Friday, September 16, 2005

Melamun di Dom 3: What a Perfect Day

Ada kalimat indah yang saya petik dari majalah dalam perjalanan
Jakarta-KL:
“Seperti pinang pulang ke tampuk,
seperti sirih pulang ke gagang…
a traveller finds his haven at home”


Kalimat berikutnya lagi:
“The person who has not traveled widely
thinks his mother is the best cook”
[Ugandan proverb].

Saya sangat setuju dengan kalimat kedua pada malam itu... :) Ketika tertidur dalam perjalanan dari KL ke Frankfurt, saya dibangunkan oleh pramugari untuk makan. Makan apa namanya ini? Makan tengah malam? Hehehe… karena pamali [tidak baik] jika menolak tawaran makan, maka ibarat toko yang sudah tutup, malam itu musti dibuka untuk “night sale”, seperti yang banyak dilakukan supermarket di Indo… Lumayan makanannya enak, tapi kali ini aku nggak mau pakai wine.

Selesai makan, saya coba menikmati pertunjukan film di layer yang terdapat di masing-masing kursi penumpang. Sayang film-film yang disediakan kurang menarik. Film “hosatage” Bruce Wilis sudah kunonton beberapa pekan lalu, lalu film “monster-in-law” nggak menarik. Dan, ada satu film kartun: “Madagascar”… hehehe… yang ini baru bisa kunikmati karena membuatku tertawa.... saat lampu kabin dipadamkan, aku juga kembali tidur pulas.
Perjalanan 12 jam ke Frankfurt, artinya tiba jam 12 siang di sana. Namun, jangan keliru, karena perbedaan waktu mundur 6 jam, maka kami akan tiba di sana pukul 6 pagi.
Waduh... tidur malam kali ini kelamaan, 12 jam dihitung 6 jam!
Saya perhatikan bule-bule di sekitarku, mereka kok tahan ya tidur pulas... padahal arlojiku menunjukkan sudah pukul 6 pagi ... waktu Indonesia. Mungkin jam tubuh mereka sudah sangat luwes menyesuaikan, kali ya? Sudah kupaksa-paksa untuk coba tidur... syukur akhirnya bisa dapat tambahan tidur beberapa jam.

Pada pukul 6.06 pagi waktu setempat pesawat kami mendarat di Frankfurt.
Mendaratnya mulus, kali ini tanpa pakai acara panggil-memanggil namaku seperti di KL kemarin, hehehe... aku berjalan segera keluar, karena kursiku paling depan. Bangunan bandara Frankfurt sangat khas dengan besi-besi beton yang menyangga setiap tiang. Sepagi itu sudah ada toko buku yang baru buka, aku ke sana sambil menunggu kedatangan mbak Ina dan Susan.
Saat mereka datang kami segera ke bagian imigrasi, tempatnya sangat lengang. Jadi kami dapat lekas melewati pemeriksaan paspor. Di tempat pengambilan bagasi, agak lama menunggu hingga tas ranselku muncul. Ada dua ban berjalan yang harus diawasi karena keduanya dipakai untuk pengambilan bagasi penerbangan yang sama. Tas Ina dan Susan untung segera muncul juga.
Sekarang kami dapat keluar... nah sewaktu melewati ruang tunggu penjemput, aku sempat celingak-celinguk mencari seseorang. Tapi tidak tampak di antara penjemput yang berdiri di sana. Saat melewati kursi-kursi, barulah orang itu muncul: Manfred!

Senang sekali dia bela-belain datang menjemput sepagi itu. Manfred adalah sobat lamaku, sepuluh tahun lalu dia rajin liburan ke Bali dan nginap di Susteran di Serma Kawi. Setiap pagi dia pasti sudah ada duduk di kursi pojok di belakang untuk misa pagi. Dia juga tahu kisah pacarku yang di Bali... ah, itu sih nostalgila!
Manfred langsung mengambil ransel kecilku dan membawakannya. Lalu kami berfoto-foto bersama Susan, sebelum Susan meneruskan perjalanan dengan kereta ke Berlin. Lalu, papan pengumuman itu terlihat dengan logo World Youth Day! Tentu ini petunjuk bagi turis nyasar seperti kami. Untung Manfred bisa berbahasa Jerman... hehehe. Dia yang menanyakan ke bagian informasi arah ke counter WYD di bandara. Kami tinggal ikut saja.


Nah, waktu tiba di counter Info Point WYD, bagasi kami harus melewati detektor, lalu dimasukkan ke rak-rak. Kupikir sekarang kami bisa berangkat ke Cologne... tahunya cuma buat nitip tas doang! Counter info point WYD benar-benar cuma bisa memberikan informasi, untuk sampai ke Cologne musti ke stasiun!
Loket pembelian tiket KA tidak jauh dari situ. Manfred lagi yang menanyakan jadwal kereta dan reservasi. Nah, waktu dia mengeluarkan kartu kreditnya, alarmku langsung bunyi ... “No, no... let us pay!” kataku sambil mengeluarkan dompet dan menunjukkan lembaran euro yang kubawa. Dia ngomong dalam bahasa Jerman sama petugas. Perempuan petugas itu tersenyum manis mengambil kartu kreditnya dan menggesek... sreseettt!

Oh my God, pagi-pagi gene... ketemu sama malaikat bernama Manfred!
Kereta kami pukul 7.59 di peron 7 dengan kereta ICE 928 ke Koeln. Manfred mengantar kami ke sana menunggu kereta, sambil ngobrol dengan ramainya. Dia bercerita bahwa tahun lalu ayahnya meninggal [usia 82], sekarang dia tinggal mengurus ibunya sendirian yang berusia 82 tahun ini. Itulah sebabnya dia tidak bisa liburan ke mana-mana.
Dia kemudian mengeluarkan bungkusan, memberikan kepada saya dengan permintaan agar dikirimkan kepada seorang suster di Semarang sebagai hadiah. Kemudian beberapa lembar euro juga untuk dibelikan rosario buat suster-suster kenalannya...

Rasanya pepatah: “teman lama ibarat anggur tua’... benar juga ya!
Waktu cepat sekali beranjak saat kereta ICE tiba. Manfred yang duluan berlari membawakan barang-barang kami ke kereta. Aku masih mengemasi tas ranselku sebelum seorang bapak menyuruhku segera naik... saya segera lompat ke dalam kereta. Pintu otomatis tertutup, dan kereta meninggalkan stasiun.

Saya dan mbak Ina melongo di dalam. Tak ada yang bisa berbahasa Jerman, sekedar untuk menanyakan benarkah nomor kursi yang kami duduki saat itu. Seorang kondektur perempuan datang memeriksa tiket. Katanya dalam bahasa Inggris, boleh duduk bebas. Mungkin karena kereta menempuh jarak yang tidak terlalu jauh sehingga tidak perlu nomor kursi.

Sekarang kami dapat duduk menikmati pemandangan di luar jendela. Rasanya seperti mimpi, demikian saya dan mbak Ina berulang kali katakan... daerah pesisir Sungai Rhein dan bukit-bukitnya indah sekali. Cahaya matahari menerobos dengan teriknya. Pemandangan di luar tak dapat ditangkap dengan kamera yang kami bawa karena kereta melaju dengan cepat.


Pukul 10 pagi kami tiba di Koeln Hauptbahnhof alias stasiun utama Koeln.
Selamat datang di tujuan! Kereta kami mendarat di lantai atas stasiun Koeln Hbf, jadi kami turun untuk mencari informasi WYD. Ramai kios-kios di bawah yang menjajakan makanan, sedap euy... ada sosis aneka macam, sandwich, burger, es krim, keju... nggak salah nih mendarat di dongeng Hansel and Gretel? Hehehe...
Saat mendekati pintu utama stasiun yang terbuat dari kaca, kepalaku mendongak melongo sesaat menatap bangunan raksasa yang terlihat di luar, sepertinya ada T-Rex berdiri di luar! Bangunan Katedral Koeln yang disebut Dom ada di sana, persis di samping stasiun! Wow, indahnya... ini saat kamera beraksi!


Setelah itu baru kulihat ada Info Point WYD di lapangan Dom. Di sebelahnya berdiri menara air Rhein Energie untuk minum para peziarah. Kami langsung bertanya di Info Point mengenai apa yang harus kami perbuat sebagai volunteer yang baru tiba di Koeln. Beberapa volunteer juga ramai lalu lalang.

Kami berkenalan dengan volunteer dari Malaysia, dia menjelaskan bahwa kami harus ke Koeln Messe untuk registrasi. Katanya dia sudah beberapa hari lalu tiba di Koeln. Selain itu ada dua gadis manis dari Paraguay, segara kami akrab mengobrol. Membawa semacam pipa dan mangkok dari tembaga, sesekali dihirup sambil senyum-senyum. Penasaran saya tanya: apa itu? Mereka menjelaskan bahwa itu adalah “Tedede”, teh khas Paraguay. Dengan senyum manis mereka menawarkan saya untuk mencoba... tapi saya menolak. [kuatir ketagihan... hehehe]. Mbak Ina yang sempat mencoba. Rasanya seperti mint ya? Kata mereka, setiap kali airnya habis, mereka tuangkan air hangat dari termos yang selalu dibawa-bawa.

Saat kami berpisah, keduanya berpelukan dengan Mbak Ina dan saling ciuman pipi. Kemudian... alamak! Tiba giliranku! Kalian jangan membayangkan betapa groginya daku dicium di pipi oleh dua cewek manis yang jauh-jauh datang dari Paraguay. Apalagi pakai bunyi lagiii... cup... cup... ajinomoto. [mbak Ina, aku minta dikirimi alamat e-mail keduanya dong!]

Makan siang kami: sepotong pizza yang dijual 2 euro. Jadi tambah sedap lagi karena mbak Ina membawa sambal sachet dari Indo. What a perfect lunch.

Kami sedang menunggu jam 13.18, saat kereta dari Stuttgart datang membawa seorang anggota kelompok kami. Namanya Agnes. Sama sekali kami belum pernah bertemu langsung. Hanya melalui mailinglist dan e-mail serta Yahoo Messenger, kami berkenalan. Melalui SMS dia memberitahukan kedatangan keretanya. Thanks for the tech!

Jadi kami kembali ke atas, menunggu di peron 2 d-e. Saat duduk bengong di sana, ada sepasang pemuda-pemudi dari Costa Rica yang juga baru tiba di Koeln. Namanya Alex, yang cewek saya lupa namanya... karena si Alex membawa stiker official WYD dari Costa Rica dan menuliskan namnya di belakang. Si cewek itu Cuma duduk kecapean, barang bawaannya banyak sekali, di antaranya koper besar yang ampun-ampunan beratnya... kusangka dia mau pindahan rumah ke Koeln, ya.

Kereta Agnes akhirnya tiba juga. Aku ditugaskan untuk mencarinya di antara penumpang yang baru turun di peron. Katanya dia memakai jaket coklat dan menenteng tas. Rasanya hampir semua manusia di sini menenteng tas deh!
Sudah sampai di ujung kereta, aku balik lagi... dan astaga! Dia lebih dulu mengenaliku: “Toni ya...”

Kujawab: “Agnes ya...” aku lupa apakah berpelukan dengannya waktu pertama kali bertemu, yang jelas waktu berpisah di Roma kami berpelukan... [ihh, detil amat ya memori gue!]. Agnes termasuk mahluk imut dan lincah. Masak dengan ukuran tubuh kecil begitu dia bisa membawa tas seukuran badannya... hehehe.

Misi kami menurut rencana sebelumnya, pertama kali tiba di stasiun segera ke counter Deutsche Bahn [DB] buat beli tiket pasca WYD: Koeln-Paris-Lourdes-Roma. Tas-tas dijaga oleh Mbak Ina dan kedua teman Costa Rica. Saya dan Agnes turun ke lantai bawah.
Pelayanan reservasi tiketnya tidak terlalu rumit, Agnes jago berbahasa Jerman, jadi dia yang ngomong ke petugasnya. Aku yang menyebutkan schedule yang telah dikonsepkan.

Masalah baru muncul ketika mau membeli tiket ke stasiun Koeln Messe untuk registrasi volunteer. Mesin tiket otomatnya pakai touch screen. Ribet sekali... beberapa kali di coba tidak berhasil. Sampai kami menyadari bahwa pembelian tiket dengan mesin ini hanya bisa dengan kartu langganan DB. Pantesan!

Kami ke mesin di belakang counter DB, pakai koin. Kemudian tiketnya keluar. Inilah tiket kereta lokal satu-satunya yang kami beli selama di Koeln. Karena sesudah registrasi kami mendapat kartu pengenal yang sekaligus berfungsi sebagai tiket kereta gratis [bahkan sudah kami coba pakai sampai ke Belanda! Kisahnya menyusul...]. Dan jarak dari Koeln Hbf ke Koeln Messe ternyata cuma satu stasiun, melintasi rel di atas Sungai Rhein, kami langsung tiba.

Koeln Messe ibarat tempat PRJ Kemayorannya kota Koeln. Tempat ini dipakai sebagai salah satu pusat aktivitas volunteer WYD: registrasi, nginap, logistik. Disediakan toilet-toilet mobile, didingnya terbuat dari bahan plastik bertuliskan “Dixi”.
Perjumpaan pertamaku dengan Dixi terjadi di Koeln Messe dan sungguh berkesan. Aku lari ke toilet dan kaget saat melihat betapa simpelnya sarana ini. Ada tempat untuk pipis berdiri [laki tentu saja] dan duduk, dan di bawahnya terdapat bak berisi cairan kimia berwarna biru. Tanpa air, hanya tissu doang yang disediakan. blue dixi, dari sinilah kami akan jadi akrab selama beberapa hari ke depan.

Akhirnya tiba juga di blok tempat registrasi. Antrian panjang para relawan seperti mengular. Ada sekitar 500 meter. Hari sudah sore. Beberapa relawan yang bertugas membagikan makanan bagi yang baru tiba dalam antrian. Roti pretzel bentuknya unik, seperti gelang, rasanya alot, tapi isinya mentega butter. Ada juga pisang, dan air minum.

Waktu minum dari botol pertama, aku sempat kaget. Rasa airnya kok lain, mirip soda... ya ampun, carbonated water! alias air rasa soda. Tapi karena capek dan kehausan, ditenggak saja.

Tahu nggak saat ngantri itu, dua cewek dari Paraguay tadi nggak jauh-jauh amat dari tempat kami, sehingga kami dapat ber-hai-hai kembali... saat tiba di ujung antrian, depan pintu masuk sebuah hall rasanya lega sekali.
Satu per satu dilayani oleh relawan yang bertugas. Kami masing-masing mendapat sebuah ransel [lagi!], jaket, kaos, buku panduan, id pengenal, dan kupon-kupon makan selama acara.

Karena capek, kami duduk-duduk dulu di dalam. Ada makanan hangat dalam dus yang dibagikan: pasta masak brokoli ala Jerman. Kami sudah terpisah dengan Alex dan cewek tadi. Namun, mendadak Alex muncul lagi dan meminta pada Agnes, kalo bisa dia mau pinjam satu sleeping bag kami...

Oh ya, ada yang sempat terlewati, waktu di KLIA sleeping bag mbak Ina tertinggal di depan counter internet Samsung. Sebelum pesawat terbang ke Frankfurt, melalui sms, saya minta Agnes belikan satu sleeping bag buat mbak Ina. Ntar uangnya diganti. Si Alex mungkin menyangka itu sleeping bag lebih. Setelah kami jelaskan bahwa kami masing-masing hanya punya satu, akhirnya dia mau mengerti juga.

Agnes punya kelompok relawan berbeda dengan kelompok saya dan mbak Ina. Malam itu dia harus segera menemui ketua kelompoknya. Malam? Sudah jam 20 begini, matahari masih bersinar terang di luar... Kami kembali ke stasiun Messe. Ada beberapa kali kami musti bolak-balik naik turun tangga di Messe dengan bawaan 3 ransel berat, aku malas menghitungnya. Mbak Ina bilang Florian Jung, ketua kelompok kami ada di Messe. Sehingga dia pergi mencarinya. Aku duduk di tepi jalan. Mengamati relawan-relawan yang baru datang. Makin malam jumlahnya makin bertambah banyak, dan katanya antrian
di dalam sudah 3 belokan, sekitar 1 kilometer? Wow.

Setelah yakin bahwa Florian Jung tak ada di Messe, kami naik tangga stasiun kembali. Menunggu kereta ke Chorweiler. Kami nginap di Fuhlinger See. Tiba di Chorweiler sudah pukul 21 lewat, hari sudah gelap. Ada beberapa relawan [dapat dikenali dari seragamnya] yang juga menunggu bus ke Fuhlinger See. Kami ikut saja.

Fuhlinger See [arti harafiahnya: Danau Fuhlinger] adalah tempat kemping di tepi danau. Lokasinya di pinggiran kota Koeln, penuh dengan pepohonan dan padang rumput. Kami mendaftar dulu sebelum diberitahu oleh relawan yang melayani: kamar nomor berapa yang akan kami tempati.

Badan sudah penat dan pingin istirahat. Kami diberitahu tempat kami di Markus F25. Jadi kami menuju ke sana dalam kegelapan malam... dan amboi, kamar kami tepat di pinggir danau. Kebayang nggak nginap di kamar hotel berbintang lima?

Kamar kami lebih hebat lagi, di ‘hotel’ berbintang-bintang. Coba tengadah ke langit, hitung ada berapa banyak bintang? Hehehe... tenda kemping kami muat berdua. Untunglah aku bawa senter, sehingga ada penerang di ‘kamar’. Mbak Ina langsung tergeletak tidur setelah menyiapkan sleeping bag barunya...

Aku masih mengatur-atur barang bawaan, dan menyesali matras-ku yang ketinggalan di taksi blue bird di Jakarta. Seharian ini belum mandi, seingatku terakhir kali mandi di Jakarta. Alas tidur cuma terpal tenda, posisinya miring ke arah danau lagi... sungguh pengalaman tak terlupakan.
Atap tenda terasa basah oleh embun.

Aku mulai mencoba membiasakan diri dengan situasi darurat. Sayangnya, malam itu, gangguan muncul dari perutku... something trouble with my stomach. Aku bawa senter ke luar, menuju ke areal yang penuh dengan kotak-kotak Dixi. Dixi, I love you... hehehe.

Ada beberapa kali aku ke Dixi, sebelum obat Diapet bekerja baik. Mungkin gara-gara air bersoda itu ya? Atau karena jam tubuh dengan makan yang kacau di sini. Hitung-hitung jam 12 malam di sini, sesungguhnya sudah jam 6 pagi di Indo.

Ada waktu yang lebih yang diberikan semalam di pesawat, dan sekarang ada waktu yang harus diambil dalam kegiatan hari pertama yang melelahkan di Koeln. What a perfect day.

Twinkle, twinkle little stars.... rasanya aku melihat bintang-bintang dalam tidurku.

No comments: