Saturday, December 13, 2008

kaleidoskop 2008: melamun di taize 2

Paris
I wish it would rain now
And watch you standing there
Wearing the hat and smile
And I will let the rain falling down


Sabtu, 15 Maret 2007 pukul 06.35 pesawat mendarat di Paris. Keluar dari lambung pesawat, petugas langsung memeriksa dokumen masing-masing penumpang. Saya ditanya dalam bahasa Inggris: “Pertama kali ke Paris?” Ini kali kedua, jawabku. Petugas itu membolak-balik pasporku yang kelihatan masih baru. “Dalam rangka apa?” tanyanya lagi. “Taize”, jawabku singkat.
“Sudah pernah ke Taize?”
“Ini kali pertama”. Dia rupanya menemukan invitation letter yang dilampirkan dalam paspor. Sehingga saya diijinkan lewat meninggalkannya. Setelah mengambil bagasi berupa sebuah backpack (tas ransel), segera saya menuju ke pintu keluar bandara untuk menumpang bus Air France.

Udara dingin langsung menerpa. Beruntung bus Air France jurusan Gare de Lyon tidak terlalu lama datangnya. Tiket dibeli pada sopir seharga 14 euro. Di dalam bus terasa lebih hangat. Saya coba mengingat-ingat perjalanan terakhir kali ke bandara CDG, namun kali ini berbeda dengan musim dingin dan pepohonan yang tanpa daun di sepanjang jalan.

Printemps
Pukul 08.00 Tiba di Gare de Lyon, barang-barang penumpang diturunkan dari bagasi bus. Bangunan-bangunan tinggi berwarna kusam dan artistik khas Paris sangat menggoda mata mengelilingi daerah sekitar stasiun Lyon. Saya bergegas menuruni tangga bawah tanah ke stasiun Metro sambil mencoba mengingat-ingat pengalaman naik Metro tiga tahun silam. Jangan sampai keliru naik Metro. Soalnya 3 tahun lalu kami naik Metro bertiga, jadi rasanya aman ada penunjuk jalan. Kali ini saya jalan sendiri. Saking gugupnya saat antre di depan kasir, uang kertas yang kupegang jatuh karena memegang kertas coret-coretan rute yang kubuat. Seorang Bapak yang antri di belakangku membantu memungutnya. Cukup sulit membungkuk dengan ransel besar di punggung. Tiket kereta Metro sekali jalan 1,40euro. Saya mengambil jurusan M1 ke stasiun Nation.

Tiba di Nation, pakai acara nyasar. Maklum saya tidak membawa peta, cuma mengingat-ingat lokasi berdasarkan petunjuk Google Map. Kenyataannya, Bundaran Nation memiliki beberapa pertemuan jalan. Akhirnya saya menanyakan kepada orang yang lewat: ke arah mana Jalan Picpus? Hotel yang saya tuju adalah Hotel du Printemps, Boulevard de Picpus. Bila dilihat di peta, lokasi jalan ini tidak sulit ditemukan. Namun, sampai melewati kerumunan Bazaar yang digelar di pinggir jalan dengan dagangan seafood, bunga-bunga, buah-buahan, tentu tidak mudah memastikan lokasinya.

Akhirnya, ketemu jalan Picpus... hotelnya juga, senang sekali. Terlebih petugas hotel langsung memberikan kunci kamar no.50. Karena jam menunjukkan pukul 9 lewat. Menurut e-mail yang kuterima dari hotel, check-in baru boleh setelah pukul 12. Tiba di kamar rasanya lega. Kamar di lantai lima menghadap ke jalan, dengan single bed dan kamar mandi dengan hot shower. Kecil, namun nyaman. Tarifnya 50 euro semalam, termasuk murah untuk lokasi di tengah kota Paris. Setelah mandi dan sarapan mie gelas dan susu coklat, saya langsung tertidur...

Sacre Coeur
Pukul 15.00 bangun. Saatnya berjalan-jalan menikmati kota Paris.
Naik bus no. 65 yang melewati Nation ke arah Gare de L’Est dan Nord. Aha, sempat juga melewat hotel Francais tempat kami menginap dulu. Turun di Boulevard Barbes, sempat kebingungan menentukan arah, sebelum menemukan petunjuk arah ke Sacre Coeur. Di sini, aneh bahwa saya menemukan dua lembar uang kertas 50 euro di tengah jalan. Orang-orang lalu lalang, saya memandang dan memegang duit itu cukup lama sebelum berlalu pergi. Melewati jalan kecil yang menanjak, berujung pada tangga menuju ke Sacre Coeur. Banyak anak muda duduk-duduk di tangga depan Sacre Coeur sekedar menikmati pemandangan kota Paris yang tampak dari atas bukit sambil menikmati suguhan lagu pengamen yang seperti sedang menggelar konser.

Gereja Sacre Coeur (Hati Kudus) terletak di atas bukit bernama Mont Martre (bukit martir). Bangunan ini telah menjadi salah satu ikon kota Paris karena sejarahnya. Setelah masuk dan berdoa di dalam gereja Sacre Coeur, saya mengunjungi gereja St. Denis, masih di Mont Martre. Di sana terdapat ranting-ranting berdaun hijau dengan buah kecil berwarna merah disediakan di depan pintu gereja. Apakah ini berkaitan dengan simbol kemartiran St. Denis? Tanyaku dalam hati. Ah ya, baru kemudian kusadari bahwa ini adalah hari Sabtu menjelang Minggu Palem.

Eiffel, I’m wet and lost...
Setelah itu, perjalanan dengan bus no.30 menuju ke Trocadero. Hujan rintik-rintik di luar. Bangunan Arc de Triomphe Etoile terlihat megah di tengah bayang-bayang hujan pada jendela bus. Turun di Trocadero, Eiffel terlihat megah di sana. Lampu-lampu dinyalakan di sekujur menaranya di sertai kilatan-kilatan blits. Indah sekali. Pengunjung tetap saja ramai berfoto-foto atau sekedar duduk-duduk menikmati pemandangan meskipun hujan.

Hujan semakin deras, disertai angin kencang. Saya berlindung di bawah menara Eiffel. Beberapa petugas keamanan terlihat mengejar-ngejar orang India pedagang asongan, namun pedagang itu lebih pandai. Beberapa saat kemudian mereka sudah kembali lagi menawarkan souvenir Eiffel kepada pengunjung dengan harga miring. Setelah hujan sedikit reda, saya berjalan ke arah Picquet. Di sana ada swalayan kecil (supermarche). Lumayan untuk membeli kebutuhan pokok: air botol, buah, roti. Tepat di depannya terdapat tangga bawah tanah Metro. Naik M8 kemudian M1, tiba kembali di Nation.

Tiba di Nation, nyasar di tengah hujan gerimis. Bila kuhitung-hitung, malam itu mungkin sekitar dua putaran sudah kulewati Bundaran Nation untuk mencari jalan ke Picpus. Kali ini malah dengan mencoba masing-masing percabangan jalan, jadi makin tersesatlah... Hingga kemudian saya memberanikan diri bertanya pada seorang Bapak di pinggir jalan. Bapak itu ramah sekali, dia justru menemaniku berjalan di tengah hujan tanpa memakai payung, mengantarku sampai di Picpus. Olala, percabangan jalan Picpus rupanya setelah dua menara raja (kusebut Two Towers Lord of The Rings)...

Alangkah leganya kembali di kamar hotel.

Farewell to Nation
Minggu, 16 Maret 2008 bangun kesiangan pukul 08.15! Waduh, jam weker yang saya setel di hape tidak berbunyi. Buru-buru berkemas dan sarapan pagi roti, buah dan yoghurt yang dibeli semalam. Lumayan menghemat 7 euro dibandingkan bila memesan sarapan di hotel. Pukul 09.15 check-out dari hotel. Udara dingin dan jalanan senyap saat saya kembali ke stasiun Metro di Nation. Rasanya saya mulai hafal jalanan ini setelah beberapa kali tersesat. Namun sekarang saya musti mengejar waktu agar tidak ketinggalan kereta ke Macon. Di Metro Nation nyaris lagi tertukar kereta, alias saya hampir naik kereta ke arah berlawanan. Saya langsung loncat keluar dan berlari menaiki tangga memutar ke arah sebaliknya. Beruntung: kereta Metro ke arah Gare de Lyon masih ada di sana. Fiuuuhh... nyaris saja nyasar jauh. 09.40 Tiba di Stasiun Lyon. 10 menit lagi jadwal kereta TGV pagi terakhir ke Macon akan berangkat. Saya bertanya ke bagian informasi di lantai atas, di mana tempat membeli tiket? Saya berlari ke tempat yang ditunjuk, tapi alamaaak, antrean calon pembeli tiket panjang nian dan petugas telah menutup antrean. Jadi kutanya ke petugas, saya musti beli tiket TGV ke mana?

Dia mengatakan untuk membeli tiket TGV ada loket khusus di dekat tangga stasiun Metro di bawah... Kembali lagi turun ke bawah. Beruntung loket TGV sepi, sehingga petugasnya langsung melayani dan dengan muka cemas dia minta saya segera berlari ke peron 19 di atas. Setelah membayar 53,7 euro dan memperoleh tiket, saya tidak mengecewakan petugas itu. Saya berlari secepat mungkin dengan ransel di pundak. Keretanya masih ada di sana, tapi di gerbong berapa? Saya tunjukkan tiket saya ke petugas TGV, “Voiture atau gerbong 17 ada di sana”, dia menunjuk jauh ke belakang... Alamaaakk jaan, acara lari pagiku masih harus dilanjutkan....
Syukur akhirnya sampai, sekarang nomor kursi. Saya dapat kursi di lantai atas. Place assise (nomor bangku) 115. Selesai menyimpan ransel dan duduk, kereta TGV bergerak meninggalkan Gare de Lyon. Saya masih perlu mengatur nafas dan minum air beberapa teguk. Ibu yang duduk di samping saya sepertinya mengerti bahwa saya habis berkejaran kereta. Saya duduk di samping jendela sehingga dapat menikmati keindahan alam sepanjang perjalanan: landscape, pohon-pohon, rumah, bukit-bukit...

11.30 kereta berhenti di Stasiun Macon. Ibu itu memberi tanda bahwa di sini saya harus turun. Gerimis menyambut di stasiun. Saya bertanya ke bagian informasi, bus ke Taize. Dia menulis pada secarik kertas: “13h.14”. Jadi saya harus menunggu hampir dua jam. Di sini saya berkenalan dengan Min, seorang gadis Korea yang hendak ke Taize. Dia mengenal Taize dari temannya. Saat ini dia kuliah di Bristol, Inggris Jurusan Media. Kami ngobrol di ruang tunggu sambil menikmati biskuit malkist abon yang saya bawa. Lalu seorang bapak tua bernama Francois datang menghampiri kami dan bercakap-cakap mengenai masa mudanya. Dia pernah mampir di Yogya, Jepang dan beberapa daerah di Asia. Sekarang dia bekerja sebagai sopir taksi dan tinggal di Cluny. Katanya dia hidup seorang diri di sana. Dia menawarkan kami untuk mampir ke tempatnya setelah pulang dari Taize.

No comments: