16 Agustus 2005
Pukul 7.30 kami baru bangun. Waduh, telat bangun nihh... hari ini kan musti kumpul dengan teman-teman dan berangkat ke Dusseldorf sebelum misa pembukaan WYD dimulai!
Maka acara kebut-kebutan mandi dan sarapan pagi terjadi di pagi yang cerah itu [kali ini tidak hujan]. Saya sarapan roti kepal dan sayur kaleng [saking banyaknya makanan kaleng yang diberikan setiap hari, saya jadi punya koleksi sekantung logistik]. Sedangkan Mbak Ina dan Mariana sarapan nasi goreng Gaga, yang cukup diseduh dengan air panas, kemudian tinggalkan sebentar... dan nasi ‘goreng’ sudah siap.
Air panas memakai air keran [di sana air keran wastafel bisa langsung diminum] dan colokan pemanas air yang saya bawa dari Indo. Setelah siap, kami berjalan ke stasiun Trimbornstrasse. Kami memutuskan untuk langsung ke Dusseldorf, tidak berhenti di Chorweiler. Nah, sepanjang jalan setiap kali kereta berhenti di stasiun, para peserta WYD berjubelan masuk ke dalam gerbong. Mereka tentu punya tujuan sama, ke Dusseldorf.
Kami dapat tempat duduk. Kebanyakan yang baru datang hanya bisa berdiri. Mariana dengan tenang masih menikmati sarapan paginya di kereta: bekal roti dan mentega yang dioleskannya sepotong-sepotong... Ketika kereta tiba di LTU Arena, kami menunggu Jung dan grup kami, serta Guntur.
Oh ya, Guntur nginap di Bonn selama kami tinggal di kamar apartemen Jimmy. Katanya ada rumah teman di Bonn yang ditumpanginya. Nah, dia juga bersama Armelia ikut mendaftar menjadi volunteer WYD. Hari Senin kemarin, mereka akhirnya berhasil diterima sebagai volunteer, dan kami merekomendasikan dia pada Jung supaya dia dapat bergabung di tim kami. Jung setuju.
Di halte LTU Arena, saat menunggu itu, kami bertemu dengan rombongan Polandia. Mbak Ina dan Mariana mengajak mereka ngobrol sambil mengeluarkan keahlian berbahasa Polish, misalnya “Jesus, I trust in you”... [aku lupa bahasa Polandianya]. Mbak Ina tentu fasih, karena istilah ini dari devosi koronka [kerahiman ilahi], sedangkan Mariana katanya belajar dari Stefan Leks, orang Polandia yang kerja di Lembaga Biblika Indonesia. Mbak Ina sempat mengutarakan maksudnya mau meminjam bendera Polandia mereka. Buat apa?
Besok kan 17 Agustus? Rencananya bendera Polandia ingin kami pakai menjadi bendera Indonesia. Tinggal dibalik saja. Putih merah, jadi merah putih... tapi dengan halus mereka menolak dan bilang bendera Polandia grup mereka cuma satu... yaahh, gak jadi deh balikin bendera Polandia! Hehehe...
Setelah lama menunggu dan yang ditunggu tidak jua muncul-muncul. Kami langsung masuk ke stadion. Penjagaan pintu masuk cukup ketat, selain ID Volunteer, harus menunjukkan Pass masuk LTU Arena. Mariana dilarang masuk, karena dia tidak punya Pass masuk LTU Arena. Kami musti mencari Jung dan meminta satu Pass buat dia.
Pukul 12 siang kami tiba di tribun dalam stadion LTU. Teman-teman rupanya sudah duduk di sana, dan juga Guntur. Waduh... jadi tadi kami nunggu siapa ya? Lha yang ditunggu sudah ada di dalam. Hehehe... Florian rupanya tidak dapat memberikan pass masuk buat Mariana, karena dia bukan anggota tim kami.
Siang itu sedang digelar rehearsal alias gladi bersih untuk acara pembukaan WYD nanti sore. Kami membagikan lembaran teks lagu, koran Direkt ke setiap bangku di tribun. Atap stadion berupa kubah ditutup, mungkin kuatir bila hujan turun.
Jam makan siang tiba, kali ini suasananya berbeda... lebih mirip pemain sepak bola istirahat di kamar ganti. Karena di tempat macam itu kami makan siang: lentil soup dan minumnya soda. Cuma itu doang? Ya cuma itu. Sepertinya Sodexho, perusahaan yang menyediakan logistik sepanjang WYD berlangsung, siang itu tidak menjangkau LTU Arena.
Karena lentil sup kurang ‘nendang’ [istilah mbak Ina], maka aku ngantri lagi untuk mangkok kedua. Tapi si Kimberly Fu, teman dari Kanada mengingatkan bahwa mungkin masih banyak yang belum dapat makan siang... akhirnya gak jadi nambah. Kecian dehh...
