Thursday, December 16, 1999

Sang Humanis, Bukanlah Superhero [Soe Hok Gie, 1942-1969]

Suatu hari Soe Hok Gie melihat seekor monyet diikat di pinggir jalan, karena kasihan melihat kondisi monyet yang sedang sakit ia mengeluarkan beberapa keping uang dari sakunya. Monyet itu dibeli dan dirawat hingga sehat kembali. Namun setiap kali hendak pergi kuliah, tugas perawatan diserahkan kepada sang kakak dengan pesan singkat, “Rief, jangan lupa kasih makan monyetku”.
Sialnya, monyet itu lebih bersahabat dengan Hok Gie daripada kakaknya. Demikian sepenggal pengalaman dikisahkan Arief Budiman, sang kakak, dalam acara Diskusi Sehari “Mengenang Seorang Demonstran: Peringatan 30 Tahun Soe Hok Gie” yang diselenggarakan Iluni FSUI (Ikatan Alumni Fakultas Sastra Universitas Indonesia) dan Mapala UI di kampus Universitas Indonesia, Depok.


Kisah mengenai Soe Hok Gie dengan monyetnya menegaskan gambaran sisi kemanusiaan (humanis) dan keluguan Hok Gie, yang lebih dikenal sebagai pemikir kritis di tahun 1960-an. “Soe Hok Gie dikenal bukan pertama-tama karena ia memimpin demonstrasi, melainkan gerakan moral yang dilakukannya melalui tulisan. Ia berpolitik karena suatu prinsip, namun tidak mau bergabung dengan partai politik mana pun”, kata Arief. Dalam catatan hariannya yang telah diterbitkan oleh LP3ES berjudul “Catatan Seorang Demonstran” (1983) dapat dibaca refleksi sikap moral Hok Gie sebagai intelektual muda terhadap situasi politik zaman itu yang terkesan tanpa kompromi.

Anti-hero
Arief sempat menyatakan keheranannya bahwa setelah 30 tahun nama Soe Hok Gie masih diingat orang padahal periode politiknya cukup singkat, hanya sekitar tiga tahun (1967-1969). Contohnya, jajak pendapat yang dimuat di majalah Tempo no. 36/XXVIII edisi 8-14 November 1999 mengenai siapa yang dapat disebut sebagai pahlawan. Nama Soe Hok Gie tertera di antara deretan nama besar tokoh-tokoh Indonesia. Hok Gie disebut sebagai pahlawan oleh empat persen responden, setingkat dengan nama Wiranto dan Budiman Sujatmiko; namun berada setingkat di atas nama Benny Moerdani dan Ali Moertopo yang memperoleh tiga persen suara.
Terhadap hasil jajak ini, secara bercanda Arief mengungkapkan adanya persaingan sebagai kakak-adik antara dirinya dengan Hok Gie. “Dibandingkan Hok Gie, sebenarnya tulisan saya jumlahnya lumayan lebih banyak. Karena itulah saya merasa iri terhadap hasil jajak pendapat di Tempo”.

Mengenai kepahlawanan, dijelaskan Arief, zaman Suharto (Orde Baru) merupakan zaman “heroisme”, karena begitu banyak bintang anugerah kepahlawanan yang diberikan oleh negara kepada siapa saja yang dianggap “pahlawan”. Padahal yang dibutuhkan oleh masayarakat sesungguhnya “moral leaders” dan “anti-hero”, yakni pemimpin humanis yang tidak perlu dikuburkan di Taman makam Pahlawan.

Mohamad Sobari, peneliti LIPI, mengakui bahwa Hok Gie punya kelebihan yakni keberanian berbicara ketika orang-orang tidak berani dan tidak memiliki akses untuk berbicara. Satu hal yang disayangkan dan dianggap sebagai suatu “kecelakaan” oleh Sobari, Hok Gie sempat menaruh kepercayaan pada tentara untuk membangun institusi demokrasi negara ini. “Apakah ia hendak menyembunyikan rasa takutnya dengan seolah-olah membenturkan kepalanya di tembok dan mengungkapkan harapan absurd pada tentara?" tanya Sobari.

John Maxwell yang turut hadir dalam diskusi ini pernah menyusun disertasi berjudul: “Soe Hok Gie a biography of a young Indonesia intellectual” (Australian National University, 1997) menjelaskan dalam tesisnya bahwa Hok Gie mendukung secara terbuka para perwira senior Angkatan Darat sepanjang akhir 1960-an. Ia berharap bahwa mereka akan membawa Indonesia kepada suatu masyarakat yang adil dan sederajat, tetapi menjelang akhir 1969 semakin jelas baginya bahwa ia telah salah menaruh kepercayaan. Semakin dalam perasaan keterasingan dan keputusasaan Hok Gie, akhirnya timbul suatu sikap acuh terhadap dunia politik Jakarta yang semakin melebarkan jangkauannya. Hal ini yang kemudian membuat ia memilih untuk mengasingkan dirinya di puncak-pucak gunung di Jawa, dimana dia merasakan bisa menyatu dengan alam dan di atas segalanya dia bisa merasa bersih.


Dalam catatan hariannya, Hok Gie mengungkapkan, “Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya”. (LP3ES, 1983, h.221).

Kritis-Militan
Ignas Kleden, pengajar STF Driyarkara, mengaku secara fisik tidak mengenal Hok Gie, tetapi telah membaca tulisan-tulisannya yang waktu itu banyak dimuat di koran (Kompas, Sinar Harapan) sejak masih di kampung dulu. Hok Gie menurutnya mengartikan kebenaran sebagai tindakan yang sesuai dengan hati nuraninya, pembelaan terhadap kaum lemah (istilah yang dipakai Hok Gie: orang-orang kalah), dan kesesuaian kata dengan perbuatan.

Menurut Ignas, wajar bila seorang intelegensia menganggap diri lebih dari anggota masyarakat lainnya, karena pertama-tama ia harus menuntut lebih dari dirinya sendiri. Soe Hok Gie memusuhi sikap hipokrit termasuk dalam hal keberagamaan. Ia pernah menulis: “maaf, saya saya tidak percaya pada 'Tuhan'”. Dalam surat kepada sahabatnya ia berkata: “... dahulu kita melawan revolusi dan kini kita melawan 'Tuhan', jauh lebih sulit sekarang, dan hanya orang-orang yang berani sajalah yang dapat membuka kedok kaum munafik. Seolah-olah hanya mereka sajalah pemilik Tuhan, dan kita semua orang-orang yang tidak tahu apa-apa”. Kalimat itu dilontarkan Hok Gie karena kekesalannya melihat organisasi keagamaan (HMI, PMKRI) waktu itu cenderung ditunggangi motif propaganda politik mahasiswa di kampus UI.

Ignas menyatakan terkesan pada sikap spiritualitas Hok Gie yang disebutnya sebagai examination of conscience (latihan kepekaan hati nurani) dari waktu ke waktu. Menurutnya, orang yang bersikap kritis biasanya tidak militan, demikian pula orang yang bersikap militan biasanya tidak kritis terhadap situasi. Namun Hok Gie memiliki keduanya, sikap kritis yang sekaligus militan.

Dalam buku Mengenang Seorang Demonstran yang diterbitkan oleh Iluni FSUI-Mapala UI, disebutkan bahwa sikap konsisten Hok Gie menempuh jalan sulit serupa dengan Noam Chomsky, intelektual kontemporer terkemuka yang juga pakar linguistik dari Massachusetts Institute of Technology. Seperti halnya Chomsky, Hok Gie cenderung menempatkan diri di sisi orang-orang yang kalah. Misalnya, simpati yang dia perlihatkan kepada keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengalami dehumanisasi.

Sejak lama Soe Hok Gie menaruh perhatian pada pergerakan PKI. Skripsi sarjana mudanya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI yang kemudian dibukukan “Di Bawah Lentera Merah” (Bentang, 1999) menganalisa Sarekat Islam Semarang yang kemudian melahirkan Sarekat Islam Merah, gerakan marxis pertama di negeri ini. Untuk skripsi sarjana penuh di universitas yang sama, ia mengangkat soal pemberontakan PKI di Madiun. Skripsi yang menelaah tragedi kemanusiaan itu telah dibukukan berjudul: “Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan” (Bentang, 1997). Kedua telaah humanistis tersebut sampai sekarang masih termasuk karya terbaik tentang PKI yang pernah dihasilkan peneliti Indonesia.


Apakah Hok Gie seorang komunis? Pertanyaan ini banyak diajukan oleh kaum muda yang sepintas membaca bukunya. Menurut Ignas kleden, bukan persoalan kiri (komunis) atau kanan, yang terutama adalah moral force yang dilakukan Hok Gie. Anak muda yang dipuji Soedjatmoko itu hanyalah seorang cendekiawan humanis.

Kolusi Aktivis PRD
Hendri Kuok, aktivis Partai Rakyat Demokratik, dalam diskusi ini menuturkan pertama kali mengenal nama Soe Hok Gie ketika ia masih duduk di bangku SMA melalui buku “Catatan Seorang Demonstran”: Waktu itu, guru di sekolahnya melarang buku itu dibaca oleh para murid. Setelah melakukan kolusi dengan pustakawan, ia pun dapat membaca buku itu secara sembunyi-sembunyi. Ketika duduk di bangku Perguruan Tinggi dan mulai terjun dalam gerakan mahasiswa, Hendri punya kesempatan yang lebih banyak mendiskusikan siapa Soe Hok Gie dan pemikiran-pemikirannya.
“Catatan Seorang Demonstran” yang diijinkan beredar oleh pemerintah waktu itu bahkan sempat dianggap sebagai 'kitab suci' oleh kawan-kawan aktivis SMID. Bahkan menurut Hendri, ada seorang teman yang sedikit mengalami gangguan jiwa merasa dirinya sebagai reinkarnasi Soe Hok Gie.

Kemudian muncul kesadaran bahwa tindakan mereka justru bertentangan dengan pemikiran Hok Gie. Kultus individu dan dogmatisme tidak ada dalam kamus hidup Hok Gie. Mereka berusaha membuang jauh-jauh pemujaan berlebihan dan mencoba membumikan pemikiran-pemikiranya dalam realitas politik.

Intelektual yang gelisah
Soe Hok Gie, pemuda berperawakan kecil yang menurut sahabat-sahabatnya tidak memiliki ketampanan, dilahirkan tanggal 17 Desember 1942 sebagai putra keempat seorang penulis dan redaktur bernama Soe Lie Piet. Ia tak pernah membayangkan namanya akan dikenang (oleh aktivis angkatan ‘66 dan Mapala UI) apalagi dianggap sebagai super-hero oleh aktivis zaman sekarang. Hok Gie meninggal sebagai intelektual yang gelisah tepat sehari sebelum ulangtahunnya yang ke-27 yang ingin dirayakannya di Puncak Mahameru, Jawa Timur bersama sahabat-sahabatnya. Ia gugur bersama Dhavantari Lubis, rekan anggota Mapala UI karena terjebak gas beracun.

Kuburan Hok Gie sempat dua kali dipindahkan sebelum akhirnya diperabukan. Pertamakali ia dimakamkan di Menteng Pulo berdampingan dengan Dhavantari Lubis sahabatnya. Kemudian jasadnya dipindahkan ke kuburan zaman Belanda di Tanah Abang, karena keluarga Hok Gie terus menerus diganggu oleh pemerasan kecil di Menteng Pulo.

Pada nisan marmer puti terukir lirik lagu rohani kesayangannya: “Nobody knows the troubles I see, nobody knows my sorrow” (Tak seorang pun tahu kesusahan yang kusaksikan, tak seorang pun tahu kepedihaanku). Lirik lagu nostalgia ini juga dicantumkan dalam teks lagu yang disusun Iluni FSUI untuk dinyanyikan pada akhir acara diskusi, antara lain berbunyi:
“Nobody knows the troubles I’ve seen,
nobody knows but Jesus.
Nobody knows the troubles I’ve seen,
glory Halleluya”


Tahun 1975, pemerintah kota Jakarta memindahkan kuburan Tanah Abang untuk tujuan pembangunan. Jasad Hok Gie dikremasikan. Pada hari peringatan ulangtahunnya, abu kremasi dibawa oleh sahabat-sahabatnya dan ditaburkan di tempat yang sering dikunjungi Hok Gie saat ia butuh kedamaian dan kesendirian, yakni lembah Mandalawangi dekat puncak Pangrango, sekitar 90 km selatan Jakarta.

Dalam puisinya berjudul “Mandalawangi-Pangrango” yang ditulis tanggal 19 Juli 1966, Hok Gie berkata:
“Senja itu ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
.....
Aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup”.
*** [Toni Sidjaya]