Tuesday, September 27, 2005

Melamun di Dom 6: stairway to heaven

15 Agustus 2005

dom

tembok kusam berdiri gagah
dengan menara kembar runcing
menggores langit
“mari kita bunyikan loncengnya”,
katamu kemarin

bila nafasmu panjang
509 anak tangga tentu dapat
kaudaki sampai ke puncaknya

jangan coba berhenti
sebelum kau pandang surga
dan bintang yang pernah disaksikan
para majus itu

reliefnya akan bercerita
sejarah bangsa ini dan dunia
waktu menyeberangi sungai Rhein
laksana Musa dulu
melintasi Laut Merah

Dom,
tempat peziarah menggapai langit,
berdirilah gagah selalu!


Pagi hari hujan turun. Saya suka ke jendela di belakang tempat tidur mbak Ina sewaktu dia ke kamar mandi. Duduk di jendela mengamati pemandangan di luar yang basah.
Sarapan pagi kami: wafel isi vla, sisa bekal makan tadi malam.

Sesudah itu kami bersiap-siap naik kereta ke Fuhlinger See. Rencana pindah dari kemah ke kamar apartemen sudah bulat, karena hari ini adalah hari libur kegiatan relawan. Hari Senin pekan ini, para peserta WYD mulai berdatangan dan registrasi. Besok baru diadakan acara pembukaan.

Di Chorweiler hujan turun deras. Tiba di area Fuhlinger See kami berpapasan dengan tiga teman dari Polandia. Mereka katanya mau ke bank di Koeln untuk ambil zloty [mata uang mereka] buat beli pakaian. Mungkin pakaian-pakaian mereka kebasahan akibat jacuzzi di tenda semalam...

Di tenda makan, ada teman-teman Perancis. Fulques, Estelle dan Edward. Seru sekali obrolan pagi di ruang makan... syukur bahwa Edward sudah segar kembali. Kebetulan aku nggak bawa sendok garpu, buat mengaduk isi gelas dan mengoles roti, Estelle dengan senang hati meminjamkan sendok garpunya. Oh ya, peralatan makan kami sangat istimewa, dibagikan sewaktu registrasi hari pertama dan dipakai sepanjang kegiatan berlangsung. Kelihatannya sendok garpu terbuat dari plastik, namun jangan silap, dari buletin WYD dijelaskan bahwa semua peralatan makan terbuat dari bahan jagung dan dapat mudah hancur [decomposable].

Kami beritahu bahwa hari ini kami akan pindah dari Fuhlinger See. Karena itu kami segera ke kemah dan berkemas-kemas. Teman-teman dari Perancis juga akan ke Koeln, jadi kami berangkat bersama. Fulques membantu membawakan koper mbak Ina yang padat sekali isinya. Estelle bercerita bahwa di Paris, mereka bertiga tinggal berpencar. Edward kuliah di fakultas Biologi. Bila musim liburan mereka ke Toulon dan bermain ski di sana.

Tiba di stasiun Hansaring, kami berganti kereta ke Koeln.
Perutku mulai ada gangguan lagi. My stomach is not delicious, begitu kata teman saya dulu di India... hehehe. Sehingga aku harus turun di Koeln Hbf bersama ketiga teman Perancis. Mbak Ina sendiri lanjut ke Trimbornstrasse.

Tujuanku: ke toilet McDonald di lantai bawah. Hehehe... Edward sempat menyarankan untuk ke apotek di depan McD buat beli obat diare. Tapi aku justru jadi bingung waktu penjualnya ngomong pakai bahasa Jerman, ntar keliru diberi obat bisa payah deh... Jadi aku memutuskan ke McD saja. Ada penjaga toilet dengan ramah mengatakan bahwa toilet lowong, bahkan mau mengantarku masuk... Ranselku yang besar itu saja yang kubawa masuk... Thanks God. Masalah adaptasi perutku rupanya belum selesai, namun setidaknya McD cukup menolong.

Setelah itu baru aku lanjutkan naik kereta ke Trimbornstrasse. Acara pindahan rumah berjalan lancar hari itu, meski dengan ‘gangguan’ kecil saja. Setelah menaruh ransel di kamar apartemen, dengan mbak Ina kami naik kereta ke Koeln Messe untuk makan siang. Antrian volunteer yang hendak makan siang di sana ramai sekali. Ada teman dari Filipina yang kocak sekali. Sepanjang antrian dia bercerita lucu... kami tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya.

cookers
Menu makan siang kami: nasi goreng ala India.
Syukurlah, akhirnya ada menu nasi setelah beberapa hari makan pasta aneka variasi. Nasi gorengnya pakai ayam, tapi dengan bumbu kari. Saya perhatikan di dapur umum, para koki cuma menuangkan nasi goreng instan yang dikemas beku ke dalam wajan raksasa. Lalu menutupnya beberapa saat kemudian mengaduk-aduk, sebelum dibagikan ke dus-dus.

dom
Selesai makan siang, saya berangkat ke Dom. Siang itu saya ingin mencoba mendaki anak tangga ke menara Dom. Antrian peziarah yang ingin naik cukup panjang. Karena saya memakai id volunteer, saya minta langsung naik, alias tidak perlu bayar...
Tangganya terbuat dari batu yang melingkar-lingkar ke atas. Ruangan untuk melangkah tidak terlalu lebar, cuma muat buat satu orang. Bila kebetulan berpapasan, yang satu musti merapat ke dinding dulu supaya yang lain bisa lewat. Saya menyanyi-nyanyi lagu Taize buat menghibur diri: “dalam Tuhan aku bersyukur... dengan lagu pujian... Tuhanlah... penyelamat... ku... hhhh... hhh... hhh...” napas sudah mulai terengah-engah di tengah jalan. Musti berhenti dulu... masih berapa lama sampai ke atas ya? Tak ada petunjuk apa pun, selain anak tangga yang berwarna kusam.

Ya Tuhan, semoga aku kuat naik ke atas... ada 509 anak tangga yang harus didaki. Untunglah ada air botol yang baru diisi di tower Rhein Energie tadi. Singkat kata, sampai juga. Ada ruangan berbentuk lingkaran tempat peziarah duduk-duduk kecapekan. Aku duduk dulu di sana dan memperhatikan: masih ada tangga terbuat besi ke puncak menara. Di sini belum ada apa-apa yang bisa dilihat. Maka, pendakian dilanjutkan lagi... akhirnya... tiba jua!


top of the dom
Pemandangan kota Koeln terhampar di luar, langit digelayuti awan mendung. Rumah-rumah dan sungai Rhein terlihat seperti mainan monopoli. Aku mengelilingi puncak menara dan memandang segala penjuru, ada poster ‘Ansichten Christi’ terlihat dari kejauhan. Tentu ukurannya besar, berupa lukisan Thomas yang menyentuh Kristus yang bangkit, sehingga dapat kupandang dari sini.

Sesudah itu, turun tangga... kali ini tentu lebih mudah dan bisa lebih cepat. Sempat mampir di pintu tempat lonceng katedral dibunyikan. Peziarah yang ingin membunyikan lonceng, cukup memasukkan beberapa koin euro, lonceng berdentang dengan kerasnya... Pantas saja, setiap kali lonceng Dom berbunyi saya perhatikan arloji, lho kok nggak tepat waktu? Rupanya itu hasil kerja peziarah.

Saat menjejak bumi kembali, saya masuk ke dalam Dom. Peziarah ramai. Di sayap kanan katedral, ada patung bunda Maria, menurut leaflet Dom, pernah ada mukjizat terjadi. Maka orang ramai-ramai mendekat untuk berdoa. Termasuk saya. Ada seorang pastor Italia yang sedang mendoakan masing-masing peziarah. Di depan saya ada seorang gadis. Dia ditanya oleh pastor: “where are you from?” Dia jawab: “Indonesia”.
Olala... aku langsung menggamitnya. “Dari Indonesia, ya?”

Pastor itu memandang kami berdua dan bertanya: “Are you both a couple?”
Langsung kami menjawab: “No. we’ve just met here...”

Pastor itu menumpangkan tangan dan berdoa dalam bahasa Italia. Lalu kami beranjak pergi dan mengobrol di tempat lilin. Gadis itu namanya Lisa, dia dosen Fakultas Psikologi Atma Jaya Jakarta. Dia berangkat ke Koeln dengan Thai Airways. Katanya, sepanjang penerbangan ada empat kali disediakan makan... gile bener.

Kami keluar Dom, untuk menghabiskan waktu sebelum misa jam 18.30. Jadi aku ke menara air untuk mengisi botol minumku. Lisa justru memberiku sebotol jus apel, katanya dia nggak doyan karena rasa sodanya. Kami berjalan ke Hohestrasse. Sewaktu melihat pengemis di pinggir jalan, Lisa berhenti dan membuka dompetnya. Pengemis itu diberikan duit euro. Ya ampun, kataku... pengemis di Eropa sih sungguh-sungguh dijamin negara, beda dengan di Indonesia. Baru beberapa langkah, Lisa berhenti. Ada kartu-kartu doa Mother Teresa di tangannya. Dia kembali ke pengemis tadi dan memberikan satu kartu...

Aku tersenyum-senyum... ajaib juga bisa ketemu malaikat macam ini di Koeln.
Kami ke Galeria Kaufhof. Di lantai dasar Galeria ada supermarket. Banyak sekali makanan enak dijual di sana, termasuk aneka minuman keras. Lisa kebingungan mau belikan apa buat koleganya di kampus. Hampir dibelinya sebotol minuman, cuma kuingatkan kalo botolnya pecah di jalan bisa berabe. Akhirnya kami ke counter cokelat. Ada bermacam-macam cokelat dengan harga berbeda-beda. Lisa memborong cokelat.

Dari rak cokelat, sayup-sayup aku dengar lagu yang diputar dalam supermarket, lagu “Home” Michael Buble yang suka kudengar waktu di Indonesia:

Another summer day
Has come and gone away
In Paris and Rome
But I wanna go home
Mmmmmmmm

Maybe surrounded by
A million people I
Still feel all alone
I just wanna go home
Oh I miss you, you know

And I’ve been keeping all the letters that I wrote to you
Each one a line or two
“I’m fine baby, how are you?”
Well I would send them but I know that it’s just not enough
My words were cold and flat
And you deserve more than that

Another aeroplane
Another sunny place
I’m lucky I know
But I wanna go home
Mmmm, I’ve got to go home

Let me go home
I’m just too far from where you are
I wanna come home

And I feel just like I’m living someone else’s life
It’s like I just stepped outside
When everything was going right
And I know just why you could not
Come along with me
But this was not your dream
But you always believed in me

Another winter day has come
And gone away
And even Paris and Rome
And I wanna go home
Let me go home

And I’m surrounded by
A million people I
Still feel alone
Oh, let me go home
Oh, I miss you, you know

Let me go home
I’ve had my run
Baby, I’m done
I gotta go home
Let me go home
It will all be allright
I’ll be home tonight
I’m coming back home...


Rasanya aneh juga, lagu itu bisa kudengarkan di sini... tapi coba deh dengarkan dentingan gitar dan suara Michael Buble di tanah asing. Wuih... jadi melamun nih!
Sesudah itu kami kembali ke Hohestrasse, mampir di KFC. Lagi ada promo: 2 burger, jagung, dan pepsi cuma 3,99 euro. Kami ngobrol di sana. Lisa bilang dia musti segera balik ke kampus selesai acara, karena ada ujian skripsi. Mahasiswa sudah menantinya... what a good lecturer, ya?

Menjelang 18.30 kami berjalan ke Dom. Hari itu tepat perayaan Maria Assumpta [Maria Diangkat ke Surga]. Waktu aku sebut Maria Assumpta ke Lisa, ada cewek Spanyol di Hohestrasse langsung menoleh. Temannya segera memanggil: Maria Assumpta! Olala... namanya kebetulan sama.

Dom sudah terisi banyak peziarah yang ikut misa. Kami tidak kebagian bangku, jadi berdiri saja. Waktu kardinal lewat, aku mengikutinya untuk memotret. Saat misa dimulai, aku duduk di lantai. Mungkin karena itu, perutku mules lagi... hehehe.
Aku segera keluar, berlari ke McD. Dan berdoa, agar penjaga toiletnya tidak mengenaliku. Karena aku tidak memberinya duit setiap kali keluar toilet... hehehe. Saat hendak balik ke Dom, aku berpapasan dengan Jung di jalan. Dia senang sekali melihatku, tapi hidungnya meler sepertinya pilek. Dia bilang bahwa ada pesta sandwich gratis di Heumarkt. Aku disuruh ke sana...

Karena tidak tahu jalan, aku ke Info Point di belakang Dom untuk bertanya. Di sana ketemu teman-teman Perancis! Aku memberitahukan mengenai free sandwich dan kami beramai-ramai menuju ke Heumarkt, tempat yang belum pernah kami datangi. Hujan lebat turun. Untung aku pakai jaket volunteer yang cukup menolong dari hujan.

Setelah beberapa kali hampir nyasar, sampai juga di Heumarkt. Ada konser WYD digelar di alun-alun. Pengunjung cukup ramai. Kami ke pos logistik menanyakan di mana sandwich disediakan, mereka justru memberikan dos makan malam... “bukan, bukan itu... sandwich!” Dia menunjuk ke arah belakang. Kami mengikutinya, sampai tersasar ke arah jejeran Dixi... akhirnya kami coba mencari sendiri. Di emperan toko yang dipenuhi kios Kolsch, kami bertemu dengan Hubert, Julia dan teman-teman Jerman yang sedang kongkow. Mereka memberitahu arah sandwich, dan benarlah... ada beberapa meja panjang berderet dengan sandwich berlapis-lapis disusun memanjang.

Kami langsung mengambil beberapa lapis sandwich, dan membawanya ke tempat Hubert. Aku menikmati sandwich dengan jus apel dari Lisa. Pelayan datang membawa 1 meter kolsch. Ya astaga, wadah gelas bir terbuat dari kayu yang panjangnya satu meter, di atasnya ditaruh gelas-gelas kolsch.

Hubert memamerkan kepiawaiannya menyusun tumpukan alas gelas kolsch dan dengan satu hentakan tangan dia dapat menangkap semuanya secara sempurna. Fulques mati-matian mencoba. Saya juga. Tapi tidak pernah berhasil. Fulques yang berhasil dalam permainan itu.

Aku sempat dipaksa minum kolsch, tapi kubilang: ‘haram...’. Fulques yang jago bahasa Arab ketawa dan menjelaskan kepada mereka: haram means it is not permitted by Allah. Tapi bagaimana dengan sandwich tadi yang pakai ham? Itu sih sedap. Hehehe...
Lalu ketika seorang pelayan [perempuan dan manis] datang, masing-masing teman yang ambil gelas kolsch tadi saweran duit 2 euro.

Aku sempat sms ke mbak Ina memberitahukan bahwa di heumarkt sedang ada pesta sandwich gratis, tapi rupanya mereka sedang menikmati pertunjukan konser di tempat lain.

Hari sudah malam, kami harus berpisah. Hubert dan teman-teman balik ke Fuhlinger See, saya balik ke Dom mencari mbak Ina dan Agnes.
Karena tidak bertemu, saya ke stasiun Koeln Hbf. Waduh... manusia membludak di sana. Polisi membuat penghalang supaya tidak semuanya dapat sekaligus masuk ke dalam stasiun. Sempat terjadi dorong mendorong, sebelum saya lolos masuk.
Stasiun Koeln tampaknya sudah disesaki para peziarah WYD. Pertanda bahwa beberapa hari ke depan jubelan manusia dari segala bangsa akan menjadi pemandangan umum di sini. Tiba di peron di lantai atas, segera aku melompat masuk ke dalam kereta ke arah Trimbornstrasse.

Di sana, dengan mbak Ina [yang kemudian menyusul] kami balik ke apartemen. Tiba di apartemen, Armelia memberitahu bahwa kami mendapat tambahan tamu istimewa malam itu: Mariana. Aku disuruh menjemputnya di stasiun Trimbornstrasse.

Mariana adalah teman mbak Ina di Jakarta. Anak ini cukup unik, dia termasuk anggota ‘jejak petualang’ alias tukang jalan sendiri. Dari Jakarta, dia berangkat mendekat hari H dengan tiket yang belum jelas. Ajaibnya, kelompok volunteernya juga belum jelas. Ketika mendengar bahwa Mariana sudah tiba, aku menyebutnya mukjizat.
Apalagi waktu bertemu dengan Mariana langsung... hehehe. Orangnya kecil, langsing... logatnya sangat totok [Mandarin]. Dia suka bilang: “kamu orang itu ya....” hehehe, kami suka mengingat-ingat cara Mariana ngomong dan tertawa setelah meninggalkan Koeln.

Armel menurunkan satu lagi kasur springbed.

Mbak Ina, Mariana, dan saya tidur sekamar malam itu... di kasur kami masing-masing, tentu saja.

No comments: