Saturday, July 30, 2005

es krim italia


gila banget kalimat ini: "An ice cream a day keeps the doctor away" waktu membacanya di situs WantedinRome.com, aku tertawa. membayangkan Forrest Gump lagi ngomong: Life is just like a box of chocolate, you never know what will you get. terus ngiler membayangkan aneka gelato [es krim Italia]. coba lihat tuh gambar es krim ukurannya gila-gilaan gedenya...

ini gara-gara ada teman ngajakin jalan ke Roma. Roma? hmmh... musti reschedule lagi nih rencana perjalanan backpacking besok: Cologne-Paris-Lourdes-Nice-Genoa-Rome ? rute itu mengikuti Eurotrain.

kakiku musti latihan berjalan mulai sekarang. paling tidak ada 3 bahasa musti kukenali: Jerman, Perancis, dan Italiano! :) dan, dompet musti disediakan isinya... lumayan bila es krim italia alias gelato tadi bisa membuat dokter tidak diperlukan lagi dalam hidup ini... hehehe.

yang penting: jalan.
bukankah hidup adalah perjalanan? jangan pernah berhenti, kecuali untuk rehat dan menikmati es krim!

Tuesday, July 26, 2005

ketika pejabat kampanye makan ayam


pekan lalu di tv ada berita menarik. berita apa? anggota dpr dengan tanpa malu-malu dengan lahapnya menyantap ayam... hehehe, gitu aja kok dibilang menarik?
selain karena virus flu burung telah merenggut 3 nyawa di Tangerang dan 2 orang diduga sedang mengidap virus flu burung, rasanya anggota dpr kita tampak gagah berani memamerkan betapa sedapnya nasi dos dengan lauk daging ayam di depan kamera tv.

saat saya menceritakan hal ini pada teman saya, sebut saja namanya Drs. Arief, ia langsung nyelutuk: "waaa... kalau makan ayam sih, memang pejabat doyan! basi, bukan berita!"

saya memandangnya dengan heran. "maksudnya..."

"iyalah, beberapa pejabat kita doyan ayam muda kalau sedang kunjungan dinas..."


oohhh... ayam itu toh yang dimaksudnya. kukira ayam beneran.
dia langsung berkisah bahwa belum lama ini diadakan acara pameran besar di kota ini yang dihadiri para pejabat petinggi daerah. mereka nginap di hotel mewah. lokasi penginapan jadi penuh sesak, bus-bus mewah berjejer di depan hotel siap mengantar tamu-tamu terhormat ini ke tujuan wisata di daerah ini.

nah, malamnya dia ditugaskan mencari ayam lokal oleh si bos.

"dapat?" tanyaku melongo.

"lha iyalah", katanya. cewek putih dari daerah utara.

"berapa?" ya, setelah menawar dengan bapak ayamnya, dapat 800rebu semalam. itupun nyarinya di tempat tertentu yang identik dengan botol dan disko...

lalu dia berkisah dengan riangnya, seolah-olah dia paling tahu soal satu ini. katanya pernah kejadian dia dikirim ke luar negeri ikut suatu kegiatan pelatihan. mereka nginap di hotel, dan suatu malam ada temannya yang kebetulan pejabat juga di suatu daerah terpencil negeri ini bercerita, bahwa ia baru saja menikmati 'ayam lokal'. harganya bila dikurskan, lumayan 1 jutaan lebih.

padahal, katanya, uang saku pelatihan mereka tidak sebanyak itu.

"nah", sekarang wajahnya tidak ceria lagi, "bila melihat pejabat kampanye makan ayam di tv, saya jadi merasa jijik... mereka benar-benar doyan makan ayam sungguhan!"

ahh... nggak semua pejabat begitu dong! Drs. Arief teman saya ini kadang suka telanjur menyamaratakan semua pejabat dengan persepsi negatif.

"bukannya kenapa, mereka suka makan ayam pakai uang negara. coba kalo ada pejabat yang sampai kena flu burung, baru kapok!" tambahnya sengit. aku tak bisa berkata-kata lagi.

Tuesday, July 19, 2005

film GIE jelas bukanlah biografi



film GIE sempat membuat bioskop pol. semalam aku beruntung masih dapat bangku deretan depan. terjepit di antara para remaja yang sibuk ngobrol.

film ini melewati pemanasan di media massa. kontroversi berseliweran: dari tokoh Gie tidak pantas dimainkan oleh Nicholas yang tampan itu, sponsor perusahaan rokok, bahkan isi dari film yang menyederhanakan sosok Soe Hok Gie.

aku penasaran saja. bagaimana Mira Lesmana dan Riri Riza membangkitkan anak muda yang mati muda hampir limapuluh tahun lalu untuk hadir di alam kini. jelas bukan persoalan main-main. setting lokasi dan situasi yang sangat berubah musti dibangun dengan kejelian pada detail yang nyaris sulit ditemukan saat sekarang.

Gie kukenal dari tulisannya. masa kuliah dulu, dia mampu memompakan idealisme dan gelora perjuangan dengan membaca "Catatan Seorang Demonstran". idealisme yang katanya sudah menjadi barang mahal zaman sekarang. dia mahasiswa kritis dan humanis. semua teman yang mengenalnya tentu setuju. itu yang kutangkap dalam Diskusi mengenang 30 tahun kepergian Gie tempo hari. Gie bukanlah superhero.

beberapa hal menarik di film ini adalah lambang-lambang PKI [palu arit] yang ditampilkan seolah menandai era kebebasan yang tengah berhembus saat ini, juga lagu "genjer-genjer" diperdengarkan kepada penonton GIE. saya teringat lagu ini dalam novel Ayu Utami "Larung" dinyanyikan oleh Gerwani, sayang lagu ini tidak disertakan dalam kaset soundtrack GIE... konon bila disertakan, dikuatirkan nanti bisa melejit ke tangga lagu populer di Indonesia! [tapi saya jamin, popularitas "Cucak Rowo" masih lebih tinggi dibandingkan lagu kuno genjer-genjer... :)]


mau lihat wajah si Bung? waduh, si Bung Karno tampil dengan gagahnya pakai kaca mata hitam dan tak lupa tongkat komandonya. Gie diperlihatkan berkunjung ke istana memakai jas pinjaman dan si Bung menegurnya, jas tersebut kekecilan... adegan Gie melangkah pulang meninggalkan istana kiranya gambaran sutradara bahwa Gie beroposisi terhadap si Bung. ada dua kekuatan besar pada zaman itu: militer dan PKI, si Bung mendekati PKI untuk mengendalikan kekuatan militer. pada waktu peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus diperlihatkan adegan si Bung sedang gundah di kamarnya.

dari sisi ini film GIE memperkaya khasanah perfilman Indonesia. Ariel Haryanto pernah mengritik betapa miskinnya film independen Indonesia yang mengangkat tema seputar pergerakan 1965, selain film klise "Pengkhianatan G-30-S/PKI" produksi pemerintah Orde Baru itu.

GIE memperlihatkan sekelumit adegan pembantaian orang-orang yang dianggap PKI. adegan ini dibalut dengan kisah tragedi Tjin Han, sahabat Gie. Han memilih PKI untuk dapat memperbaiki kehidupan ekonomi keluarganya. Gie sendiri berasal dari kalangan menengah yang berkecukupan. mereka bersahabat sejak kecil, bermimpi bermain di pantai... nasib memisahkan mereka. Han berakhir di tahanan, kemudian di bawa ke pantai, lalu ditembak. katanya eksekutornya adalah milisi berpakaian hitam? siapakah mereka itu? jangan-jangan ini rekaan sutradara untuk memperhalus tampilan GIE?

Han memang diakui Riri Riza sebagai tokoh imajiner. sejatinya Gie tak punya teman bernama Tjin Han. yang ada adalah seorang bernama "Boen ..." yang memang mati, menurut Catatan Seorang Demonstran. jelaslah bahwa tokoh Tjin Han adalah romantisasi dari kisah GIE. dia menjadi benang yang direntangkan sutradara sejak awal pertengahan hingga akhir film.

mimpi mereka untuk melihat pantai terpenuhi. Gie mati, dalam kilasan masa kecilnya berguling-guling di puncak Pangrango bersama Han. nilai persahabatan dan nilai perjuangan disajikan sutradara untuk pemirsa kawula muda zaman ini. dari segi ini, film GIE patut diapresiasi secara layak.***


kalo yang ini sih, fotoku waktu di pantai di tahun '65-an... hahaha, percaya?"

GIE di mata Arief Budiman


Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik saya, Soe Hok Gie. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan, sehingga saya pasti akan merasa kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar buku ini.
Kedua, karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan tentang diri adik saya secara obyektif. Saya terlalu terlibat di dalam hidupnya.
Karena itu, untuk pengantar buku ini, saya hanya ingin menceritakan suatu peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang mempengaruhi pula hidup saya dan saya harap, hidup orang-orang lain juga yang membaca buku ini.

Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidsak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian".

Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai "Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja". Ibu saya sering gelisah dan berkata: " Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang". Terhadap ibu dia Cuma tersenyum dan berkata "Ah, mama tidak mengerti".

Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju - mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orangtua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada saya, Hok Gie berkata: "Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si., saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya". Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: "Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan".
Surat ini dia tunjukkan kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.

Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.

Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib. Herman Lantang.
Suasana ini juga yang ada, ketika saya berdiri menghadapi jenazahnya di tengah malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru. Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali, digantungkan pada sebatang kayu yang panjang, Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berpikir: "Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu".
Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri saya alah apakah hidupnya sia-sia saja? Jawabannya saya dapatkan sebelum saya tiba kembali di Jakarta.

Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab "Tidak. Mengapa?" Dia cerita, tukang peti mati, ketika dia ke sana bertanya, untuk siapa peti mati ini? Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut. "Soe Hok Gie yang suka menulis di koran? Dia bertanya. Teman saya mengiyakan. Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis. Sekarang giliran teman saya yang terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis, tapi yang ditanya terus menangis dan hanya menjawab " Dia orang berani. Sayang dia meninggal".

Jenazah dibawa pleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk-duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kami bercakap-cakap. Kemudian bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah jenazah Soe Hok Gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: "Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal.
Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus". Saya memandang ke arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang ini dan hayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut?

Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan Kebon jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun akalau malam hari. Di sana juga banyak
nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya. Pernahkan dia membayangkan bahwa karangan tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh seorang tukang peti mati di Malang?
Tiba-tiba, saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamkannya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata "Ya" atau "Tidak", meskipun Cuma di dalam
hatinya.

Saya terbangun dari lamunan saya ketika saya dipanggil naik pesawat terbang. Kami segera akan berangkat lagi. Saya berdiri kembali di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik "Gie, kamu tidak sendirian". Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yang saya katakan itu. Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras.

Arief Budiman (Soe Hok Djin)
~ seperti dimuat dalam buku Catatan Seorang Demonstran edisi 1993

Friday, July 08, 2005

bom meledak di london: the world is not enough?


pagi ini berita heboh diwartakan di media massa: Bom Mengguncang London. betapa tidak, bom hari kamis (7/7) diledakkan di tiga lokasi sekaligus saat-saat keramaian kota. korban jatuh 30-an orang tewas, beberapa ratus yang luka, angka pastinya mungkin lebih banyak. rasanya dunia akan bergerak lagi... tapi belum jelas ke mana.

AS yang dilanda serangan teroris 911 bersikap sangat reaktif introvert. Inggris bagaimana bersikap pasca-serangan ini?

kabarnya ada pesan dari Al Qaeda mengenai pernyataan bahwa mereka tahu peledakan di London kemarin. namun, satu pertanyaan besar: kemana saja MI-6, intelijen Inggris? mengapa mereka tak dapat mengendus kejadian ini sebelumnya?

di layar perak kita dapat menyaksikan kegagahan tokoh intel 007 James Bond mengarungi dunia mengejar dan menghajar para kriminal [selain perempuan cantik, tentu saja]...

namun gambar kelabu yang kita saksikan di layar kaca, para korban dan petinggi Inggris sungguh shock dan menyesali peristiwa 707 ...

peristiwa ini terjadi tanpa pesan peringatan. tanpa tanda-tanda dari teroris. ledakan pertama di sebuah terowongan kereta bawah tanah dekat Moorgate, 21 orang tewas dalam ledakan kedua dekat King’s Cross, dan lima orang tewas di Stasiun Edgware Road di London barat.

jelaslah, ada sesuatu yang tidak beres di sini.
kesaktian sistem intelijen Inggris patut dipertanyakan... dan James Bond mungkin sedang pulas saat itu dalam pelukan perempuan molek.

dunia ini memang tidak cukup baginya.
sudah saatnya Mr.Bond pulang kampung, kembali ke London, markasnya, dan berjaga di sana... the world is not enough, is it?