Saturday, December 13, 2008

kaleidoskop 2008: melamun di taize 4

Jiwa yang mencinta

So far I go
with empty heart.
Where should I go
if you have left.


Senin, 17 Maret 2008 pukul 07.30 saya terbangun dalam dingin tenda dan pemandangan berkabut di luar. Sleeping bag yang dipinjamkan El Abiodh cukup membantu sehingga semalam saya dapat tidur nyenyak.

08.00 ke kapel utama untuk doa pagi. Berbeda dengan doa malam sebelumnya, pada akhir doa, semua yang hadir bangkit berdiri. Beberapa bruder mengambil komuni yang sudah disiapkan dari tabernakel dan membagikannya. Saya maju mengantre komuni. Namun entah kenapa, perasaan hati ini jadi membuncah saat mengambil hosti dan mencelupkannya dalam anggur darah Kristus yang tampak bening. Saat kembali ke tempat dan berdoa, air mata tak dapat tertahankan. Saya menangis seperti anak kecil, mengalami Kristus yang datang menyapa secara personal pada pagi itu. Untung sapu tangan ada di saku, sehingga saya dapat langsung menyeka air mata.

Selesai doa pagi, kembali ke Tenda F untuk menyiapkan sarapan. Saya membantu membagikan roti. Setelah itu, giliran saya menikmati sarapan pagi: roti baget yang keras, dengan selai buah, mentega, susu coklat. Pierluigi dan Cristina, pasangan Italia dari Pescara menemani saya ngobrol. Inilah awal perkenalan kami. Mereka menjadi teman mengobrol yang asik selama berada di Taize. Pagi itu mereka bercerita tentang Assisi karena mereka tahu saya hendak berziarah ke sana. “Assisi adalah kota yang indah, kamu harus mengunjungi basilika St. Fransiskus di sana”, kata Pierluigi.
Setiap hari pukul 10.00 diadakan konferensi bersama seorang bruder di Tenda F. sebelumnya, kami dibagi dalam kelompok-kelompok menurut bahasa. Saya masuk dalam kelompok berbahasa Inggris, kelompok ini termasuk minoritas alias dapat dihitung dengan jari jumlah pesertanya dibandingkan kelompok berbahasa Jerman, Perancis dan Spanyol. Kemudian dua orang volunteer yakni Olga dan Claire memperkenalkan diri. Olga, gadis dari Rusia. Claire, gadis manis dari Belgia. Mereka fasih berbahasa Inggris yang dijadikan bahasa pengantar resmi dalam setiap pertemuan. Olga dan Claire menjadi semacam pusat informasi aktivitas harian di Taize. Termasuk pembagian jadwal tugas harian bagi setiap kelompok. Ada yang bertugas membersihkan toilet dan kamar mandi, atau mencuci piring di dapur. Saya dan kelompok minoritas kami kebagian tugas membagikan sarapan setiap pagi.

Siang itu bruder memberikan tugas sharing kelompok tentang Mengapa ke Taize? Kelompok kami terdiri dari: Alfredas dari Lithuania, Emil dari Bulgaria, Lorenz dari Jerman, dan saya. Ada teman yang bercerita bahwa ia datang ke Taize untuk mencari ketenangan hati. Ada juga yang berprofesi sebagai pemandu wisata, dia mengantar sekelompok anak muda ke Taize. Saat tiba giliran saya sharing, mereka cukup terpesona mendengarkan kisah mukjizat tiket gratis yang saya peroleh. Mereka bilang saya beruntung. Saya cuma tersenyum-senyum saja.

Setelah ibadat siang, kami menikmati makan siang di Tenda F. Menunya unik: nasi goreng jagung dengan roti. Selesai makan siang, bagi yang ingin berlatih nyanyian Taize dapat bergabung di kapel utama. Namun saya memilih untuk berjalan-jalan ke Taman St. Etienne (St. Stefanus). Letaknya di bawah areal perkemahan, melewati jalan setapak dan pepohonan. Tempat ini disediakan untuk renungan pribadi. Saya menyebut tempat ini sepotong surga, karena indah sekali.

Di bawah terdapat danau dan padang rumput. Bayang-bayang pepohonan nampak pada pantulan permukaan danau dengan garis langit senja. Sementara bebek-bebek berterbangan dan mendarat di permukaan air.

Ada sebuah kapel di tepi danau dengan atap berbentuk kubah ortodoks. Semula kusangka di sinilah tempat makam Bruder Roger. Ternyata tidak demikian.
Setelah itu, saya mampir ke Oyak untuk membeli batere. Harga barang-barang yang dijual di Oyak tidak mahal. Batere AA merek Kodak 1 pak isi 4 pcs seharga 1 euro. Malam ini saya tentu tidak akan meraba-raba dalam kegelapan lagi. Senter saya sudah bernyala!

19.00 makan malam sambil berkenalan dengan teman dari Barcelona. Dia seorang pria guru sekolah anak-anak cacat mental. Saya pun seorang guru, ujarku memperkenalkan diri. Dia bercerita betapa sulitnya mengajar anak-anak cacat, butuh banyak kesabaran. Kemudian dia bercerita tentang tempat-tempat indah di Spanyol: Montserrat, Catalan, Andalusia...

20.00 doa malam di kapel utama. Lagu ini sangat bersemangat dan menyentuh hati: “El alma que anda en amor, ni cansa ne se cansa...” (The soul filled by love neither tires nor grows tired).

Selesai doa malam, saya bertemu Br. Alois, pemimpin komunitas Taize. Beliau tersenyum hangat saat menerimaku. Dia mencoba mengingat di mana pernah bertemu. Saya menyebut: Yogya! “Ah ya, Indonesia...”, ujarnya. Kami mengobrol sejenak sebelum beliau mengatakan: “besok selesai doa siang, maukah ikut makan siang bersama kami di biara?” Tentu saja tawaran ini kusambut dengan sukacita. Kami lalu berpamitan.
Saat menuju pintu keluar saya melihat beberapa imam mengenakan stola berdiri dan mendengarkan pengakuan dosa. Entah mengapa, ada dorongan untuk menemui salah satu imam tersebut. Ini kejadian pertama kali saya mengaku dosa dalam bahasa Inggris! Mulanya juga sempat gregetan, imam tersebut dengan ramah mengajak bercakap-cakap, lalu bertanya: Apakah Anda mau mengaku dosa?

Ah yes, jawabku. Lalu rumusan itu meluncur: Forgive me Father for I have sinned. Bla bla bla.... ketika sampai pada bagian daftar dosa-dosa, dengan sabar dia mendengarkan dan bertanya. Kami jadinya seperti sedang berdiskusi. Beberapa nasehat pun diberikan, antara lain dan ini yang paling kuingat: “Love in silent...”
Sempat juga kuceritakan pada imam mengenai kejadian tadi pagi di kapel, saya menangis ketika menerima komuni. Imam itu tersenyum hangat. Lalu memberikan penitensi dan absolusi: “.... I release you from all sins ...”

Udara terasa ringan, sekalipun malam itu dingin sekali. Dengan senter yang menyala di tangan saya kembali ke kemah. Rasanya saya dapat tidur pulas malam ini.

“El alma que anda en amor...”

kaleidoskop 2008: melamun di taize 3

Taize
Pukul 13.14 bus ke Taize tiba. Tiket dibeli pada sopir. Perjalanan memakan waktu sekitar 40 menit melewati kebun-kebun anggur, bunga-bunga persik di sepanjang jalan, dan kota Cluny. Francois turun di sini.

Pukul 13.50 tiba di Taize, hujan deras. Saya dan Min nongkrong di teras sambil bercakap-cakap. Min sempat bilang, apabila dia tidak betah tinggal di Taize maka dia akan langsung pulang ke Bristol. Dia masih menikmati biskuit abon karena inilah makan siang yang ada. Di papan pengumuman tertera jadwal Welcome Registration pukul 15.30. Kelompok dewasa dipisahkan dengan anak muda. Min bergabung dengan kelompok anak muda, saya dengan kelompok dewasa. Jadi, kami berpisah.

Saya masuk dalam grup berbahasa Inggris dan mendapat pengarahan dari Sarah Christina seorang volunteer dari Jerman. Dia menjelaskan peta lokasi Taize, kemah F sebagai tempat pertemuan utama kelompok dewasa, jadwal kegiatan harian, dan apa saja yang dapat dilakukan di sana setiap hari. Kemudian pembagian kamar untuk peserta. Saya mendapat kamar dorm no. 265. Lalu pembayaran. Saya cukup terharu sewaktu volunteer yang melayani berkata bahwa karena saya datang dari Asia, maka saya bebas menentukan jumlah pembayaran. Saya telah menyiapkan anggaran untuk ini berdasarkan tarif orang dewasa di dormitory selama 8 hari. Kemudian rehat sejenak, kami menikmati kue bolu dan teh lemon hangat.

Taize memiliki beberapa blok dormitory. Untuk orang dewasa dormitory letaknya lebih jauh dari dorm anak muda. Masing-masing dilengkapi kamar mandi, toilet dan wastafel yang bagus. Di setiap kamar terdapat 3 ranjang susun (bunk bed), sehingga total 6 orang sekamar. Saya sekamar dengan 4 orang Spanyol dan 1 orang Porto. Kami bercerita mengenai pengalaman perjalanan sampai ke sini. Rasanya seru, mereka jauh-jauh naik mobil sampai ke tempat ini!

Lalu saya bertanya mengenai tempat peziarahan terkenal itu, Santiago de Compostella. Seru sekali perjalanan ke sana, kata teman Spanyol. ”There are many ways to Santiago. You should try which one fit for your time...”, katanya dengan logat Spanish. Santiago ini sangat menggoda setiap kali saya membaca novel Paulo Coelho.

Yang terjadi berikutnya, saya memutuskan pindah kamar. Saya ke El Abiodh, tempat hospitality di Taize. Bila sakit, atau butuh menu makanan khusus, atau butuh tempat istirahat, silakan melapor ke El Abiodh. Di sana para suster melayani dengan ramah. Saya mengatakan bahwa saya butuh tempat khusus untuk beristirahat, karena saya cukup sulit tidur bila ada suara gaduh. Suster menyarankan saya untuk menginap di kemah. Kupikir ini ide yang baik. Suster memberikan sleeping bag dan kunci kemah no. 18.
Pengalaman tidur di kemah di Fuhlinger See sewaktu World Youth Day membuat saya menggemari kegiatan berkemah. Taize memiliki beberapa kemah yang bagus. Kemah tersebut dilapisi terpal berwarna biru sehingga air hujan tidak akan tembus. Selain itu, lantai kemah dilapisi papan dan terdapat dua kasur lateks bersisian dan seprai putih. Ini sih kemah mewah, menurutku. Tent sweet tent...

Sambil menunggu waktu makan malam, saya bergabung dengan anak-anak muda Jerman. Mereka mengadakan permainan memindahkan mangkuk-mangkuk plastik yang dipakai minum, juga biskuit, coklat, jepitan rambut dengan tepukan tangan berirama. Saya diajak ikut bermain, sementara ketua kelompok memberikan contoh. Pertama kali kagok juga, namun lama kelamaan permainan ini makin cepat dan asik sekali...
Tak terasa waktu makan malam tiba. Ratusan anak muda antre makan, jadi saya ikut bersama mereka. Menu makan malam yang dibagikan: sup kacang hijau dengan ham, roti, biskuit, yoghurt dan apel. Belakangan baru saya menyadari bahwa saya keliru tempat makan malam. Seharusnya saya bergabung bersama kelompok orang dewasa dan makan malam bersama mereka di kemah F.

Dalam kegelapan, nyalakan api yang tak pernah padam...
Doa malam diadakan pukul 20.30. Saya menyiapkan jaket, senter sebelum ke kapel utama. Saya coba mengetes senter, menyala namun sudah sangat redup. Baterenya harus diganti karena tidak ada penerang dalam kemah.

Hari-hari pertama di Taize, kapel utama tidak terlalu penuh sehingga tidak sulit mencari tempat duduk. Saya suka memilih tempat agak di depan, biar lebih fokus. Lagu-lagu yang dinyanyikan beberapa dalam versi asing. Seperti lagu: ”Dans nos obscurites, allume le feu qui ne s’e-teint jamais, qui ne s’eteint jamais...”, lidah ini cukup berlepotan berbahasa Perancis. Saya memilih tetap menyanyikan versi bahasa Indonesia-nya: ”Dalam kegelapan, nyalakan api yang tak pernah padam...”

Selesai doa malam, pukul 22.10 saya ke Oyak. Di Oyak terdapat toko, kafe dan tempat kongkow-kongkow. Saya butuh batere AA untuk senter. Anak-anak muda ramai berkumpul di sana menikmati minuman sambil bernyanyi-nyanyi. Saya bertanya kepada volunteer di Oyak, di mana saya dapat membeli batere. Dia menjawab: sayang sekali toko sudah tutup pukul 22.00. Jadi, dia tidak dapat membantu.

Saya berjalan menuju perkemahan. Malam itu saya menghayati kegelapan malam tanpa penerangan dalam kemah. Darkness, I come into You totally... Kesenyapan. Udara dingin malam terasa makin menggigit. Sambil meraba-raba, saya masuk ke dalam sleeping bag. Berpasrah dalam kegelapan, lagu ini jadi sangat bermakna: “dalam kegelapan, nyalakan api yang tak pernah padam, yang tak pernah padam ...”
Sebelum saya kemudian jatuh terlelap.

kaleidoskop 2008: melamun di taize 2

Paris
I wish it would rain now
And watch you standing there
Wearing the hat and smile
And I will let the rain falling down


Sabtu, 15 Maret 2007 pukul 06.35 pesawat mendarat di Paris. Keluar dari lambung pesawat, petugas langsung memeriksa dokumen masing-masing penumpang. Saya ditanya dalam bahasa Inggris: “Pertama kali ke Paris?” Ini kali kedua, jawabku. Petugas itu membolak-balik pasporku yang kelihatan masih baru. “Dalam rangka apa?” tanyanya lagi. “Taize”, jawabku singkat.
“Sudah pernah ke Taize?”
“Ini kali pertama”. Dia rupanya menemukan invitation letter yang dilampirkan dalam paspor. Sehingga saya diijinkan lewat meninggalkannya. Setelah mengambil bagasi berupa sebuah backpack (tas ransel), segera saya menuju ke pintu keluar bandara untuk menumpang bus Air France.

Udara dingin langsung menerpa. Beruntung bus Air France jurusan Gare de Lyon tidak terlalu lama datangnya. Tiket dibeli pada sopir seharga 14 euro. Di dalam bus terasa lebih hangat. Saya coba mengingat-ingat perjalanan terakhir kali ke bandara CDG, namun kali ini berbeda dengan musim dingin dan pepohonan yang tanpa daun di sepanjang jalan.

Printemps
Pukul 08.00 Tiba di Gare de Lyon, barang-barang penumpang diturunkan dari bagasi bus. Bangunan-bangunan tinggi berwarna kusam dan artistik khas Paris sangat menggoda mata mengelilingi daerah sekitar stasiun Lyon. Saya bergegas menuruni tangga bawah tanah ke stasiun Metro sambil mencoba mengingat-ingat pengalaman naik Metro tiga tahun silam. Jangan sampai keliru naik Metro. Soalnya 3 tahun lalu kami naik Metro bertiga, jadi rasanya aman ada penunjuk jalan. Kali ini saya jalan sendiri. Saking gugupnya saat antre di depan kasir, uang kertas yang kupegang jatuh karena memegang kertas coret-coretan rute yang kubuat. Seorang Bapak yang antri di belakangku membantu memungutnya. Cukup sulit membungkuk dengan ransel besar di punggung. Tiket kereta Metro sekali jalan 1,40euro. Saya mengambil jurusan M1 ke stasiun Nation.

Tiba di Nation, pakai acara nyasar. Maklum saya tidak membawa peta, cuma mengingat-ingat lokasi berdasarkan petunjuk Google Map. Kenyataannya, Bundaran Nation memiliki beberapa pertemuan jalan. Akhirnya saya menanyakan kepada orang yang lewat: ke arah mana Jalan Picpus? Hotel yang saya tuju adalah Hotel du Printemps, Boulevard de Picpus. Bila dilihat di peta, lokasi jalan ini tidak sulit ditemukan. Namun, sampai melewati kerumunan Bazaar yang digelar di pinggir jalan dengan dagangan seafood, bunga-bunga, buah-buahan, tentu tidak mudah memastikan lokasinya.

Akhirnya, ketemu jalan Picpus... hotelnya juga, senang sekali. Terlebih petugas hotel langsung memberikan kunci kamar no.50. Karena jam menunjukkan pukul 9 lewat. Menurut e-mail yang kuterima dari hotel, check-in baru boleh setelah pukul 12. Tiba di kamar rasanya lega. Kamar di lantai lima menghadap ke jalan, dengan single bed dan kamar mandi dengan hot shower. Kecil, namun nyaman. Tarifnya 50 euro semalam, termasuk murah untuk lokasi di tengah kota Paris. Setelah mandi dan sarapan mie gelas dan susu coklat, saya langsung tertidur...

Sacre Coeur
Pukul 15.00 bangun. Saatnya berjalan-jalan menikmati kota Paris.
Naik bus no. 65 yang melewati Nation ke arah Gare de L’Est dan Nord. Aha, sempat juga melewat hotel Francais tempat kami menginap dulu. Turun di Boulevard Barbes, sempat kebingungan menentukan arah, sebelum menemukan petunjuk arah ke Sacre Coeur. Di sini, aneh bahwa saya menemukan dua lembar uang kertas 50 euro di tengah jalan. Orang-orang lalu lalang, saya memandang dan memegang duit itu cukup lama sebelum berlalu pergi. Melewati jalan kecil yang menanjak, berujung pada tangga menuju ke Sacre Coeur. Banyak anak muda duduk-duduk di tangga depan Sacre Coeur sekedar menikmati pemandangan kota Paris yang tampak dari atas bukit sambil menikmati suguhan lagu pengamen yang seperti sedang menggelar konser.

Gereja Sacre Coeur (Hati Kudus) terletak di atas bukit bernama Mont Martre (bukit martir). Bangunan ini telah menjadi salah satu ikon kota Paris karena sejarahnya. Setelah masuk dan berdoa di dalam gereja Sacre Coeur, saya mengunjungi gereja St. Denis, masih di Mont Martre. Di sana terdapat ranting-ranting berdaun hijau dengan buah kecil berwarna merah disediakan di depan pintu gereja. Apakah ini berkaitan dengan simbol kemartiran St. Denis? Tanyaku dalam hati. Ah ya, baru kemudian kusadari bahwa ini adalah hari Sabtu menjelang Minggu Palem.

Eiffel, I’m wet and lost...
Setelah itu, perjalanan dengan bus no.30 menuju ke Trocadero. Hujan rintik-rintik di luar. Bangunan Arc de Triomphe Etoile terlihat megah di tengah bayang-bayang hujan pada jendela bus. Turun di Trocadero, Eiffel terlihat megah di sana. Lampu-lampu dinyalakan di sekujur menaranya di sertai kilatan-kilatan blits. Indah sekali. Pengunjung tetap saja ramai berfoto-foto atau sekedar duduk-duduk menikmati pemandangan meskipun hujan.

Hujan semakin deras, disertai angin kencang. Saya berlindung di bawah menara Eiffel. Beberapa petugas keamanan terlihat mengejar-ngejar orang India pedagang asongan, namun pedagang itu lebih pandai. Beberapa saat kemudian mereka sudah kembali lagi menawarkan souvenir Eiffel kepada pengunjung dengan harga miring. Setelah hujan sedikit reda, saya berjalan ke arah Picquet. Di sana ada swalayan kecil (supermarche). Lumayan untuk membeli kebutuhan pokok: air botol, buah, roti. Tepat di depannya terdapat tangga bawah tanah Metro. Naik M8 kemudian M1, tiba kembali di Nation.

Tiba di Nation, nyasar di tengah hujan gerimis. Bila kuhitung-hitung, malam itu mungkin sekitar dua putaran sudah kulewati Bundaran Nation untuk mencari jalan ke Picpus. Kali ini malah dengan mencoba masing-masing percabangan jalan, jadi makin tersesatlah... Hingga kemudian saya memberanikan diri bertanya pada seorang Bapak di pinggir jalan. Bapak itu ramah sekali, dia justru menemaniku berjalan di tengah hujan tanpa memakai payung, mengantarku sampai di Picpus. Olala, percabangan jalan Picpus rupanya setelah dua menara raja (kusebut Two Towers Lord of The Rings)...

Alangkah leganya kembali di kamar hotel.

Farewell to Nation
Minggu, 16 Maret 2008 bangun kesiangan pukul 08.15! Waduh, jam weker yang saya setel di hape tidak berbunyi. Buru-buru berkemas dan sarapan pagi roti, buah dan yoghurt yang dibeli semalam. Lumayan menghemat 7 euro dibandingkan bila memesan sarapan di hotel. Pukul 09.15 check-out dari hotel. Udara dingin dan jalanan senyap saat saya kembali ke stasiun Metro di Nation. Rasanya saya mulai hafal jalanan ini setelah beberapa kali tersesat. Namun sekarang saya musti mengejar waktu agar tidak ketinggalan kereta ke Macon. Di Metro Nation nyaris lagi tertukar kereta, alias saya hampir naik kereta ke arah berlawanan. Saya langsung loncat keluar dan berlari menaiki tangga memutar ke arah sebaliknya. Beruntung: kereta Metro ke arah Gare de Lyon masih ada di sana. Fiuuuhh... nyaris saja nyasar jauh. 09.40 Tiba di Stasiun Lyon. 10 menit lagi jadwal kereta TGV pagi terakhir ke Macon akan berangkat. Saya bertanya ke bagian informasi di lantai atas, di mana tempat membeli tiket? Saya berlari ke tempat yang ditunjuk, tapi alamaaak, antrean calon pembeli tiket panjang nian dan petugas telah menutup antrean. Jadi kutanya ke petugas, saya musti beli tiket TGV ke mana?

Dia mengatakan untuk membeli tiket TGV ada loket khusus di dekat tangga stasiun Metro di bawah... Kembali lagi turun ke bawah. Beruntung loket TGV sepi, sehingga petugasnya langsung melayani dan dengan muka cemas dia minta saya segera berlari ke peron 19 di atas. Setelah membayar 53,7 euro dan memperoleh tiket, saya tidak mengecewakan petugas itu. Saya berlari secepat mungkin dengan ransel di pundak. Keretanya masih ada di sana, tapi di gerbong berapa? Saya tunjukkan tiket saya ke petugas TGV, “Voiture atau gerbong 17 ada di sana”, dia menunjuk jauh ke belakang... Alamaaakk jaan, acara lari pagiku masih harus dilanjutkan....
Syukur akhirnya sampai, sekarang nomor kursi. Saya dapat kursi di lantai atas. Place assise (nomor bangku) 115. Selesai menyimpan ransel dan duduk, kereta TGV bergerak meninggalkan Gare de Lyon. Saya masih perlu mengatur nafas dan minum air beberapa teguk. Ibu yang duduk di samping saya sepertinya mengerti bahwa saya habis berkejaran kereta. Saya duduk di samping jendela sehingga dapat menikmati keindahan alam sepanjang perjalanan: landscape, pohon-pohon, rumah, bukit-bukit...

11.30 kereta berhenti di Stasiun Macon. Ibu itu memberi tanda bahwa di sini saya harus turun. Gerimis menyambut di stasiun. Saya bertanya ke bagian informasi, bus ke Taize. Dia menulis pada secarik kertas: “13h.14”. Jadi saya harus menunggu hampir dua jam. Di sini saya berkenalan dengan Min, seorang gadis Korea yang hendak ke Taize. Dia mengenal Taize dari temannya. Saat ini dia kuliah di Bristol, Inggris Jurusan Media. Kami ngobrol di ruang tunggu sambil menikmati biskuit malkist abon yang saya bawa. Lalu seorang bapak tua bernama Francois datang menghampiri kami dan bercakap-cakap mengenai masa mudanya. Dia pernah mampir di Yogya, Jepang dan beberapa daerah di Asia. Sekarang dia bekerja sebagai sopir taksi dan tinggal di Cluny. Katanya dia hidup seorang diri di sana. Dia menawarkan kami untuk mampir ke tempatnya setelah pulang dari Taize.

kaleidoskop 2008: melamun di taize 1

Pendahuluan
Perjalanan kali ini dimulai dengan kisah yang semula sulit dipercaya. Saya mendapat tiket gratis dari Singapore Airlines (SQ) saat iseng-iseng bermain games online dalam rangka Perayaan 60 tahun SQ. Pemberitahuan pertama berupa e-mail semula kusangka junk mail sehingga kuabaikan. Pemberitahuan kedua yang dikirim membuatku terkejut, karena klaim hadiah mendekati batas tenggat waktu bulan Oktober 2007. Demikianlah saya mendapat berkat untuk mengadakan perjalanan ziarah dengan tiket pesawat Denpasar – Paris pp gratis dari SQ (kecuali pajak sejumlah USD 225 harus dibayar pada saat menebus tiket).

Bila kupikir-pikir, mungkin kejadian ini ada kaitannya dengan peristiwa tahun 2005 saat saya bersama teman-teman melanjutkan perjalanan dari World Youth Day di Koeln menuju ke Lourdes. Di Lourdes disediakan kotak donasi bertuliskan: 1 euro untuk tahun 2008, Jubileum 150 tahun Penampakan di Lourdes. Saya memasukkan sekeping uang 1 euro ke kotak donasi dan berkata kepada teman-teman: “Saya ingin datang ke Lourdes pada tahun 2008”. Meskipun belum tahu bagaimana caranya, karena pada tahun 2008 juga akan digelar World Youth Day di Sydney. Namun dengan tiket SQ gratis di tangan, kuduga doaku didengarkan Tuhan.

Persoalan berikut, bagaimana dengan urusan visa? Visa ini menentukan dari kota mana saya memulai perjalanan ziarah. Beberapa pilihan: Frankfurt, Roma atau Paris? Ada teman di Jerman yang mau membantu membuatkan invitation letter. Namun mengingat bahwa sewaktu mengurus visa Jerman tahun 2005, pemohon harus datang ke Jakarta saat mengajukan dan mengambil visa di kedutaan, ini berarti saya harus menambah waktu libur untuk mengurus visa ke Jakarta. Bapa Uskup juga sempat kutanya mengenai kemungkinan mengambil visa melalui Nuntius. Mengejutkan bahwa Bapa Uskup sungguh menanyakan hal ini kepada Nuntius. Saat saya menghadap Bapa Uskup, beliau bercerita sempat bertemu Nuntius di bandara. Nuntius menanggapi dengan berkata: “bila permintaan ini saya kabulkan, satu orang awam bisa masuk Eropa melalui Vatikan, bagaimana bila 100 juta penduduk Indonesia lain minta hal yang sama?” Saya sempat tertawa menyetujui pernyataan tersebut.

Saya menyusun beberapa rute alternatif perjalanan ziarah. Perjalanan akan melewati Taize, Perancis. Karena itulah saya mencari informasi mengenai Meeting di Taize. Tahun 2008, Meeting dimulai pada Pekan Suci, 16-23 Maret 2008. Saya mendaftar melalui situs Taize (www.taize.fr). Jawaban dari Taize datang tak lama kemudian melalui e-mail. Surat undangan akan dikirimkan dari Taize melalui pos untuk mengurus visa. Surat bertanggal 17 Desember 2007 saya terima pada awal Januari 2008. Pastor Frans Nipa, sekretaris keuskupan menyarankan supaya menggunakan jasa Raptim untuk mengurus visa. Beliau memberikan nomor telepon Bapak Andre di Raptim. Saya menghubungi Pak Andre untuk menanyakan berkas apa saja yang dibutuhkan untuk mengurus visa di Kedutaan Perancis. Saya segera mengurus antara lain surat keterangan dari tempat kerja, surat pernyataan bank dan rekening, booking tiket, pas foto. Dokumen tersebut bersama Paspor asli kukirimkan dengan kurir cepat ke Raptim. Pak Andre sempat memberitahu bahwa sejak awal tahun 2008, Kedutaan Perancis menggunakan jasa VFS untuk urusan visa, sehingga belum ada kepastian waktu selesainya visa.

Ternyata visa schengen tersebut selesai dalam seminggu dan langsung dikirimkan ke alamat saya menggunakan kurir cepat. Saya menyampaikan terimakasih dan apresiasi atas kesigapan layanan Raptim c.o. Bpk Andre dalam pengurusan visa.

Sekarang saya dapat mengatur rute perjalanan. Dimulai dari Paris, menuju ke Taize, lalu terus ke mana? Saya mencari informasi sarana transportasi di internet. Akhirnya menemukan EasyJet, penerbangan murah. Saya memesan tiket penerbangan dari Lyon ke Roma, Roma ke Madrid, Madrid ke Toulouse, Toulouse ke Paris Orly total senilai 115 euro. Beberapa teman di Eropa mengatakan bahwa tiket tersebut benar-benar murah. Iya, mungkin karena pada saat saya mengambilnya jauh hari dan ada promo diskon 25%.

Berangkat
Hari keberangkatan dari bandara Ngurah Rai, Bali pada Jumat, 14 Maret 2008 akhirnya tiba. Br. Francesco dari Taize sempat menelponku mengingatkan bahwa acara pada Minggu Paskah di Taize berlangsung hingga siang hari, saya diminta untuk mengatur jadwal selama berada di sana sebelum melanjutkan perjalanan ke kota lain.
Pukul 19.25 boarding dengan pesawat Singapore Airlines menuju ke Singapura. Tiba pukul 22.30 di Terminal 2 bandara Changi. Setiap penumpang transit ditempeli stiker bertuliskan T3 oleh petugas bandara dengan maksud agar segera menuju ke terminal baru yakni Terminal 3. menurut jadwal yang tertera di layar monitor, pesawat ke Paris boarding pukul 22.50! Ini tentu membuat penumpang transit segera berlarian melewati eskalator menuju ke skytrain yang mengangkut penumpang ke Terminal 3.

Tiba di Terminal baru, saya tidak sempat menikmati pemandangan di sana, termasuk terminal internet yang dipasang untuk penumpang ataupun lantai berlapis beludrunya. Saya menghampiri petugas yang berjaga di pos untuk menanyakan bagaimana cara tercepat menuju ke terminal keberangkatan. Dia menunjuk ke train shuttle yang menuju ke Terminal 1. Katanya kereta itu akan berhenti di depan tempat keberangkatan ke Paris. Namun saya tidak berani mengambil risiko, saya berlari lagi terengah-engah sampai di tempat keberangkatan. Antrian sudah memanjang, beruntung air gelas dari pesawat tadi kubawa sehingga bisa kuteguk memuaskan dahaga. Model transit seperti begini tentu tidak cocok untuk orang lanjut usia karena harus berlari atau setidaknya berjalan cepat agar tidak ketinggalan pesawat.

Pukul 23.30 pesawat berangkat. Perjalanan memakan waktu 12 jam, saya coba menikmati sajian hiburan KrisWorld: beberapa album lagu seperti John Lenon, Katie Melua, dan nonton film dagelan India yang diperankan Shah Rukh Khan “Om Shanti Om”. Kemudian terlelap kecapaian.

kaleidoskop 2008: rainy night in paris

hujan turun deras di trocadero saat hendak melintasi eiffel. seorang gadis duduk berpayung. pemandangan yang sangat artistik. gambar ini pun kuambil dan kubuat versi waterpainted. setiap kali melihatnya masih terasa dinginnya Paris, dan indahnya pemandangan hujan dan kerlap-kerlip lampu di sekujur eiffel. seperti pohon terang.

Tuesday, December 09, 2008

weird day

kusebut saja hari ini weird day, hari yang aneh. pagi hari saya terjaga sebelum weker berbunyi. rasanya segar sekali, siap memulai hari yang baru setelah long wiken kemarin.

saat mengajar di kelas, ada teman yang membunyikan hp-ku cuma untuk menanyakan hal sepele. sempat dongkol jadinya karena sedang berada di depan kelas.

trus, saat kembali ke kantor, baru kusadari satu hal: pakaianku beda sendiri warnanya dengan yang lain. olala... teman-teman pada bertanya: kok pakaian berbeda hari ini, Ton?

kujawab saja tanpa malu: iye nih, istriku sehabis nyetrika langsung digantungnya berjejer pakaian kerja harian. jadi kuambil saja yang pertama untuk hari Senin.

padahal hari ini Selasa, kemarin Senin libur lebaran kurban. rasanya memang seperti hari Senin, hehehe...

jam 14.00 masih di kantor menyelesaikan tugas di laptop. tiba-tiba mahasiswa saya menelpon: Pak kuliah siang ini ada? Ealah... sampai lupa jadwal kuliah Selasa siang. "tunggu lima menit lagi yaa... saya menuju ke sana", sambil terburu-buru membereskan pekerjaan dan ngebut ke kampus.

sore hari lebih seru, bolak-balik saya menelpun ke Jakarta untuk menanyakan kiriman yang belum tiba. sampai-sampai teman yang melayani kiriman pesanan saya kena semprot... iya sih, kebangetan telatnya.

habis itu baru kata ini muncul di kepalaku: weird day.

weird day, when things got strange.

kaleidoskop 2008: green snake! :)

masih di lokasi Tanah Lot... oalah, pakaian turis ini sangat atraktif sehingga memikat perhatian para pengunjung di sana. bawahannya sangat transparan. jadi obyek pemandangan ajaib. coba perhatikan lelaki di sekitarnya, hehehe... mas, mas... lihat ke mana atuh?


kaleidoskop 2008: holy snake!

ular suci yang terdapat di puta Tanah Lot. unik, bermotif belang hitam putif seperti kain bali. bergelung dalam lubang di gundukan pasir yang dijaga seorang pemuka agama.
eit, jangan diganggu... menurut kepercayaan setempat, bisa mendatangkan musibah bagi yang mengganggu ular ini.

Sunday, December 07, 2008

kaleidoskop 2008: one happy family

lukisan yang terdapat di sebuah restoran di bedugul, bali. gambaran sebuah keluarga bahagia?

kaleidoskop 2008: heaven on earth boat

kapal "Surga Dunia" saat bersandar di pelabuhan Paotere, Makassar. siapa mau ikut? (gambar diambil pada April 2008)

Saturday, December 06, 2008

paint your wagon: satu istri dengan dua suami?

bagaimana bila dua sahabat memiliki istri yang sama? tema rada nyeleneh ini diusung dalam "Paint Your Wagon". film yang diproduksi tahun 1969, diperankan aktor ganteng Clint Eastwood. di sampul VCD malah terpasang kalimat: See Clint sing in a rollicking Western musical comedy!

Ya, baru dalam film ini Anda bisa mendengarkan Clint Eastwood yang biasanya memerankan film koboi atau sebagai sheriff, bernyanyi semirip suasana film The Sound of Music. selain itu siapkan perut yang siap diguncang oleh kekonyolan dan kocaknya situasi penambangan emas tempat mereka berada.

diawali pertemanan si tua pemabuk Ben Rumson dengan Pardner (Eastwood). mereka kelompok penambang hanya terdiri kaum lelaki saja. suatu ketika seorang lelaki dengan dua isteri datang ke sana. dia melepaskan seorang isterinya untuk para penambang.

supaya adil, diadakan pelelangan. dalam mabuknya, si tua Rumson memenangkan lelang dengan harga $800. ketika upacara pernikahan dilangsungkan, saking mabuknya, Pardner membantunya menjawab Janji Pernikahan:

Haywood Holbrook: Dearly beloved. We have gathered together to grant this man, Ben Rumson, exclusive title to this woman, Mrs. Elizabeth Woodling, and to all her mineral resources. I have drawn up this Record of Claim which here and henceforth will be recognized as a certificate of marriage. So I ask you Ben, do you recognize this claim as a contract of marriage and do you take this woman to love honor and cherish?
Pardner: [after long silence] Oh, he does.
Haywood Holbrook: Elizabeth Woodling, do you take this man, Ben Rumson, to love, honor and obey him until death do you part.
Pardner: She does.
Haywood Holbrook: I now pronounce you claimed and filed as Mr. and Mrs. Ben Rumson.

si istri minta agar mereka tidak tinggal di kemah, melainkan sebuah rumah permanen. permintaannya dikabulkan, sebuah pondok kayu mereka dirikan. dan si istri minta agar dia diperlakukan dengan hormat, bukan seperti seorang pelacur, ataupun seorang yang dimenangkan dari undian.

Pardner dapat kemah di luar rumah. si tua Rumson pergi dengan rencana bagus bagi para penambang: menangkap kereta berisi perempuan-perempuan, sehingga daerah mereka lebih hidup. sekembali Rumson, dia terbakar api cemburu. pernah saking cemburunya dia menginterogasi istrinya yang baru selesai mandi di sungai malam hari:

Ben: You was down at the rapids just now, bare beam and buck naked?
Elizabeth: Well, I'm not like to take a bath with my clothes on, Mr. Rumson.
Ben: Are you trying to tell me that you was taking a *bath*?
Elizabeth: That's right. I was taking a bath.
Ben: In the middle of the night?
Elizabeth: Mr. Rumson, in a community of 400 men, would you rather I took my bath "bare beam and buck naked" in the middle of the day?

akhirnya, Pardner mengakui bahwa dia mencintai Elizabeth. parah lagi, Elizabeth mengakui mencintai kedua lelaki itu. keduanya tinggal serumah. semua berjalan baik, sampai mereka menolong sebuah keluarga dan memberi mereka tumpangan di rumah mereka. siapa yang layak disebut kepala keluarga di rumah itu?

bagaimana akhir kisah "Paint Your Wagon" yang kocak dan nyeleneh? yakinlah, tidak ada pertumpahan darah dalam film ini. justru pertemanan si tua pemabuk Rumson dan Pardner (kedengarannya 'partner', karena nama aslinya baru ketahuan di akhir film) yang sangat erat. pemandangan prairie, bukit-bukit hijau dan pertambangan masa lampau mengingatkan pada film klasik koboi jadul.

dan lagu-lagu yang dinyanyikan... sangat menghibur. coba saja cari filmnya saat senggang.