf sebelum misa pembukaan WYD dimulai!

Maka acara kebut-kebutan mandi dan sarapan pagi terjadi di pagi yang cerah itu [kali ini tidak hujan]. Saya sarapan roti kepal dan sayur kaleng [saking banyaknya makanan kaleng yang diberikan setiap hari, saya jadi punya koleksi sekantung logistik]. Sedangkan Mbak Ina dan Mariana sarapan nasi goreng Gaga, yang cukup diseduh dengan air panas, kemudian tinggalkan sebentar... dan nasi ‘goreng’ sudah siap.

Air panas memakai air keran [di sana air keran wastafel bisa langsung diminum] dan colokan pemanas air yang saya bawa dari Indo. Setelah siap, kami berjalan ke stasiun Trimbornstrasse. Kami memutuskan untuk langsung ke Dusseldorf, tidak berhenti di Chorweiler. Nah, sepanjang jalan setiap kali kereta berhenti di stasiun, para peserta WYD berjubelan masuk ke dalam gerbong. Mereka tentu punya tujuan sama, ke Dusseldorf.

Kami dapat tempat duduk. Kebanyakan yang baru datang hanya bisa berdiri. Mariana dengan tenang masih menikmati sarapan paginya di kereta: bekal roti dan mentega yang dioleskannya sepotong-sepotong... Ketika kereta tiba di LTU Arena, kami menunggu Jung dan grup kami, serta Guntur.

Oh ya, Guntur nginap di Bonn selama kami tinggal di kamar apartemen Jimmy. Katanya ada rumah teman di Bonn yang ditumpanginya. Nah, dia juga bersama Armelia ikut mendaftar menjadi volunteer WYD. Hari Senin kemarin, mereka akhirnya berhasil diterima sebagai volunteer, dan kami merekomendasikan dia pada Jung supaya dia dapat bergabung di tim kami. Jung setuju.

Di halte LTU Arena, saat menunggu itu, kami bertemu dengan rombongan Polandia. Mbak Ina dan Mariana mengajak mereka ngobrol sambil mengeluarkan keahlian berbahasa Polish, misalnya “Jesus, I trust in you”... [aku lupa bahasa Polandianya]. Mbak Ina tentu fasih, karena istilah ini dari devosi koronka [kerahiman ilahi], sedangkan Mariana katanya belajar dari Stefan Leks, orang Polandia yang kerja di Lembaga Biblika Indonesia. Mbak Ina sempat mengutarakan maksudnya mau meminjam bendera Polandia mereka. Buat apa?

Besok kan 17 Agustus? Rencananya bendera Polandia ingin kami pakai menjadi bendera Indonesia. Tinggal dibalik saja. Putih merah, jadi merah putih... tapi dengan halus mereka menolak dan bilang bendera Polandia grup mereka cuma satu... yaahh, gak jadi deh balikin bendera Polandia! Hehehe...

Setelah lama menunggu dan yang ditunggu tidak jua muncul-muncul. Kami langsung masuk ke stadion. Penjagaan pintu masuk cukup ketat, selain ID Volunteer, harus menunjukkan Pass masuk LTU Arena. Mariana dilarang masuk, karena dia tidak punya Pass masuk LTU Arena. Kami musti mencari Jung dan meminta satu Pass buat dia.
Pukul 12 siang kami tiba di tribun dalam stadion LTU. Teman-teman rupanya sudah duduk di sana, dan juga Guntur. Waduh... jadi tadi kami nunggu siapa ya? Lha yang ditunggu sudah ada di dalam. Hehehe... Florian rupanya tidak dapat memberikan pass masuk buat Mariana, karena dia bukan anggota tim kami.

Siang itu sedang digelar rehearsal alias gladi bersih untuk acara pembukaan WYD nanti sore. Kami membagikan lembaran teks lagu, koran Direkt ke setiap bangku di tribun. Atap stadion berupa kubah ditutup, mungkin kuatir bila hujan turun.
Jam makan siang tiba, kali ini suasananya berbeda... lebih mirip pemain sepak bola istirahat di kamar ganti. Karena di tempat macam itu kami makan siang: lentil soup dan minumnya soda. Cuma itu doang? Ya cuma itu. Sepertinya Sodexho, perusahaan yang menyediakan logistik sepanjang WYD berlangsung, siang itu tidak menjangkau LTU Arena.
Karena lentil sup kurang ‘nendang’ [istilah mbak Ina], maka aku ngantri lagi untuk mangkok kedua. Tapi si Kimberly Fu, teman dari Kanada mengingatkan bahwa mungkin masih banyak yang belum dapat makan siang... akhirnya gak jadi nambah. Kecian dehh...

Terpaksa Snickers time! Hehehe...

Sesudah makan siang, jam dinas kami secara resmi dimulai. Kami menuju ke pos masing-masing. Para peserta mulai berdatangan masuk ke dalam stadion. Masing-masing jenis tamu dibedakan ID card dan pintu masuknya: peserta, wartawan, VIP [para uskup, kardinal, pejabat]. Penjagaan dilakukan berlapis-lapis. Yang paling ketat adalah wilayah lapangan, di sepanjang pintu akses dijaga oleh security berjas hitam-hitam dengan kabel earphone menjuntai di belakang telinga. Tidak ada yang boleh masuk ke lapangan selain petugas.

Kami bertugas memeriksa ID setiap peserta, memberi informasi dan mengantar bila perlu. Sayangnya, dalam tim saya tidak ada fasih berbahasa Jerman. Beberapa kali harus kami katakan: “Sorry, speaking please...”

Saat ada rombongan uskup dari Kanada nyasar ke tempat kami, seorang uskup dari Halifax menanyakan asal kami satu per satu. Dia cukup terkejut mengetahui saya dari Makassar, Indonesia, dia sempat titip salam buat uskup kami [sudah saya sampaikan salam beliau, dan uskup kami bilang bahwa pernah beberapa tahun bertugas di sebuah keuskupan di Kanada]. Ada juga pastor-pastor dari Bari, Itali yang nyasar, dan menanyakan di mana mengambil stola dan kasula buat misa pembuka. Saya menemani mereka ke atas, ke ruang yang dijadikan sakristi. Peraturan di sana langsung mengejutkan mereka: hanya imam yang membawa stola yang bisa masuk dan bersama-sama merayakan misa pembukaan.

Sempat juga ada seorang peserta marah-marah, dia mencari air minum ke sana kemari, namun tidak ketemu. Katanya Kardinal butuh air minum. Saya cuma mengantarnya ke kantin tempat jualan makanan dan minuman. Soalnya setahu saya, menara air Rhein Energie cuma ada satu, tapi harus keluar stadion... tapi, apakah kardinal mau minum dari menara air? Hehehe...

Pukul 17, Pembukaan World Youth Day XX digelar, serentak di tiga stadion: Bonn, Koeln dan Dusseldorf. Kamera menyiarkan siaran secara simultan bagian-bagian misa ke setiap stadion. Penonton mengikuti dari layar raksasa yang ada di atas stadion. Pada bagian Ekaristi, barulah siaran ke terfokus ke imam yang memimpin ekaristi di stadion tersebut.

Ramainya luar biasa. Mirip pertandingan Bundesliga yang digelar sore itu. Beberapa peserta berkata bahwa mereka sangat bangga dapat hadir dalam acara spektakuler sore itu. Setiap bangsa mengibarkan benderanya ditimpali gemuruh gelombang yang diciptakan bergantian. Kardinal Lehmann yang menjadi selebran utama di LTU Arena mengatakan bahwa peserta WYD 2005 telah berhasil melumpuhkan kota Koeln beberapa hari ini.

Rasanya itu tidak berlebihan, karena koran-koran lokal juga telah melaporkan hal yang sama. Mobil-mobil musti melambatkan lajunya, saat ada rombongan yang tiba-tiba menyeberang jalan. Namun, kali ini tanpa umpatan, makian, maupun klakson, selain senyum dan lambaian tangan, kata koran lokal.

Saat Kardinal Lehmann berpidato, Sandra memberitahukan saya bahwa kardinal ini tidak terlalu disukai karena sikapnya yang konservatif. Katanya sih, dia masih kolega dengan kardinal Ratzinger yang sekarang jadi paus.

Setelah acara pidato seremonial, dilanjutkan dengan acara musik! Stadion jadi bergemuruh kembali... kami menari-nari di tribun mengikuti irama lagu Jerman. Lampu-lampu dipadamkan, stadion gelap, namun cahaya berwarna-warni menerangi... Guntur jogetnya paling hot, Inul kalah deh... teman-teman sampai ketawa.

Saat arloji menunjukkan pukul 21, ini tanda kami sudah harus balik ke stasiun. Pingin sekali mengikuti acara ini sampai selesai... apalagi saat melangkah ke luar stadion, langit di luar tampak masih terang benderang, seperti masih sore. Namun, perjalanan balik ke Koeln yang memakan waktu lebih 1 jam, membuat kami harus segera pulang.

Dan benar, pukul 23 kami baru tiba di rumah.

tanah asing

mengantuk aku di metro
melihat poster
asing namun akrab
dalam kecepatan
ruang dan waktu

: berhentilah!

Melamun di Dom 6: stairway to heaven

15 Agustus 2005

dom

tembok kusam berdiri gagah
dengan menara kembar runcing
menggores langit
“mari kita bunyikan loncengnya”,
katamu kemarin

bila nafasmu panjang
509 anak tangga tentu dapat
kaudaki sampai ke puncaknya

jangan coba berhenti
sebelum kau pandang surga
dan bintang yang pernah disaksikan
para majus itu

reliefnya akan bercerita
sejarah bangsa ini dan dunia
waktu menyeberangi sungai Rhein
laksana Musa dulu
melintasi Laut Merah

Dom,
tempat peziarah menggapai langit,
berdirilah gagah selalu!


Pagi hari hujan turun. Saya suka ke jendela di belakang tempat tidur mbak Ina sewaktu dia ke kamar mandi. Duduk di jendela mengamati pemandangan di luar yang basah.
Sarapan pagi kami: wafel isi vla, sisa bekal makan tadi malam.

Sesudah itu kami bersiap-siap naik kereta ke Fuhlinger See. Rencana pindah dari kemah ke kamar apartemen sudah bulat, karena hari ini adalah hari libur kegiatan relawan. Hari Senin pekan ini, para peserta WYD mulai berdatangan dan registrasi. Besok baru diadakan acara pembukaan.

Di Chorweiler hujan turun deras. Tiba di area Fuhlinger See kami berpapasan dengan tiga teman dari Polandia. Mereka katanya mau ke bank di Koeln untuk ambil zloty [mata uang mereka] buat beli pakaian. Mungkin pakaian-pakaian mereka kebasahan akibat jacuzzi di tenda semalam...

Di tenda makan, ada teman-teman Perancis. Fulques, Estelle dan Edward. Seru sekali obrolan pagi di ruang makan... syukur bahwa Edward sudah segar kembali. Kebetulan aku nggak bawa sendok garpu, buat mengaduk isi gelas dan mengoles roti, Estelle dengan senang hati meminjamkan sendok garpunya. Oh ya, peralatan makan kami sangat istimewa, dibagikan sewaktu registrasi hari pertama dan dipakai sepanjang kegiatan berlangsung. Kelihatannya sendok garpu terbuat dari plastik, namun jangan silap, dari buletin WYD dijelaskan bahwa semua peralatan makan terbuat dari bahan jagung dan dapat mudah hancur [decomposable].

Kami beritahu bahwa hari ini kami akan pindah dari Fuhlinger See. Karena itu kami segera ke kemah dan berkemas-kemas. Teman-teman dari Perancis juga akan ke Koeln, jadi kami berangkat bersama. Fulques membantu membawakan koper mbak Ina yang padat sekali isinya. Estelle bercerita bahwa di Paris, mereka bertiga tinggal berpencar. Edward kuliah di fakultas Biologi. Bila musim liburan mereka ke Toulon dan bermain ski di sana.

Tiba di stasiun Hansaring, kami berganti kereta ke Koeln.
Perutku mulai ada gangguan lagi. My stomach is not delicious, begitu kata teman saya dulu di India... hehehe. Sehingga aku harus turun di Koeln Hbf bersama ketiga teman Perancis. Mbak Ina sendiri lanjut ke Trimbornstrasse.

Tujuanku: ke toilet McDonald di lantai bawah. Hehehe... Edward sempat menyarankan untuk ke apotek di depan McD buat beli obat diare. Tapi aku justru jadi bingung waktu penjualnya ngomong pakai bahasa Jerman, ntar keliru diberi obat bisa payah deh... Jadi aku memutuskan ke McD saja. Ada penjaga toilet dengan ramah mengatakan bahwa toilet lowong, bahkan mau mengantarku masuk... Ranselku yang besar itu saja yang kubawa masuk... Thanks God. Masalah adaptasi perutku rupanya belum selesai, namun setidaknya McD cukup menolong.

Setelah itu baru aku lanjutkan naik kereta ke Trimbornstrasse. Acara pindahan rumah berjalan lancar hari itu, meski dengan ‘gangguan’ kecil saja. Setelah menaruh ransel di kamar apartemen, dengan mbak Ina kami naik kereta ke Koeln Messe untuk makan siang. Antrian volunteer yang hendak makan siang di sana ramai sekali. Ada teman dari Filipina yang kocak sekali. Sepanjang antrian dia bercerita lucu... kami tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya.

cookers
Menu makan siang kami: nasi goreng ala India.
Syukurlah, akhirnya ada menu nasi setelah beberapa hari makan pasta aneka variasi. Nasi gorengnya pakai ayam, tapi dengan bumbu kari. Saya perhatikan di dapur umum, para koki cuma menuangkan nasi goreng instan yang dikemas beku ke dalam wajan raksasa. Lalu menutupnya beberapa saat kemudian mengaduk-aduk, sebelum dibagikan ke dus-dus.

dom
Selesai makan siang, saya berangkat ke Dom. Siang itu saya ingin mencoba mendaki anak tangga ke menara Dom. Antrian peziarah yang ingin naik cukup panjang. Karena saya memakai id volunteer, saya minta langsung naik, alias tidak perlu bayar...
Tangganya terbuat dari batu yang melingkar-lingkar ke atas. Ruangan untuk melangkah tidak terlalu lebar, cuma muat buat satu orang. Bila kebetulan berpapasan, yang satu musti merapat ke dinding dulu supaya yang lain bisa lewat. Saya menyanyi-nyanyi lagu Taize buat menghibur diri: “dalam Tuhan aku bersyukur... dengan lagu pujian... Tuhanlah... penyelamat... ku... hhhh... hhh... hhh...” napas sudah mulai terengah-engah di tengah jalan. Musti berhenti dulu... masih berapa lama sampai ke atas ya? Tak ada petunjuk apa pun, selain anak tangga yang berwarna kusam.

Ya Tuhan, semoga aku kuat naik ke atas... ada 509 anak tangga yang harus didaki. Untunglah ada air botol yang baru diisi di tower Rhein Energie tadi. Singkat kata, sampai juga. Ada ruangan berbentuk lingkaran tempat peziarah duduk-duduk kecapekan. Aku duduk dulu di sana dan memperhatikan: masih ada tangga terbuat besi ke puncak menara. Di sini belum ada apa-apa yang bisa dilihat. Maka, pendakian dilanjutkan lagi... akhirnya... tiba jua!


top of the dom
Pemandangan kota Koeln terhampar di luar, langit digelayuti awan mendung. Rumah-rumah dan sungai Rhein terlihat seperti mainan monopoli. Aku mengelilingi puncak menara dan memandang segala penjuru, ada poster ‘Ansichten Christi’ terlihat dari kejauhan. Tentu ukurannya besar, berupa lukisan Thomas yang menyentuh Kristus yang bangkit, sehingga dapat kupandang dari sini.

Sesudah itu, turun tangga... kali ini tentu lebih mudah dan bisa lebih cepat. Sempat mampir di pintu tempat lonceng katedral dibunyikan. Peziarah yang ingin membunyikan lonceng, cukup memasukkan beberapa koin euro, lonceng berdentang dengan kerasnya... Pantas saja, setiap kali lonceng Dom berbunyi saya perhatikan arloji, lho kok nggak tepat waktu? Rupanya itu hasil kerja peziarah.

Saat menjejak bumi kembali, saya masuk ke dalam Dom. Peziarah ramai. Di sayap kanan katedral, ada patung bunda Maria, menurut leaflet Dom, pernah ada mukjizat terjadi. Maka orang ramai-ramai mendekat untuk berdoa. Termasuk saya. Ada seorang pastor Italia yang sedang mendoakan masing-masing peziarah. Di depan saya ada seorang gadis. Dia ditanya oleh pastor: “where are you from?” Dia jawab: “Indonesia”.
Olala... aku langsung menggamitnya. “Dari Indonesia, ya?”

Pastor itu memandang kami berdua dan bertanya: “Are you both a couple?”
Langsung kami menjawab: “No. we’ve just met here...”

Pastor itu menumpangkan tangan dan berdoa dalam bahasa Italia. Lalu kami beranjak pergi dan mengobrol di tempat lilin. Gadis itu namanya Lisa, dia dosen Fakultas Psikologi Atma Jaya Jakarta. Dia berangkat ke Koeln dengan Thai Airways. Katanya, sepanjang penerbangan ada empat kali disediakan makan... gile bener.

Kami keluar Dom, untuk menghabiskan waktu sebelum misa jam 18.30. Jadi aku ke menara air untuk mengisi botol minumku. Lisa justru memberiku sebotol jus apel, katanya dia nggak doyan karena rasa sodanya. Kami berjalan ke Hohestrasse. Sewaktu melihat pengemis di pinggir jalan, Lisa berhenti dan membuka dompetnya. Pengemis itu diberikan duit euro. Ya ampun, kataku... pengemis di Eropa sih sungguh-sungguh dijamin negara, beda dengan di Indonesia. Baru beberapa langkah, Lisa berhenti. Ada kartu-kartu doa Mother Teresa di tangannya. Dia kembali ke pengemis tadi dan memberikan satu kartu...

Aku tersenyum-senyum... ajaib juga bisa ketemu malaikat macam ini di Koeln.
Kami ke Galeria Kaufhof. Di lantai dasar Galeria ada supermarket. Banyak sekali makanan enak dijual di sana, termasuk aneka minuman keras. Lisa kebingungan mau belikan apa buat koleganya di kampus. Hampir dibelinya sebotol minuman, cuma kuingatkan kalo botolnya pecah di jalan bisa berabe. Akhirnya kami ke counter cokelat. Ada bermacam-macam cokelat dengan harga berbeda-beda. Lisa memborong cokelat.

Dari rak cokelat, sayup-sayup aku dengar lagu yang diputar dalam supermarket, lagu “Home” Michael Buble yang suka kudengar waktu di Indonesia:

Another summer day
Has come and gone away
In Paris and Rome
But I wanna go home
Mmmmmmmm

Maybe surrounded by
A million people I
Still feel all alone
I just wanna go home
Oh I miss you, you know

And I’ve been keeping all the letters that I wrote to you
Each one a line or two
“I’m fine baby, how are you?”
Well I would send them but I know that it’s just not enough
My words were cold and flat
And you deserve more than that

Another aeroplane
Another sunny place
I’m lucky I know
But I wanna go home
Mmmm, I’ve got to go home

Let me go home
I’m just too far from where you are
I wanna come home

And I feel just like I’m living someone else’s life
It’s like I just stepped outside
When everything was going right
And I know just why you could not
Come along with me
But this was not your dream
But you always believed in me

Another winter day has come
And gone away
And even Paris and Rome
And I wanna go home
Let me go home

And I’m surrounded by
A million people I
Still feel alone
Oh, let me go home
Oh, I miss you, you know

Let me go home
I’ve had my run
Baby, I’m done
I gotta go home
Let me go home
It will all be allright
I’ll be home tonight
I’m coming back home...


Rasanya aneh juga, lagu itu bisa kudengarkan di sini... tapi coba deh dengarkan dentingan gitar dan suara Michael Buble di tanah asing. Wuih... jadi melamun nih!
Sesudah itu kami kembali ke Hohestrasse, mampir di KFC. Lagi ada promo: 2 burger, jagung, dan pepsi cuma 3,99 euro. Kami ngobrol di sana. Lisa bilang dia musti segera balik ke kampus selesai acara, karena ada ujian skripsi. Mahasiswa sudah menantinya... what a good lecturer, ya?

Menjelang 18.30 kami berjalan ke Dom. Hari itu tepat perayaan Maria Assumpta [Maria Diangkat ke Surga]. Waktu aku sebut Maria Assumpta ke Lisa, ada cewek Spanyol di Hohestrasse langsung menoleh. Temannya segera memanggil: Maria Assumpta! Olala... namanya kebetulan sama.

Dom sudah terisi banyak peziarah yang ikut misa. Kami tidak kebagian bangku, jadi berdiri saja. Waktu kardinal lewat, aku mengikutinya untuk memotret. Saat misa dimulai, aku duduk di lantai. Mungkin karena itu, perutku mules lagi... hehehe.
Aku segera keluar, berlari ke McD. Dan berdoa, agar penjaga toiletnya tidak mengenaliku. Karena aku tidak memberinya duit setiap kali keluar toilet... hehehe. Saat hendak balik ke Dom, aku berpapasan dengan Jung di jalan. Dia senang sekali melihatku, tapi hidungnya meler sepertinya pilek. Dia bilang bahwa ada pesta sandwich gratis di Heumarkt. Aku disuruh ke sana...

Karena tidak tahu jalan, aku ke Info Point di belakang Dom untuk bertanya. Di sana ketemu teman-teman Perancis! Aku memberitahukan mengenai free sandwich dan kami beramai-ramai menuju ke Heumarkt, tempat yang belum pernah kami datangi. Hujan lebat turun. Untung aku pakai jaket volunteer yang cukup menolong dari hujan.

Setelah beberapa kali hampir nyasar, sampai juga di Heumarkt. Ada konser WYD digelar di alun-alun. Pengunjung cukup ramai. Kami ke pos logistik menanyakan di mana sandwich disediakan, mereka justru memberikan dos makan malam... “bukan, bukan itu... sandwich!” Dia menunjuk ke arah belakang. Kami mengikutinya, sampai tersasar ke arah jejeran Dixi... akhirnya kami coba mencari sendiri. Di emperan toko yang dipenuhi kios Kolsch, kami bertemu dengan Hubert, Julia dan teman-teman Jerman yang sedang kongkow. Mereka memberitahu arah sandwich, dan benarlah... ada beberapa meja panjang berderet dengan sandwich berlapis-lapis disusun memanjang.

Kami langsung mengambil beberapa lapis sandwich, dan membawanya ke tempat Hubert. Aku menikmati sandwich dengan jus apel dari Lisa. Pelayan datang membawa 1 meter kolsch. Ya astaga, wadah gelas bir terbuat dari kayu yang panjangnya satu meter, di atasnya ditaruh gelas-gelas kolsch.

Hubert memamerkan kepiawaiannya menyusun tumpukan alas gelas kolsch dan dengan satu hentakan tangan dia dapat menangkap semuanya secara sempurna. Fulques mati-matian mencoba. Saya juga. Tapi tidak pernah berhasil. Fulques yang berhasil dalam permainan itu.

Aku sempat dipaksa minum kolsch, tapi kubilang: ‘haram...’. Fulques yang jago bahasa Arab ketawa dan menjelaskan kepada mereka: haram means it is not permitted by Allah. Tapi bagaimana dengan sandwich tadi yang pakai ham? Itu sih sedap. Hehehe...
Lalu ketika seorang pelayan [perempuan dan manis] datang, masing-masing teman yang ambil gelas kolsch tadi saweran duit 2 euro.

Aku sempat sms ke mbak Ina memberitahukan bahwa di heumarkt sedang ada pesta sandwich gratis, tapi rupanya mereka sedang menikmati pertunjukan konser di tempat lain.

Hari sudah malam, kami harus berpisah. Hubert dan teman-teman balik ke Fuhlinger See, saya balik ke Dom mencari mbak Ina dan Agnes.
Karena tidak bertemu, saya ke stasiun Koeln Hbf. Waduh... manusia membludak di sana. Polisi membuat penghalang supaya tidak semuanya dapat sekaligus masuk ke dalam stasiun. Sempat terjadi dorong mendorong, sebelum saya lolos masuk.
Stasiun Koeln tampaknya sudah disesaki para peziarah WYD. Pertanda bahwa beberapa hari ke depan jubelan manusia dari segala bangsa akan menjadi pemandangan umum di sini. Tiba di peron di lantai atas, segera aku melompat masuk ke dalam kereta ke arah Trimbornstrasse.

Di sana, dengan mbak Ina [yang kemudian menyusul] kami balik ke apartemen. Tiba di apartemen, Armelia memberitahu bahwa kami mendapat tambahan tamu istimewa malam itu: Mariana. Aku disuruh menjemputnya di stasiun Trimbornstrasse.

Mariana adalah teman mbak Ina di Jakarta. Anak ini cukup unik, dia termasuk anggota ‘jejak petualang’ alias tukang jalan sendiri. Dari Jakarta, dia berangkat mendekat hari H dengan tiket yang belum jelas. Ajaibnya, kelompok volunteernya juga belum jelas. Ketika mendengar bahwa Mariana sudah tiba, aku menyebutnya mukjizat.
Apalagi waktu bertemu dengan Mariana langsung... hehehe. Orangnya kecil, langsing... logatnya sangat totok [Mandarin]. Dia suka bilang: “kamu orang itu ya....” hehehe, kami suka mengingat-ingat cara Mariana ngomong dan tertawa setelah meninggalkan Koeln.

Armel menurunkan satu lagi kasur springbed.

Mbak Ina, Mariana, dan saya tidur sekamar malam itu... di kasur kami masing-masing, tentu saja.

Wednesday, September 21, 2005

Melamun di Dom 5: we are saved!

14 Agustus 2005

Hujan deras pagi itu. Jendela di kamar jelas memperlihatkan mendung di langit. Pohon, bangunan dan beberapa mobil yang diparkir di halaman basah kuyup. Apa? Hujan? Ibarat ponsel yang baru dinyalakan, aku baru sadar berada di kamar. Aku tidur di kasur springbed di lantai. Mbak Ina di tempat tidur. Kamar itu milik Jimmy, mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Koeln. Dia sedang liburan ke Indonesia, sehingga kamarnya kosong. Armelia tetangganya di lantai atas apartemen memberikan kami kunci kamar yang dititip Jimmy. Katanya biasa ada tamu dari Indonesia, dan mereka nginap di apartemen mereka. So, to Jimmy wherever you are, kami belum pernah bertemu dengan dikau, namun sepekan lebih kami telah ‘berkemah’ di kamarmu… trims banget ya! Tuhan tentu memberkahimu dengan berkat melimpah.

Berkali-kali mbak Ina dan saya ngobrol soal keajaiban ini sehingga kami bisa tidur di kamar ini. Mbak Ina paling rajin berdoa. Katanya bangun pagi dia langsung doa rosario, kalau tengah hari jam 15 dia doa koronka. Jam wekernya ribut sekali sih… hehehe.

Kami tidak membawa perlengkapan apa pun, sehingga meskipun ada kamar mandi, nggak bisa mandi karena tidak bawa sabun dan handuk. Cuma bisa mandi pas foto, ukuran 2x3 jengkal di muka… hehehe. Sewaktu berkaca, ada sepotong tulisan tertempel di sana. “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya, sebab Ia yang memelihara kamu” [1 Petr.5:7]. Gubraakkk… kena lagi nih, kubilang pada mbak Ina.

Itulah renungan pagi pertama kami yang sangat berkesan di kamar. [Aku sempat penasaran dan nanya pada Armelia, mengapa tulisan itu bisa ditempel di sana. Dia cuma bilang, tulisan itu sudah lama ada di sana… ooh, kukira, seorang malaikat tadi malam yang menaruh pesan buat kami yang sering kurang beriman ini].

Kami harus kembali ke Fuhlinger See untuk mengikuti jadwal kegiatan hari ini, kemudian mengemasi barang-barang yang kami tinggalkan di tenda untuk pindahan ke kamar Jimmy. Kami berjalan ke stasiun Trimbornstrasse. Jalanan sunyi senyap, dingin sekali. Rumah-rumah apartemen berderet rapi dan bersih. Sesekali mobil lewat. Untunglah hujan tak terlalu deras.

Kami menuju stasiun Chorweiler menuju ke Fuhlinger See. Berada di jalur ini tampak banyak relawan yang punya tujuan sama. Saya sempat bercakap dengan seorang ibu yang cukup berumur. Dia seorang perawat kebangsaan India yang sudah lama bekerja di Jerman dan datang ke Koeln sebagai relawan WYD. Saya senang ngobrol sama kenalan baru dari India, mengingatkan saya pada masa lalu di sana.

Tiba di tenda makan, ramai sekali. Florian Jung duluan kutemui dan mengatakan bahwa semalam kami nginap di rumah teman. Dia cukup surprised mendengar hal itu. Baru semalam di sini kami sudah dapat tumpangan… hehehe. Sarapan kali ini: roti kepal, sosis kaleng, sereal, yoghurt, susu kotak… pokoknya self service, layani diri sendiri untuk sarapan. Teman-teman cerita bahwa semalam hujan badai melanda perkampungan tenda di Fuhlinger See. Dapat dibayangkan rapuhnya tenda-tenda yang dihuni yang terbuat dari kain parasut menahan air hujan. Peristiwa ini sempat dimuat di koran lokal: Hujan badai melanda Fuhlinger See.

Ini lebih membuat kami merasa bersyukur.

Tiga teman dari Polandia [semuanya cewek] mengisahkan peristiwa ini dengan kocaknya. Mereka sempat panik waktu air sempat merembes masuk, membasahi sleeping bag mereka. Dalam kegelapan malam mereka bergantian berusaha mengeluarkan air. Air tetap saja masuk. “Dan sekarang tenda kami mirip Jacuzzi…”, kata mereka dengan riangnya. “Rencananya kami akan menulis di depan tenda kami: Jacuzzi for free here”. Hahaha… kami ketawa tidak putus-putusnya sepanjang jalan ke stasiun. Aku tertawa keras sebagai dukungan atas sikap mereka yang sangat positive thinking.
Kereta kami menuju Dusseldorf. Karena perjalanan cukup lama, aku coba mengeluarkan keahlianku: palm reading alias membaca garis tangan. Tiga teman cewek dari Slovakia takjub dengan keahlianku ini. Karena banyak yang tepat atau meleset, ya? Aku sih cuma senang melihat garis-garis tangan orang, apalagi bila tangannya halus… ehm, hihihi.


Pukul 13 kami tiba di LTU Arena Dusseldorf. Lapangan sepak bola besar dan megah. Wow, it’s a huge building. Megah, bo! Beberapa kali kami naik turun tangga untuk masuk ke kursi tribun. Kami diberi pengarahan mengenai acara pembukaan WYD di sini dan tugas kami masing-masing. Kami dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Ada yang harus menemani tamu VIP, mengawasi peserta yang masuk, atau mengatur lokasi duduk peserta. Pos saya di Pintu barat 6 dekat daerah press alias jurnalis.
Selesai pengarahan, kami kembali ke stasiun menuju ke Stasiun Heinrich yang tidak jauh lokasinya. Kemudian berjalan kaki melewati daerah pinggiran Sungai Rhein yang penuh dengan toko, kios dan tempat asyik buat kongkow. Beberapa kios bir ramai sekali. Mereka berdiri, memegang gelas kolsch, bir khas koeln, sambil mengobrol.
Sungai Rhein akhirnya terlihat juga. Ada beberapa perahu pesiar sedang bersandar. Musik romantis terdengar sayup-sayup. Julia terlihat berlari-lari dengan girangnya menyambut pemandangan indah itu. Kami menuju ke truk logistik yang membagikan makan siang, sekaligus kantong-kantong plastik berisi makan malam: roti kepal, pisang, mentega, sosis dan selai.

Di sana kami duduk-duduk di tangga tepi sungai. Kali ini kotak-kotak makan siang berisi pasta dimasak dengan buncis dan daging. Katanya itu menu ala Jerman. Beberapa pasangan duduk di sana sedang pacaran. Mereka tidak merasa terganggu dengan kedatangan kami yang berseragam kaos volunteer dengan suara tawa yang keras…
Setelah makan siang, kami berfoto-foto di tepi sungai. Kemudian berjalan kembali ke stasiun, hendak ke Leverkusen untuk mengikuti misa pembukaan bagi para volunteer. Saat menunggu kereta datang, beberapa teman Perancis minta dibacakan garis tangannya. Mereka adalah Fulques, Edward, dan Estelle. Ketika tiba giliran Edward, saya perhatikan ada yang unik dengan garis perjodohannya. Kupikir Estelle adalah pacarnya. Jadi kuminta Edward berdua saja denganku supaya aku bisa katakan dengan leluasa. Saat itulah terjadi kejadian aneh ini.

Edward mendengarkan apa yang kukatakan, kemudian badannya lunglai merosot. Dia terbaring di lantai peron kereta. Segera panik aku berteriak: “somebody help!” baru kemudian kusadari ketololanku. Orang-orang di sana tentu banyak yang kurang paham bahasa Inggris.

Botol air minumku kusodorkan padanya. Kemudian dia digotong dan duduk di kursi. Coklat Sneaker yang ada diberikan padanya. Matanya sudah terbuka dan sadar. Minyak gosok yang dibawa mbak Ina dipakai menggosok leher dan tengkuknya.

Jung memandangku dan bilang: “Toni, you are really a good trainer”.
Ya astaga, Jung pasti menduga bahwa aku sedang mempraktekkan sebuah ilmu magic sehingga Edward kolaps begitu. Kukatakan bahwa Edward tentu kecapekan seharian berjalan dan kurang istirahat yang cukup di tenda. Namun, dari peristiwa itu aku justru jadi lebih akrab dengan ketiga teman dari Perancis.
Edward langsung pulang ke Fuhlinger See dengan Estelle. Kami turun di Leverkusen menuju ke stadion Bay Arena. Sepanjang jalan saya ngobrol dengan Fulques. Anak ini cukup unik. Dia kuliah di Fakultas Hukum di Paris. Bapaknya seorang diplomat di Arab. Dia sering berlibur di Arab dan fasih berbahasa Arab. Dia mengajariku beberapa bahasa Arab…

Kemudian dia nanya: “Siapa penyanyi Perancis yang kamu kenal?”
Spontan kujawab: “Jordi!” Hahaha… dia tertawa meringis. “Him? Jordi? Urghhh…”, katanya seperti mau muntah. Jordi itu penyanyi anak-anak sekitar sepuluh tahun lalu populer dengan lagunya: Dur dur d’etre babe… , sekarang dia sudah remaja dan katanya menjadi DJ saking nggak berbakatnya dia nyanyi.


Fulques asyik diajak ngobrol. Kami tiba di Stadion milik Bayer, ‘jaminan mutu’ itu. Misa sudah berlangsung, artinya kami sedikit telat. Kelompok kami jadi terpencar karena banyaknya orang yang melewati pintu yang sama dan beberapa tribun sudah penuh dengan para relawan dengan seragam merahnya.

Stadion ini menjadi lautan volunteer berseragam merah, mirip fans MU, ya... Sesekali dibuat ombak manusia yang tampak bergelombang. Meriah sekali… deratan di ujung sana mulai membungkuk dengan tangan terjulur kemudian tegak dengan tangan ke atas. Secara simultan diikuti deretan-deretan selanjutnya… diiringi tawa dan tepuk tangan.
Kardinal dalam homilinya mengingatkan pentingnya pelayanan relawan dalam kegiatan seperti ini. Hujan turun rintik-rintik di tengah misa hingga misa berakhir. Ada sebuah lagu yang dinyanyikan dengan indah oleh solis sewaktu komuni: “I don’t know how to love Him…” Lagu ini sejak masih sekolah dulu sering kuputar. Lengkingan penyanyi perempuan yang dilakonkan sebagai Maria Magdalena terdengar begitu menyayat: “Should I bring Him down, should I turn my back, should I speak of love, let my feelings out… I never thought that could be like this… what is all about?”

Setelah misa, kami membuka bekal makan malam. Sudah pukul 19 sore itu. Jadi kami menikmati pisang, roti dan selai. Kamudian perutku mules. Untung ada toilet stadion, bukan Dixi. Justru karena ke toilet, setelah itu aku ketemu Agnes. Dia cerita bahwa semalam dia nggak bisa tidur di gymnasium… Mbak Ina muncul juga dan bersama-sama kami menuju stasiun untuk pulang..

Saya sempat merasa heran, di tengah stadion luas ini yang dipenuhi sekitar 30.000 volunteer, kami bisa bertemu tanpa janjian. Ajaib juga, pikirku.
Stasiun Leverkusen dibanjiri relawan yang mau naik kereta kembali ke Koeln. Setiap kali kereta datang, antrian bergerak maju dengan lambat.

Ketika akhirnya bisa masuk ke dalam gerbong kereta, kukira sedang berada di kereta ke arah Bogor. Saking penuhnya, penumpang yang berdiri berdesak-desakan. Rombongan Polandia dengan pastornya dnegan ramai bernyanyi-nyanyi dalam bahasa mereka.. Turun di Koeln Hbf, kami meneruskan dengan kereta ke Trimbornastrasse. Sudah pukul 22, sebetulnya aku sudah sangat ngantuk… Pengakuan polos dari teman-teman bahwa kalau Toni sudah ngantuk suka tulalit. Nggak nyambung saat diajak bicara. Dengan mata yang menerawang tak terfokus. Iya sih, ibarat komputer, hardisk-nya sudah tidur, badannya saja yang masih berjalan... hehehe.

Namun, beberapa langkah dari apartemen Armelia, perutku mendadak mules. Kukira masuk angin. Aku segera berlari, buruan naik tangga. Panik nih, mencari toilet yang bisa dipakai. Kunci kamar Jimmy dibawa Armelia. Kamar Armelia diketok-ketok, nggak ada orangnya. Aku turun lagi, dan bertemu mahasiswa dari China, namun dia bingung saja melihatku...

Untung Armel muncul di sana. I am saved! Lega deh, bisa bertemu toilet.
Setelah itu, Armel mengundang kami makan soto ayam di kamarnya. Katanya tadi siang dia masak soto ayam untuk acara arisan ibu-ibu Indonesia di Koeln. Wah, undangan ini gak bisa ditolak. Apalagi kali ini pakai nasi... duh, sedapnya. Kami ngobrol pengalaman kami sepanjang hari ini di kamar Armel, sebelum turun dan bobok...

Keajaiban, janganlah berhenti.

Tuesday, September 20, 2005

Melamun di Dom 4: make a wish

13 Agustus 2005

Sudahkah kuceritakan sebelumnya bahwa kami menginap di sebuah tempat yang sangat indah? Fuhlinger See. Danau Fuhlinger yang dikelilingi bukit-bukit rumput dan pepohonan. Bebek-bebek berenang di danaunya yang jernih. Pohon-pohon yang tumbuh di tepinya dengan sulur-sulur yang terjulur sampai ke permukaan danau. Persis gambar di postcard yang waktu kecil kusimpan dan sering kupandangi berlama-lama. Rasanya seperti mimpi bisa berada di tengah gambar postcard itu.

Pukul 6 pagi aku sudah bangun dan segera ke kamar mandi. Mengenai kamar mandi, aku cukup kaget semalam waktu meninjau tempat yang akan kami pakai mandi. Berbeda dengan Dixi, di kamar ini disediakan air. Bentuknya seperti van. Masing-masing van ditempeli tanda bahwa itu KM Pria atau Perempuan. Nah, aku sempat menengok semalam, di dalam van terdapat lima bilik kecil untuk pancuran [shower] dan di depannya terdapat sebuah wastafel panjang dan cermin. Yang cukup mengejutkan, di antara bilik shower dan wastafel dipisahkan tirai plastik namun transparan! Itulah yang membuatku bangun pagi-pagi benar. Amit-amit deh pesta ‘orgi’ alias orang gila di kamar mandi! Hehehe…

Aku periksa satu-satu van. Rupanya sudah banyak yang bangun dan mandi. Pas aku buka pintu, uap air menguar keluar. Beberapa sedang gosok gigi dan cukur. Ketika pindu hendak kututup dan mencari van lain, ada suara yang berseru dari dalam van, “C’mon, here is warm…”
Ajakan ramah itu membuatku masuk. Ada bilik shower yang kosong. Air panas yang mengalir dari pancuran membuat ruangan itu seperti Jacuzzi. Dan aku sangat bersyukur, tirai penutup bilik di sini tidaklah transparan. Gak perlu aku cerita mendetail ya… hehehe.


Pukul 8 kelompok kami pertama kalinya berkumpul di pinggiran danau. Komandan regu kami namanya Florian Jung. Jung dalam bahasa Jerman berarti muda.Sungguhan dia masih muda dan masih sekolah di SMU, kalau nggak salah umur 18 tahun. Aku salut, dia bisa jadi pemimpin yang baik dalam kegiatan ini. Paling tidak, itu tidak membuatku merasa ketuaan…

Karena Jung kurang lancar berbahasa Inggris, Sandra yang membantunya menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Oh ya, dalam kelompok kami terdapat beberapa teman dari Perancis, Polandia, Slowakia. Mereka juga tidak fasih ngomong Jerman, sehingga kami yang dari Indo tidak merasa sebagai mahluk aneh.

Sarapan pagi disediakan pada sebuah tenda besar. Ada roti sekepalan tangan, mentega aneka rasa, selai buah atau daging kaleng [pork], teh sachet dari Assam atau Nescafe. Silakan diambil sendiri… di pintu disediakan berkardus-kardus apel segar. Jadi, stok logistik di perkampungan tenda ini aman dan terkendali.


Setelah sarapan, kami lanjutkan briefing di kantin. Jung menjelaskan tugas kelompok kami selama Pekan Pemuda Sedunia yang dimulai Selasa [16/8] dan persiapan yang harus kami lakukan. Lokasi tugas kami nanti di Dusseldorf. Sebetulnya masih ada dua lokasi lain di mana peserta WYD disebar: Bonn dan Koeln. Di sanalah para relawan bekerja. Karena tugas relawan membantu untuk kelancaran kegiatan.

Setelah itu acara perkenalan. Satu per satu memperkenalkan diri, asal negara dan harapannya! Silakan make a wish… Jung membantu memegang peta wilayah Jerman. Waktu tiba giliranku, untuk menunjukkan lokasi Indonesia, Jung musti menunjuk ke semak-semak di ujung sana… lokasi Indonesia sungguh jauh dari peta Jerman! Hahaha… semua tertawa. Dan harapanku?
“I just need a good sleep!” kataku jujur.
Banyak yang mengutarakan harapannya dengan indah berkaitan dengan WYD dan kelompok kami, namun kalimat tadi keluar begitu saja dalam ucapanku. Make a wish toh?

Pukul 11 kami ramai-ramai berangkat ke shelter bus. Kemudian bus menuju ke stasiun Wilhelm Sollmann Str. Kami naik kereta ke Koeln Hbf dengan tujuan mengunjungi Dom. Kami diberi waktu bebas hingga jam 13 untuk melihat-lihat isi Dom. Hari sudah pukul 12.


Katedral raksasa itu dilihat-lihat dalam tempo 1 jam? Musti mulai dari mana? Untunglah saya bersama Hubert dan Julia. Hubert tampaknya paham sejarah Dom dan sisi-sisi uniknya. Dia malah bilang: “Bukan nyombong, di antara semua gereja dan basilika yang pernah saya kunjungi termasuk St. Peter di Roma, bangunan dan isi Dom masih lebih bagusan!”
Aku sih cuma melongo memandangi keindahan isi Dom dan pilar-pilarnya yang menjulang tinggi. Saat berjalan ke sisi altar, terlihat jelas kotak emas tempat relikwi para majus disimpan. Inilah yang membuat Dom menjadi tujuan ziarah dunia.


Jam 13 kami sudah berkumpul di halaman Dom dan lanjut ke gereja St.Gereon yang letaknya beberapa blok dari Dom. Di sana terdapat dapur umum untuk para relawan. Antrian sudah cukup panjang waktu kami tiba. Karena kelamaan antri, beberapa teman mengumpulkan kupon makan kami. Kami keluar dan menunggu di halaman rumput depan gereja sambil bercakap-cakap tentang Jerman dan dunia pendidikannya.


Makanan baru datang pada pukul 15!
Beberapa kotak pasta yang dimasak dengan ayam yang dibagikan ke piring-piring kertas, segera ludes… maklum ibarat pasukan lapar bertemu belanga, deh.
Saya baca di buku panduan, gereja St.Gereon adalah lokasi bersejarah, karena di sini beberapa martir dipenggal lehernya [termasuk St.Gereon?]. makanya ada patung kepala raksasa tanpa tubuh tergeletak di lapangan rumput tempat tetirah kami siang itu.

Dari situ kami lanjut ke Ursulinen, kata teman-teman ada pesta barbeque di sana sore ini. Beberapa blok kami berjalan baru sampai di kompleks sekolah Ursulin. Di sini para relawan tidur di ruang-ruang kelas. Toilet menggunakan toilet sekolah yang relatif lebih normal. Disediakan tempat cuci pakaian menggunakan mesin cuci, selain fasilitas warnet gratis bagi para relawan di kompleks Ursulinen. Namun, acara barbeque tidak kunjung digelar. Mbak Ina kelihatan sudah pegal… beberapa kali kakinya digosok pakai minyak saking capeknya.

Kami memutuskan kembali ke Dom. Sepanjang jalan yang dilalui beberapa kali kami coba menengok penginapan dan tarifnya berapa… mungkin tenaga kami bisa direcharge lebih baik bila nginap di sana ya? Tapi biayanya itu bila dikali seminggu lebih… mimpi di sore hari!

Agnes rupanya sedang memanjat 509 tangga menuju puncak menara Dom. Wuihh… kecil-kecil tapi tenaganya kuat juga naik-turun tangga nih!
Kami janjian mau ke Galeria sore itu, melalui Hohestrasse, jalan di samping Dom yang dipenuhi toko-toko dan kios. Sempat mampir membeli sebungkus kentang goreng pakai saus mayones, dimakan ramai-ramai bertiga… anggap saja snack sore. Kami tiba di Galeria Kaufhof untuk membeli bedroll alias matras, sekadar untuk membuat tempat tidur di Fuhlinger See lebih empuk.. yang paling murah harganya 5 euro, itulah yang kupilih. Selain kami, ada juga dua orang cewek dari Korea sedang membeli sleeping bag dan matras. Mereka volunteer WYD juga. Sempat terjadi keributan di kasir, karena pelayan toko memberikan barang dengan harga berbeda. Uang mereka tampaknya tidak cukup…

Selesai belanja, kami turun kembali ke lantai bawah… sambil bercakap dengan ramainya… dan tiba-tiba sepasang pemuda-pemudi menyapa kami: “Dari Indonesia ya…?”
Itulah perjumpaan awal kami dengan mahluk Indonesia diaspora di Koeln. Selanjutnya dapat ditebak: percakapan kami sangat ramai, sampai-sampai penjaga toko meminta kami keluar dengan sopannya… gubbraaakk! Hehehe.


Kami bercerita panjang lebar tentang WYD, perkampungan tenda kami nan permai, dan… percaya nggak, mereka langsung menawari kami untuk nginap di kamar! Guntur dan Armelia! Dua malaikat yang kami jumpai di Galeria Kaufhof. Selanjutnya kami makan-makan di MacD. Armelia rupanya tahu tempat makan enak dan murah. Maklum dia mahasiswa FE di Universitas Koeln. Hampir setiap menu di MacD sini hanya 1 euro. Aku makan burger dan coke, jadi cuma bayar 2 euro.

Agnes rupanya membawa bungkusan bekal untuk makan malamnya berupa roti kepal, selai, mentega dan sosis. Aku diminta untuk memberikan kepada pengemis yang duduk di emperan toko. Waktu aku berikan bungkusan itu padanya, dia nanya: “Where are it’s from?”
Kupikir, dia nanya roti itu dari mana. Kujelaskan bahwa itu roti yang baru dibagikan bagi kami untuk makan malam. Dia jawab: “No, no… you!” katanya dengan bahasa Inggris patah-patah.
Baru kutangkap maksudnya: “Indonesia”.
“I don’t know where is Indonesia. But, thank you! God bless you.” Katanya sebelum kami berlalu.

Agnes kembali ke gymnasium tempat nginapnya. Saya dan Mbak Ina ikut Armelia dan Guntur naik kereta. Malam itu kami akan nginap di tempatnya. Kereta berhenti di Trimbornstrasse. Kami berjalan kami ke apartemen Armelia. Saya tidak memperhatikan apakah bintang-bintang bersinar terang di langit tengah malam itu, yang pasti saya tahu harapan yang tadi pagi saya ucapkan di depan teman-teman, telah dikabulkan Tuhan.

Sebuah kamar dan kasur empuk. Gute nacht!

Friday, September 16, 2005

Melamun di Dom 3: What a Perfect Day

Ada kalimat indah yang saya petik dari majalah dalam perjalanan
Jakarta-KL:
“Seperti pinang pulang ke tampuk,
seperti sirih pulang ke gagang…
a traveller finds his haven at home”


Kalimat berikutnya lagi:
“The person who has not traveled widely
thinks his mother is the best cook”
[Ugandan proverb].

Saya sangat setuju dengan kalimat kedua pada malam itu... :) Ketika tertidur dalam perjalanan dari KL ke Frankfurt, saya dibangunkan oleh pramugari untuk makan. Makan apa namanya ini? Makan tengah malam? Hehehe… karena pamali [tidak baik] jika menolak tawaran makan, maka ibarat toko yang sudah tutup, malam itu musti dibuka untuk “night sale”, seperti yang banyak dilakukan supermarket di Indo… Lumayan makanannya enak, tapi kali ini aku nggak mau pakai wine.

Selesai makan, saya coba menikmati pertunjukan film di layer yang terdapat di masing-masing kursi penumpang. Sayang film-film yang disediakan kurang menarik. Film “hosatage” Bruce Wilis sudah kunonton beberapa pekan lalu, lalu film “monster-in-law” nggak menarik. Dan, ada satu film kartun: “Madagascar”… hehehe… yang ini baru bisa kunikmati karena membuatku tertawa.... saat lampu kabin dipadamkan, aku juga kembali tidur pulas.
Perjalanan 12 jam ke Frankfurt, artinya tiba jam 12 siang di sana. Namun, jangan keliru, karena perbedaan waktu mundur 6 jam, maka kami akan tiba di sana pukul 6 pagi.
Waduh... tidur malam kali ini kelamaan, 12 jam dihitung 6 jam!
Saya perhatikan bule-bule di sekitarku, mereka kok tahan ya tidur pulas... padahal arlojiku menunjukkan sudah pukul 6 pagi ... waktu Indonesia. Mungkin jam tubuh mereka sudah sangat luwes menyesuaikan, kali ya? Sudah kupaksa-paksa untuk coba tidur... syukur akhirnya bisa dapat tambahan tidur beberapa jam.

Pada pukul 6.06 pagi waktu setempat pesawat kami mendarat di Frankfurt.
Mendaratnya mulus, kali ini tanpa pakai acara panggil-memanggil namaku seperti di KL kemarin, hehehe... aku berjalan segera keluar, karena kursiku paling depan. Bangunan bandara Frankfurt sangat khas dengan besi-besi beton yang menyangga setiap tiang. Sepagi itu sudah ada toko buku yang baru buka, aku ke sana sambil menunggu kedatangan mbak Ina dan Susan.
Saat mereka datang kami segera ke bagian imigrasi, tempatnya sangat lengang. Jadi kami dapat lekas melewati pemeriksaan paspor. Di tempat pengambilan bagasi, agak lama menunggu hingga tas ranselku muncul. Ada dua ban berjalan yang harus diawasi karena keduanya dipakai untuk pengambilan bagasi penerbangan yang sama. Tas Ina dan Susan untung segera muncul juga.
Sekarang kami dapat keluar... nah sewaktu melewati ruang tunggu penjemput, aku sempat celingak-celinguk mencari seseorang. Tapi tidak tampak di antara penjemput yang berdiri di sana. Saat melewati kursi-kursi, barulah orang itu muncul: Manfred!

Senang sekali dia bela-belain datang menjemput sepagi itu. Manfred adalah sobat lamaku, sepuluh tahun lalu dia rajin liburan ke Bali dan nginap di Susteran di Serma Kawi. Setiap pagi dia pasti sudah ada duduk di kursi pojok di belakang untuk misa pagi. Dia juga tahu kisah pacarku yang di Bali... ah, itu sih nostalgila!
Manfred langsung mengambil ransel kecilku dan membawakannya. Lalu kami berfoto-foto bersama Susan, sebelum Susan meneruskan perjalanan dengan kereta ke Berlin. Lalu, papan pengumuman itu terlihat dengan logo World Youth Day! Tentu ini petunjuk bagi turis nyasar seperti kami. Untung Manfred bisa berbahasa Jerman... hehehe. Dia yang menanyakan ke bagian informasi arah ke counter WYD di bandara. Kami tinggal ikut saja.


Nah, waktu tiba di counter Info Point WYD, bagasi kami harus melewati detektor, lalu dimasukkan ke rak-rak. Kupikir sekarang kami bisa berangkat ke Cologne... tahunya cuma buat nitip tas doang! Counter info point WYD benar-benar cuma bisa memberikan informasi, untuk sampai ke Cologne musti ke stasiun!
Loket pembelian tiket KA tidak jauh dari situ. Manfred lagi yang menanyakan jadwal kereta dan reservasi. Nah, waktu dia mengeluarkan kartu kreditnya, alarmku langsung bunyi ... “No, no... let us pay!” kataku sambil mengeluarkan dompet dan menunjukkan lembaran euro yang kubawa. Dia ngomong dalam bahasa Jerman sama petugas. Perempuan petugas itu tersenyum manis mengambil kartu kreditnya dan menggesek... sreseettt!

Oh my God, pagi-pagi gene... ketemu sama malaikat bernama Manfred!
Kereta kami pukul 7.59 di peron 7 dengan kereta ICE 928 ke Koeln. Manfred mengantar kami ke sana menunggu kereta, sambil ngobrol dengan ramainya. Dia bercerita bahwa tahun lalu ayahnya meninggal [usia 82], sekarang dia tinggal mengurus ibunya sendirian yang berusia 82 tahun ini. Itulah sebabnya dia tidak bisa liburan ke mana-mana.
Dia kemudian mengeluarkan bungkusan, memberikan kepada saya dengan permintaan agar dikirimkan kepada seorang suster di Semarang sebagai hadiah. Kemudian beberapa lembar euro juga untuk dibelikan rosario buat suster-suster kenalannya...

Rasanya pepatah: “teman lama ibarat anggur tua’... benar juga ya!
Waktu cepat sekali beranjak saat kereta ICE tiba. Manfred yang duluan berlari membawakan barang-barang kami ke kereta. Aku masih mengemasi tas ranselku sebelum seorang bapak menyuruhku segera naik... saya segera lompat ke dalam kereta. Pintu otomatis tertutup, dan kereta meninggalkan stasiun.

Saya dan mbak Ina melongo di dalam. Tak ada yang bisa berbahasa Jerman, sekedar untuk menanyakan benarkah nomor kursi yang kami duduki saat itu. Seorang kondektur perempuan datang memeriksa tiket. Katanya dalam bahasa Inggris, boleh duduk bebas. Mungkin karena kereta menempuh jarak yang tidak terlalu jauh sehingga tidak perlu nomor kursi.

Sekarang kami dapat duduk menikmati pemandangan di luar jendela. Rasanya seperti mimpi, demikian saya dan mbak Ina berulang kali katakan... daerah pesisir Sungai Rhein dan bukit-bukitnya indah sekali. Cahaya matahari menerobos dengan teriknya. Pemandangan di luar tak dapat ditangkap dengan kamera yang kami bawa karena kereta melaju dengan cepat.


Pukul 10 pagi kami tiba di Koeln Hauptbahnhof alias stasiun utama Koeln.
Selamat datang di tujuan! Kereta kami mendarat di lantai atas stasiun Koeln Hbf, jadi kami turun untuk mencari informasi WYD. Ramai kios-kios di bawah yang menjajakan makanan, sedap euy... ada sosis aneka macam, sandwich, burger, es krim, keju... nggak salah nih mendarat di dongeng Hansel and Gretel? Hehehe...
Saat mendekati pintu utama stasiun yang terbuat dari kaca, kepalaku mendongak melongo sesaat menatap bangunan raksasa yang terlihat di luar, sepertinya ada T-Rex berdiri di luar! Bangunan Katedral Koeln yang disebut Dom ada di sana, persis di samping stasiun! Wow, indahnya... ini saat kamera beraksi!


Setelah itu baru kulihat ada Info Point WYD di lapangan Dom. Di sebelahnya berdiri menara air Rhein Energie untuk minum para peziarah. Kami langsung bertanya di Info Point mengenai apa yang harus kami perbuat sebagai volunteer yang baru tiba di Koeln. Beberapa volunteer juga ramai lalu lalang.

Kami berkenalan dengan volunteer dari Malaysia, dia menjelaskan bahwa kami harus ke Koeln Messe untuk registrasi. Katanya dia sudah beberapa hari lalu tiba di Koeln. Selain itu ada dua gadis manis dari Paraguay, segara kami akrab mengobrol. Membawa semacam pipa dan mangkok dari tembaga, sesekali dihirup sambil senyum-senyum. Penasaran saya tanya: apa itu? Mereka menjelaskan bahwa itu adalah “Tedede”, teh khas Paraguay. Dengan senyum manis mereka menawarkan saya untuk mencoba... tapi saya menolak. [kuatir ketagihan... hehehe]. Mbak Ina yang sempat mencoba. Rasanya seperti mint ya? Kata mereka, setiap kali airnya habis, mereka tuangkan air hangat dari termos yang selalu dibawa-bawa.

Saat kami berpisah, keduanya berpelukan dengan Mbak Ina dan saling ciuman pipi. Kemudian... alamak! Tiba giliranku! Kalian jangan membayangkan betapa groginya daku dicium di pipi oleh dua cewek manis yang jauh-jauh datang dari Paraguay. Apalagi pakai bunyi lagiii... cup... cup... ajinomoto. [mbak Ina, aku minta dikirimi alamat e-mail keduanya dong!]

Makan siang kami: sepotong pizza yang dijual 2 euro. Jadi tambah sedap lagi karena mbak Ina membawa sambal sachet dari Indo. What a perfect lunch.

Kami sedang menunggu jam 13.18, saat kereta dari Stuttgart datang membawa seorang anggota kelompok kami. Namanya Agnes. Sama sekali kami belum pernah bertemu langsung. Hanya melalui mailinglist dan e-mail serta Yahoo Messenger, kami berkenalan. Melalui SMS dia memberitahukan kedatangan keretanya. Thanks for the tech!

Jadi kami kembali ke atas, menunggu di peron 2 d-e. Saat duduk bengong di sana, ada sepasang pemuda-pemudi dari Costa Rica yang juga baru tiba di Koeln. Namanya Alex, yang cewek saya lupa namanya... karena si Alex membawa stiker official WYD dari Costa Rica dan menuliskan namnya di belakang. Si cewek itu Cuma duduk kecapean, barang bawaannya banyak sekali, di antaranya koper besar yang ampun-ampunan beratnya... kusangka dia mau pindahan rumah ke Koeln, ya.

Kereta Agnes akhirnya tiba juga. Aku ditugaskan untuk mencarinya di antara penumpang yang baru turun di peron. Katanya dia memakai jaket coklat dan menenteng tas. Rasanya hampir semua manusia di sini menenteng tas deh!
Sudah sampai di ujung kereta, aku balik lagi... dan astaga! Dia lebih dulu mengenaliku: “Toni ya...”

Kujawab: “Agnes ya...” aku lupa apakah berpelukan dengannya waktu pertama kali bertemu, yang jelas waktu berpisah di Roma kami berpelukan... [ihh, detil amat ya memori gue!]. Agnes termasuk mahluk imut dan lincah. Masak dengan ukuran tubuh kecil begitu dia bisa membawa tas seukuran badannya... hehehe.

Misi kami menurut rencana sebelumnya, pertama kali tiba di stasiun segera ke counter Deutsche Bahn [DB] buat beli tiket pasca WYD: Koeln-Paris-Lourdes-Roma. Tas-tas dijaga oleh Mbak Ina dan kedua teman Costa Rica. Saya dan Agnes turun ke lantai bawah.
Pelayanan reservasi tiketnya tidak terlalu rumit, Agnes jago berbahasa Jerman, jadi dia yang ngomong ke petugasnya. Aku yang menyebutkan schedule yang telah dikonsepkan.

Masalah baru muncul ketika mau membeli tiket ke stasiun Koeln Messe untuk registrasi volunteer. Mesin tiket otomatnya pakai touch screen. Ribet sekali... beberapa kali di coba tidak berhasil. Sampai kami menyadari bahwa pembelian tiket dengan mesin ini hanya bisa dengan kartu langganan DB. Pantesan!

Kami ke mesin di belakang counter DB, pakai koin. Kemudian tiketnya keluar. Inilah tiket kereta lokal satu-satunya yang kami beli selama di Koeln. Karena sesudah registrasi kami mendapat kartu pengenal yang sekaligus berfungsi sebagai tiket kereta gratis [bahkan sudah kami coba pakai sampai ke Belanda! Kisahnya menyusul...]. Dan jarak dari Koeln Hbf ke Koeln Messe ternyata cuma satu stasiun, melintasi rel di atas Sungai Rhein, kami langsung tiba.

Koeln Messe ibarat tempat PRJ Kemayorannya kota Koeln. Tempat ini dipakai sebagai salah satu pusat aktivitas volunteer WYD: registrasi, nginap, logistik. Disediakan toilet-toilet mobile, didingnya terbuat dari bahan plastik bertuliskan “Dixi”.
Perjumpaan pertamaku dengan Dixi terjadi di Koeln Messe dan sungguh berkesan. Aku lari ke toilet dan kaget saat melihat betapa simpelnya sarana ini. Ada tempat untuk pipis berdiri [laki tentu saja] dan duduk, dan di bawahnya terdapat bak berisi cairan kimia berwarna biru. Tanpa air, hanya tissu doang yang disediakan. blue dixi, dari sinilah kami akan jadi akrab selama beberapa hari ke depan.

Akhirnya tiba juga di blok tempat registrasi. Antrian panjang para relawan seperti mengular. Ada sekitar 500 meter. Hari sudah sore. Beberapa relawan yang bertugas membagikan makanan bagi yang baru tiba dalam antrian. Roti pretzel bentuknya unik, seperti gelang, rasanya alot, tapi isinya mentega butter. Ada juga pisang, dan air minum.

Waktu minum dari botol pertama, aku sempat kaget. Rasa airnya kok lain, mirip soda... ya ampun, carbonated water! alias air rasa soda. Tapi karena capek dan kehausan, ditenggak saja.

Tahu nggak saat ngantri itu, dua cewek dari Paraguay tadi nggak jauh-jauh amat dari tempat kami, sehingga kami dapat ber-hai-hai kembali... saat tiba di ujung antrian, depan pintu masuk sebuah hall rasanya lega sekali.
Satu per satu dilayani oleh relawan yang bertugas. Kami masing-masing mendapat sebuah ransel [lagi!], jaket, kaos, buku panduan, id pengenal, dan kupon-kupon makan selama acara.

Karena capek, kami duduk-duduk dulu di dalam. Ada makanan hangat dalam dus yang dibagikan: pasta masak brokoli ala Jerman. Kami sudah terpisah dengan Alex dan cewek tadi. Namun, mendadak Alex muncul lagi dan meminta pada Agnes, kalo bisa dia mau pinjam satu sleeping bag kami...

Oh ya, ada yang sempat terlewati, waktu di KLIA sleeping bag mbak Ina tertinggal di depan counter internet Samsung. Sebelum pesawat terbang ke Frankfurt, melalui sms, saya minta Agnes belikan satu sleeping bag buat mbak Ina. Ntar uangnya diganti. Si Alex mungkin menyangka itu sleeping bag lebih. Setelah kami jelaskan bahwa kami masing-masing hanya punya satu, akhirnya dia mau mengerti juga.

Agnes punya kelompok relawan berbeda dengan kelompok saya dan mbak Ina. Malam itu dia harus segera menemui ketua kelompoknya. Malam? Sudah jam 20 begini, matahari masih bersinar terang di luar... Kami kembali ke stasiun Messe. Ada beberapa kali kami musti bolak-balik naik turun tangga di Messe dengan bawaan 3 ransel berat, aku malas menghitungnya. Mbak Ina bilang Florian Jung, ketua kelompok kami ada di Messe. Sehingga dia pergi mencarinya. Aku duduk di tepi jalan. Mengamati relawan-relawan yang baru datang. Makin malam jumlahnya makin bertambah banyak, dan katanya antrian
di dalam sudah 3 belokan, sekitar 1 kilometer? Wow.

Setelah yakin bahwa Florian Jung tak ada di Messe, kami naik tangga stasiun kembali. Menunggu kereta ke Chorweiler. Kami nginap di Fuhlinger See. Tiba di Chorweiler sudah pukul 21 lewat, hari sudah gelap. Ada beberapa relawan [dapat dikenali dari seragamnya] yang juga menunggu bus ke Fuhlinger See. Kami ikut saja.

Fuhlinger See [arti harafiahnya: Danau Fuhlinger] adalah tempat kemping di tepi danau. Lokasinya di pinggiran kota Koeln, penuh dengan pepohonan dan padang rumput. Kami mendaftar dulu sebelum diberitahu oleh relawan yang melayani: kamar nomor berapa yang akan kami tempati.

Badan sudah penat dan pingin istirahat. Kami diberitahu tempat kami di Markus F25. Jadi kami menuju ke sana dalam kegelapan malam... dan amboi, kamar kami tepat di pinggir danau. Kebayang nggak nginap di kamar hotel berbintang lima?

Kamar kami lebih hebat lagi, di ‘hotel’ berbintang-bintang. Coba tengadah ke langit, hitung ada berapa banyak bintang? Hehehe... tenda kemping kami muat berdua. Untunglah aku bawa senter, sehingga ada penerang di ‘kamar’. Mbak Ina langsung tergeletak tidur setelah menyiapkan sleeping bag barunya...

Aku masih mengatur-atur barang bawaan, dan menyesali matras-ku yang ketinggalan di taksi blue bird di Jakarta. Seharian ini belum mandi, seingatku terakhir kali mandi di Jakarta. Alas tidur cuma terpal tenda, posisinya miring ke arah danau lagi... sungguh pengalaman tak terlupakan.
Atap tenda terasa basah oleh embun.

Aku mulai mencoba membiasakan diri dengan situasi darurat. Sayangnya, malam itu, gangguan muncul dari perutku... something trouble with my stomach. Aku bawa senter ke luar, menuju ke areal yang penuh dengan kotak-kotak Dixi. Dixi, I love you... hehehe.

Ada beberapa kali aku ke Dixi, sebelum obat Diapet bekerja baik. Mungkin gara-gara air bersoda itu ya? Atau karena jam tubuh dengan makan yang kacau di sini. Hitung-hitung jam 12 malam di sini, sesungguhnya sudah jam 6 pagi di Indo.

Ada waktu yang lebih yang diberikan semalam di pesawat, dan sekarang ada waktu yang harus diambil dalam kegiatan hari pertama yang melelahkan di Koeln. What a perfect day.

Twinkle, twinkle little stars.... rasanya aku melihat bintang-bintang dalam tidurku.