Terpaksa Snickers time! Hehehe...
Sesudah makan siang, jam dinas kami secara resmi dimulai. Kami menuju ke pos masing-masing. Para peserta mulai berdatangan masuk ke dalam stadion. Masing-masing jenis tamu dibedakan ID card dan pintu masuknya: peserta, wartawan, VIP [para uskup, kardinal, pejabat]. Penjagaan dilakukan berlapis-lapis. Yang paling ketat adalah wilayah lapangan, di sepanjang pintu akses dijaga oleh security berjas hitam-hitam dengan kabel earphone menjuntai di belakang telinga. Tidak ada yang boleh masuk ke lapangan selain petugas.
Kami bertugas memeriksa ID setiap peserta, memberi informasi dan mengantar bila perlu. Sayangnya, dalam tim saya tidak ada fasih berbahasa Jerman. Beberapa kali harus kami katakan: “Sorry, speaking please...”
Saat ada rombongan uskup dari Kanada nyasar ke tempat kami, seorang uskup dari Halifax menanyakan asal kami satu per satu. Dia cukup terkejut mengetahui saya dari Makassar, Indonesia, dia sempat titip salam buat uskup kami [sudah saya sampaikan salam beliau, dan uskup kami bilang bahwa pernah beberapa tahun bertugas di sebuah keuskupan di Kanada]. Ada juga pastor-pastor dari Bari, Itali yang nyasar, dan menanyakan di mana mengambil stola dan kasula buat misa pembuka. Saya menemani mereka ke atas, ke ruang yang dijadikan sakristi. Peraturan di sana langsung mengejutkan mereka: hanya imam yang membawa stola yang bisa masuk dan bersama-sama merayakan misa pembukaan.
Sempat juga ada seorang peserta marah-marah, dia mencari air minum ke sana kemari, namun tidak ketemu. Katanya Kardinal butuh air minum. Saya cuma mengantarnya ke kantin tempat jualan makanan dan minuman. Soalnya setahu saya, menara air Rhein Energie cuma ada satu, tapi harus keluar stadion... tapi, apakah kardinal mau minum dari menara air? Hehehe...
Pukul 17, Pembukaan World Youth Day XX digelar, serentak di tiga stadion: Bonn, Koeln dan Dusseldorf. Kamera menyiarkan siaran secara simultan bagian-bagian misa ke setiap stadion. Penonton mengikuti dari layar raksasa yang ada di atas stadion. Pada bagian Ekaristi, barulah siaran ke terfokus ke imam yang memimpin ekaristi di stadion tersebut.
Ramainya luar biasa. Mirip pertandingan Bundesliga yang digelar sore itu. Beberapa peserta berkata bahwa mereka sangat bangga dapat hadir dalam acara spektakuler sore itu. Setiap bangsa mengibarkan benderanya ditimpali gemuruh gelombang yang diciptakan bergantian. Kardinal Lehmann yang menjadi selebran utama di LTU Arena mengatakan bahwa peserta WYD 2005 telah berhasil melumpuhkan kota Koeln beberapa hari ini.
Rasanya itu tidak berlebihan, karena koran-koran lokal juga telah melaporkan hal yang sama. Mobil-mobil musti melambatkan lajunya, saat ada rombongan yang tiba-tiba menyeberang jalan. Namun, kali ini tanpa umpatan, makian, maupun klakson, selain senyum dan lambaian tangan, kata koran lokal.
Saat Kardinal Lehmann berpidato, Sandra memberitahukan saya bahwa kardinal ini tidak terlalu disukai karena sikapnya yang konservatif. Katanya sih, dia masih kolega dengan kardinal Ratzinger yang sekarang jadi paus.
Setelah acara pidato seremonial, dilanjutkan dengan acara musik! Stadion jadi bergemuruh kembali... kami menari-nari di tribun mengikuti irama lagu Jerman. Lampu-lampu dipadamkan, stadion gelap, namun cahaya berwarna-warni menerangi... Guntur jogetnya paling hot, Inul kalah deh... teman-teman sampai ketawa.
Saat arloji menunjukkan pukul 21, ini tanda kami sudah harus balik ke stasiun. Pingin sekali mengikuti acara ini sampai selesai... apalagi saat melangkah ke luar stadion, langit di luar tampak masih terang benderang, seperti masih sore. Namun, perjalanan balik ke Koeln yang memakan waktu lebih 1 jam, membuat kami harus segera pulang.
Dan benar, pukul 23 kami baru tiba di rumah.
tanah asing
mengantuk aku di metro
melihat poster
asing namun akrab
dalam kecepatan
ruang dan waktu
…
: berhentilah!
Tuesday, September 27, 2005
Melamun di Dom 7: opening ceremony
jam 4:41:00 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment