17 Agustus 2005
It must be a sunny day. No rain. What a day... but I missed one of our mates: Mariana. Nobody knew where she was after the Opening Ceremony of World Youth Day. So, last night only me and mbak Ina slept in our nice and comfort room.
[Eh, sorry, gua kalo lagi mabok suka begini nih... ngomongan gak jelas]
Sarapan pagi itu: roti dan Tuna Venezia... so special, karena tunanya jauh-jauh datang dalam kemasan kaleng ke Koeln. Tunanya nggak sendiri, karena ditemani salad sayur, sehingga mereka tampak berjejal dalam kaleng kecil itu. Trims ya, tuna! :)
Kami musti berangkat ke stasiun utama Koeln, karena ada janji dengan Guntur dan Donna di sana. Mereka datang dari Bonn, dan kami bertugas di Universitas Koeln tempat acara musik piknik digelar. Stasiun sudah ramai, aku berjalan ke arah Dom. Ada beberapa atraksi digelar spontan, misalnya rombongan peziarah dari Afrika. Ramai sekali mereka bernyanyi, menari diiringi tabuhan gendang dan lambaian bendera.
Tiba-tiba ada yang menggamitku. Eh, si Guntur sudah muncul. Tergesa-gesa kami turun ke S Bahn [jalur kereta bawah stasiun] menuju ke Neumarkt, kuatir telat. Dari situ kami naik kereta U1 ke arah UniversitaatStrasse. Kampus Universitas Koeln ini mirip UI Depok, ada danau dan areanya luas sekali. Beberapa angsa berenang di airnya yang jernih. Padang rumputnya menghijau luas.
Kami bertemu dengan Jung dan teman-teman dari Fuhlinger See yang sudah berkumpul di sana. Kata Jung belum ada kegiatan pagi itu hingga jam lima sore.
Akhirnya kami kembali ke stasiun. Di jalan, Sandra memberitahukan kabar buruk ini: Bruder Roger pendiri komunitas Taize dikabarkan tewas semalam. Beliau ditikam dari belakang oleh seorang perempuan peziarah dari Romania.
What??? Bruder Roger itu? Yep, sahut Sandra datar.
Kami terkejut bukan kepalang... lagu-lagu Taize begitu akrab dengan telinga kaum muda dan dipakai pada beberapa bagian perayaan WYD. Estelle bilang bahwa Taize letaknya beberapa mil dari Paris. Beberapa poster Bruder Roger tampak terpampang di dinding Info Point. Ini tentu ungkapan dukacita beberapa peserta WYD.
Kami melanjutkan perjalanan ke Messe dengan berjalan kaki di sepanjang sungai Rhein. Ada sebuah perahu besar KSHG, semacam perkumpulan mahasiswa katolik di Jerman, yang sedang tertambat di tepi sungai. Kami mampir dan masuk ke dalam perahu. Ada kafe di dalam. Kami duduk ngobrol sambil memandang sungai dari jendela.
Coklat panasnya sedap, sekalipun harganya 1 euro. Kemudian kami ke anjungan perahu. Duduk-duduk berjemur di bawah mentari yang bersinar terik. Dari kejauhan terdengar lagu Taize sedang dinyanyikan di Messe...
Sajak ini langsung terlahir di sana:
ingatkah dikau, kawan
di tepi sungai Rhein
kita duduk termangu
ditemani secangkir coklat panas
sambil mengingat-ingat Tuhan
nyanyikan lagu
harapkan perdamaian
di tingkap rumah-rumah kecil
yang berderet tampak serupa
dengan pintu dan cerobong asap
dan selipan bunga di jendela
kita mencari jejak
pada peta yang belum pernah disentuh
adakah rumput-rumput basah
akan kauinjak
saat menempuh jarak ke tenda
seperti burung kembali ke sarang?
Kami meninggalkan perahu KSHG, dan terlihat beberapa stand jurnalis digelar di sepanjang jalan. Tampaknya ada beberapa stasiun tv dan radio mengadakan peliputan live kegiatan WYD. Ada teman yang hendak diwawancarai oleh wartawan, namun Sandra mengingatkan bahwa karena kami sedang mengenakan seragam volunteer, maka kami tidak diperbolehkan memberikan informasi apa pun kepada pers.
Tiba di Hall Messe terlihat antrian untuk makan siang yang penuh berjubel. Donna dan Guntur kemudian mengajak saya dan mbak Ina untuk berangkat ke rumah Donna di Bonn. “kita makan siang di Bonn yuk!”
“nasinya cukup nggak?”
“gampanglah itu... kita masak-masak di rumahku”, jawab Donna dengan logat Bataknya.
Maka kami pun balik ke stasiun Koeln Hbf, untuk menumpang kereta ke arah Bonn. Di stasiun kami berpapasan dengan rombongan yang dengan serunya bernyanyi-nyanyi: “Tujuh belas Agustus tahun ampat limaaa....”, sambil mengibar-ngibarkan bendera merah putih.
Ohlala... rombongan anak-anak Indonesia mahasiswa Berlin, sedang merayakan tujuhbelasan di stasiun Koeln dengan ramainya. Setelah ‘upacara’ kecil-kecilan alias ngobrol dengan mereka, kami pun melanjutkan perjalanan.
Ada kabar yang saya dengar bahwa mahasiswa Indo di Berlin terkesan rada ‘som-se’, katanya mereka jarang mau negur atau nyapa duluan bila ketemu dengan mahluk Indo. Apa benul? [benar dan betul?] ahh, itu sih gosip... karena perjumpaan kami di stasiun siang itu akrab sekali. Merdeka!
Kereta ke arah Bonn tiba jam 13. Keretanya agak beda dengan kereta yang sering kami tumpangi. Yang ini mirip kereta tua, duduknya saling berhadapan. Tapi asyiknya ada sandaran kepala di samping kursi. Jadinya aku bisa bobok di jalan, sesudah ngobrol dengan Chris Milas, teman dari Michigan yang mau ke Bonn juga.
Chris ini fasih menyebutkan beberapa istilah seperti: sate, ikan, sapi. Jenis-jenis ikan dalam bahasa Indonesia juga disebutnya lancar. Rupanya aneka makanan tadi dikenalnya dari komunitas Indonesia di Michigan, AS. Pacarnya, cewek dari Indo, suka ngajak dia makan masakan Indo di sana... tapi, so sad but true, dia kemudian ditinggal sama pacarnya ini... hik hik hik... makanya mungkin ini yang makin membuat dia hapal dengan nama masakan Indo.
Kami tiba di stasiun utama Bonn [Bonn Hbf] dan mengantar Chris ke bus yang dipenuhi dengan rombongan Indonesia. Tujuan mereka kebetulan sama? Kebetulan?? Kok bisa kebetulan ya... Ya, semoga Chris dapat melupakan kenangan sedih dengan pacarnya itu.
Kami lanjutkan perjalanan naik kereta ke stasiun Hersel. Menuju ke rumah Donna! Guntur cerita lucu di sepanjang jalan, kisah tentang tukang becak yang karena kurang bayarannya nggak mau pakai rem... ramai sekali deh. Orang-orang di gerbong mungkin pada takjub dengan keceriaan kami. Maklum Guntur arek Surabaya, Donna dari Batak, mbak Ina dari Jakarta, dan saya dari nowhere... hehehe. Kebayang kan kalo lagi ngobrol. Mirip rujak cingur! Sedap.
Tiba di Hersel, kami berjalan ke apartemen Donna. Saya dan Guntur diminta pergi belanja ayam dan sayur ke Aldi supermarket. Supermarketnya tidak jauh dari rumah Donna. Sepanjang jalan yang kami lalui sangat asri dan sepi. Tidak banyak kendaraan lalu lalang. Supermarket itu juga tidak ramai. Saya langsung ke rak sayur, buah dan makanan beku untuk memerhatikan benda-benda ajaib. Guntur bingung saat memilih chicken wings dalam kemasan atau chicken karage. Akhirnya keduanya dibawa.
Brokoli hijau nggak ada, diganti dengan kembang kol putih. Terus, buahnya apa?
Ada buah yang menarik. Naktarine, semacam plum. Maka kami ambil satu kotak. Tiba di apatemen Donna, saya lebih takjub lagi. Dapurnya rapi sekali, dua celengan babi ditaruh di jendela dapur. Di luar pemandangan pepohonan. Celengan babi itu, kata Donna, bila sudah penuh, isinya banyak sekali koin euro... bisa dipakai buat liburan ke Indonesia. Makanya dia minta dibelikan celengan babi gemuk sama suaminya.
Donna dan mbak Ina masak di dapur. Aku duduk di teras, menikmati pemandangan kebun tetangga. Pemanggang BBQ sedang dipanaskan. Ayam-ayam karage ditaruh di atasnya.
Menu makan siang kami: nasi panas, ayam bakar karage, tumis kol sewajan, plus sambal Indofood. Rasa-rasanya kami sedang makan siang di Indonesia... ramai dan sedap sekali! Hehehe. Bayangkan saja, nasinya sampai ludes sebakul.
“trus, suamimu makan apa nanti, Donna?” tanya mbak Ina.
“tak usah kuatirlah... dia bisa masak nasi sendiri”, jawab Donna.
“tau nggak, dia itu biasa beli roti, carinya roti yang sedikit murah... aku kan maunya roti yang biarpun sedikit mahal, tapi bisa diiris tidak hancur... eeh, pas rotinya dipotong hancur, kubilang baru rasa kamu...”, cerita Donna dengan logat Batak yang kental mengenai kebiasaan suaminya yang Jerman itu.
Setelah menikmati naktarine [yang sedikit kecut namun manis dan berair] dan ngobrol, kami mengagumi isi kamarnya yang di dindingnya terdapat gambar yang indah... “wah, kelihatan seperti kamar pengantin niih... rapi sekali”, ujarku. Mba Ina pun juga setuju.
Pukul 16.15 kami meninggalkan Hersel, kembali ke Neumarkt yang cukup jauh dari Bonn. Di Neumarkt, kami bertemu dengan seorang ibu tua dari Indonesia yang sedang menunggu kereta juga. Namanya Ibu Marta. Beliau seorang perawat yang sudah lama bekerja di Jerman. Katanya, beliau baru saja pulang berenang. Ada sebuah tas keranjang anyaman rotan yang dibawa dengan handuk. Waduh, sedap sekali bisa menikmati masa tua seperti ini ya...
Tiba di UniversitaatStr, saya berpapasan dengan teman Perancis.
“kalian kemana saja seharian ini?”
“tadi kami ke Ursulinen, mengambil pakaian yang dicuci kemarin”, kata Fulques menunjukkan tas bawaannya. “sudah makan?” tanyaku.
“kami makan di McD, masing-masing 6 euro...”, katanya.
“wow, tentu itu makan siang yang asik”. Tapi dalam hati kuakui bahwa makan siang kami tadi lebih asyik lagi...
Saat berkumpul dengan teman-teman di sana, Sandra memberitahu bahwa besok kami berkumpul di depan tenda Jung untuk persiapan acara di Marienfeld. Masing-masing teman kuperhatikan agak lesu sore itu. Rupanya, teman-teman seharian ini dongkol, instruksi dari Jung tidak jelas mengenai kegiatan musik piknik. Sejak pagi mereka bangun [kabarnya semalam mereka baru pulang ke Fuhlinger See dari Dusseldorf sudah larut malam], berangkat ke UniversitaatStr dan di sini mereka duduk bengong saja.
Saya coba menghibur Melitta dan teman-teman. Di seberang lapangan ada pembagian kue-kue dalam kotak besar dan dus-dus susu coklat. Kotak kue kubuka, isinya beberapa macam kue bolu...
“Ooww, this is my mom’s cooking! It’s very delicious. Please, take it.”
Hanya beberapa teman yang mau mengambil kue yang kutawarkan. Mereka tentu mangkel dengan apa yang terjadi sore itu, selain bahwa rasa kue bolunya memang kurang meyakinkan. Mungkin karena dimasak massal untuk ratusan ribu peserta WYD, ya?
Akhirnya kami berpamitan. Lapangan Universitas di penuhi dengan kaum muda yang sedang bermain, duduk-duduk, ataupun berpacaran. Saya mampir ke kotak Dixi sebentar. Begitu pun Donna. Keluar dari Dixi, kupikir mereka sudah mendahului pergi ke stasiun. Aku pun segera ke stasiun... eh, tiba di sana, mereka tidak ada.
Aku balik ke dalam kampus. Ya ampun, kami berselisih jalan rupanya. Si Donna tadi malah mengabsen setiap kotak Dixi dengan menyebut namaku. Dipikirnya aku masih ada di sana... hehehe.
Tiba di stasiun, kami menunggu Agnes. Nah, terjadi lagi selisih jalan...
Agnes beritahu melalui sms bahwa dia sudah tiba di UniversitaatStr. Tapi mungkin di stasiun lain di sekitar kampus yang luas ini. Padahal kami tadi melalui AachenerStr. Cukup lama menunggu di stasiun, sebelum kami memutuskan untuk berangkat kembali ke TrimbornStr. Mau pulang. Armelia katanya lagi masak ayam goreng dan nasi kuning...
Jam 20 kami tiba di rumah. Dan benarlah, Armel lagi masak ayam goreng. Hari apa sih hari ini? Rasanya kami pesta makan nasi sepanjang hari ini... oh ya, proklamasi kemerdekaan!
Sekalipun seharian ini mirip orang nyasar, “nowhere to go”, tapi yang jelas, makanan hari ini sedap, bo. Anggaplah ini karunia. bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa...
Sekali lagi, merdeka, coy!
Wednesday, September 28, 2005
Melamun di Dom 8: nowhere to go
jam 4:11:00 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment