Wednesday, September 21, 2005

Melamun di Dom 5: we are saved!

14 Agustus 2005

Hujan deras pagi itu. Jendela di kamar jelas memperlihatkan mendung di langit. Pohon, bangunan dan beberapa mobil yang diparkir di halaman basah kuyup. Apa? Hujan? Ibarat ponsel yang baru dinyalakan, aku baru sadar berada di kamar. Aku tidur di kasur springbed di lantai. Mbak Ina di tempat tidur. Kamar itu milik Jimmy, mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Koeln. Dia sedang liburan ke Indonesia, sehingga kamarnya kosong. Armelia tetangganya di lantai atas apartemen memberikan kami kunci kamar yang dititip Jimmy. Katanya biasa ada tamu dari Indonesia, dan mereka nginap di apartemen mereka. So, to Jimmy wherever you are, kami belum pernah bertemu dengan dikau, namun sepekan lebih kami telah ‘berkemah’ di kamarmu… trims banget ya! Tuhan tentu memberkahimu dengan berkat melimpah.

Berkali-kali mbak Ina dan saya ngobrol soal keajaiban ini sehingga kami bisa tidur di kamar ini. Mbak Ina paling rajin berdoa. Katanya bangun pagi dia langsung doa rosario, kalau tengah hari jam 15 dia doa koronka. Jam wekernya ribut sekali sih… hehehe.

Kami tidak membawa perlengkapan apa pun, sehingga meskipun ada kamar mandi, nggak bisa mandi karena tidak bawa sabun dan handuk. Cuma bisa mandi pas foto, ukuran 2x3 jengkal di muka… hehehe. Sewaktu berkaca, ada sepotong tulisan tertempel di sana. “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya, sebab Ia yang memelihara kamu” [1 Petr.5:7]. Gubraakkk… kena lagi nih, kubilang pada mbak Ina.

Itulah renungan pagi pertama kami yang sangat berkesan di kamar. [Aku sempat penasaran dan nanya pada Armelia, mengapa tulisan itu bisa ditempel di sana. Dia cuma bilang, tulisan itu sudah lama ada di sana… ooh, kukira, seorang malaikat tadi malam yang menaruh pesan buat kami yang sering kurang beriman ini].

Kami harus kembali ke Fuhlinger See untuk mengikuti jadwal kegiatan hari ini, kemudian mengemasi barang-barang yang kami tinggalkan di tenda untuk pindahan ke kamar Jimmy. Kami berjalan ke stasiun Trimbornstrasse. Jalanan sunyi senyap, dingin sekali. Rumah-rumah apartemen berderet rapi dan bersih. Sesekali mobil lewat. Untunglah hujan tak terlalu deras.

Kami menuju stasiun Chorweiler menuju ke Fuhlinger See. Berada di jalur ini tampak banyak relawan yang punya tujuan sama. Saya sempat bercakap dengan seorang ibu yang cukup berumur. Dia seorang perawat kebangsaan India yang sudah lama bekerja di Jerman dan datang ke Koeln sebagai relawan WYD. Saya senang ngobrol sama kenalan baru dari India, mengingatkan saya pada masa lalu di sana.

Tiba di tenda makan, ramai sekali. Florian Jung duluan kutemui dan mengatakan bahwa semalam kami nginap di rumah teman. Dia cukup surprised mendengar hal itu. Baru semalam di sini kami sudah dapat tumpangan… hehehe. Sarapan kali ini: roti kepal, sosis kaleng, sereal, yoghurt, susu kotak… pokoknya self service, layani diri sendiri untuk sarapan. Teman-teman cerita bahwa semalam hujan badai melanda perkampungan tenda di Fuhlinger See. Dapat dibayangkan rapuhnya tenda-tenda yang dihuni yang terbuat dari kain parasut menahan air hujan. Peristiwa ini sempat dimuat di koran lokal: Hujan badai melanda Fuhlinger See.

Ini lebih membuat kami merasa bersyukur.

Tiga teman dari Polandia [semuanya cewek] mengisahkan peristiwa ini dengan kocaknya. Mereka sempat panik waktu air sempat merembes masuk, membasahi sleeping bag mereka. Dalam kegelapan malam mereka bergantian berusaha mengeluarkan air. Air tetap saja masuk. “Dan sekarang tenda kami mirip Jacuzzi…”, kata mereka dengan riangnya. “Rencananya kami akan menulis di depan tenda kami: Jacuzzi for free here”. Hahaha… kami ketawa tidak putus-putusnya sepanjang jalan ke stasiun. Aku tertawa keras sebagai dukungan atas sikap mereka yang sangat positive thinking.
Kereta kami menuju Dusseldorf. Karena perjalanan cukup lama, aku coba mengeluarkan keahlianku: palm reading alias membaca garis tangan. Tiga teman cewek dari Slovakia takjub dengan keahlianku ini. Karena banyak yang tepat atau meleset, ya? Aku sih cuma senang melihat garis-garis tangan orang, apalagi bila tangannya halus… ehm, hihihi.


Pukul 13 kami tiba di LTU Arena Dusseldorf. Lapangan sepak bola besar dan megah. Wow, it’s a huge building. Megah, bo! Beberapa kali kami naik turun tangga untuk masuk ke kursi tribun. Kami diberi pengarahan mengenai acara pembukaan WYD di sini dan tugas kami masing-masing. Kami dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Ada yang harus menemani tamu VIP, mengawasi peserta yang masuk, atau mengatur lokasi duduk peserta. Pos saya di Pintu barat 6 dekat daerah press alias jurnalis.
Selesai pengarahan, kami kembali ke stasiun menuju ke Stasiun Heinrich yang tidak jauh lokasinya. Kemudian berjalan kaki melewati daerah pinggiran Sungai Rhein yang penuh dengan toko, kios dan tempat asyik buat kongkow. Beberapa kios bir ramai sekali. Mereka berdiri, memegang gelas kolsch, bir khas koeln, sambil mengobrol.
Sungai Rhein akhirnya terlihat juga. Ada beberapa perahu pesiar sedang bersandar. Musik romantis terdengar sayup-sayup. Julia terlihat berlari-lari dengan girangnya menyambut pemandangan indah itu. Kami menuju ke truk logistik yang membagikan makan siang, sekaligus kantong-kantong plastik berisi makan malam: roti kepal, pisang, mentega, sosis dan selai.

Di sana kami duduk-duduk di tangga tepi sungai. Kali ini kotak-kotak makan siang berisi pasta dimasak dengan buncis dan daging. Katanya itu menu ala Jerman. Beberapa pasangan duduk di sana sedang pacaran. Mereka tidak merasa terganggu dengan kedatangan kami yang berseragam kaos volunteer dengan suara tawa yang keras…
Setelah makan siang, kami berfoto-foto di tepi sungai. Kemudian berjalan kembali ke stasiun, hendak ke Leverkusen untuk mengikuti misa pembukaan bagi para volunteer. Saat menunggu kereta datang, beberapa teman Perancis minta dibacakan garis tangannya. Mereka adalah Fulques, Edward, dan Estelle. Ketika tiba giliran Edward, saya perhatikan ada yang unik dengan garis perjodohannya. Kupikir Estelle adalah pacarnya. Jadi kuminta Edward berdua saja denganku supaya aku bisa katakan dengan leluasa. Saat itulah terjadi kejadian aneh ini.

Edward mendengarkan apa yang kukatakan, kemudian badannya lunglai merosot. Dia terbaring di lantai peron kereta. Segera panik aku berteriak: “somebody help!” baru kemudian kusadari ketololanku. Orang-orang di sana tentu banyak yang kurang paham bahasa Inggris.

Botol air minumku kusodorkan padanya. Kemudian dia digotong dan duduk di kursi. Coklat Sneaker yang ada diberikan padanya. Matanya sudah terbuka dan sadar. Minyak gosok yang dibawa mbak Ina dipakai menggosok leher dan tengkuknya.

Jung memandangku dan bilang: “Toni, you are really a good trainer”.
Ya astaga, Jung pasti menduga bahwa aku sedang mempraktekkan sebuah ilmu magic sehingga Edward kolaps begitu. Kukatakan bahwa Edward tentu kecapekan seharian berjalan dan kurang istirahat yang cukup di tenda. Namun, dari peristiwa itu aku justru jadi lebih akrab dengan ketiga teman dari Perancis.
Edward langsung pulang ke Fuhlinger See dengan Estelle. Kami turun di Leverkusen menuju ke stadion Bay Arena. Sepanjang jalan saya ngobrol dengan Fulques. Anak ini cukup unik. Dia kuliah di Fakultas Hukum di Paris. Bapaknya seorang diplomat di Arab. Dia sering berlibur di Arab dan fasih berbahasa Arab. Dia mengajariku beberapa bahasa Arab…

Kemudian dia nanya: “Siapa penyanyi Perancis yang kamu kenal?”
Spontan kujawab: “Jordi!” Hahaha… dia tertawa meringis. “Him? Jordi? Urghhh…”, katanya seperti mau muntah. Jordi itu penyanyi anak-anak sekitar sepuluh tahun lalu populer dengan lagunya: Dur dur d’etre babe… , sekarang dia sudah remaja dan katanya menjadi DJ saking nggak berbakatnya dia nyanyi.


Fulques asyik diajak ngobrol. Kami tiba di Stadion milik Bayer, ‘jaminan mutu’ itu. Misa sudah berlangsung, artinya kami sedikit telat. Kelompok kami jadi terpencar karena banyaknya orang yang melewati pintu yang sama dan beberapa tribun sudah penuh dengan para relawan dengan seragam merahnya.

Stadion ini menjadi lautan volunteer berseragam merah, mirip fans MU, ya... Sesekali dibuat ombak manusia yang tampak bergelombang. Meriah sekali… deratan di ujung sana mulai membungkuk dengan tangan terjulur kemudian tegak dengan tangan ke atas. Secara simultan diikuti deretan-deretan selanjutnya… diiringi tawa dan tepuk tangan.
Kardinal dalam homilinya mengingatkan pentingnya pelayanan relawan dalam kegiatan seperti ini. Hujan turun rintik-rintik di tengah misa hingga misa berakhir. Ada sebuah lagu yang dinyanyikan dengan indah oleh solis sewaktu komuni: “I don’t know how to love Him…” Lagu ini sejak masih sekolah dulu sering kuputar. Lengkingan penyanyi perempuan yang dilakonkan sebagai Maria Magdalena terdengar begitu menyayat: “Should I bring Him down, should I turn my back, should I speak of love, let my feelings out… I never thought that could be like this… what is all about?”

Setelah misa, kami membuka bekal makan malam. Sudah pukul 19 sore itu. Jadi kami menikmati pisang, roti dan selai. Kamudian perutku mules. Untung ada toilet stadion, bukan Dixi. Justru karena ke toilet, setelah itu aku ketemu Agnes. Dia cerita bahwa semalam dia nggak bisa tidur di gymnasium… Mbak Ina muncul juga dan bersama-sama kami menuju stasiun untuk pulang..

Saya sempat merasa heran, di tengah stadion luas ini yang dipenuhi sekitar 30.000 volunteer, kami bisa bertemu tanpa janjian. Ajaib juga, pikirku.
Stasiun Leverkusen dibanjiri relawan yang mau naik kereta kembali ke Koeln. Setiap kali kereta datang, antrian bergerak maju dengan lambat.

Ketika akhirnya bisa masuk ke dalam gerbong kereta, kukira sedang berada di kereta ke arah Bogor. Saking penuhnya, penumpang yang berdiri berdesak-desakan. Rombongan Polandia dengan pastornya dnegan ramai bernyanyi-nyanyi dalam bahasa mereka.. Turun di Koeln Hbf, kami meneruskan dengan kereta ke Trimbornastrasse. Sudah pukul 22, sebetulnya aku sudah sangat ngantuk… Pengakuan polos dari teman-teman bahwa kalau Toni sudah ngantuk suka tulalit. Nggak nyambung saat diajak bicara. Dengan mata yang menerawang tak terfokus. Iya sih, ibarat komputer, hardisk-nya sudah tidur, badannya saja yang masih berjalan... hehehe.

Namun, beberapa langkah dari apartemen Armelia, perutku mendadak mules. Kukira masuk angin. Aku segera berlari, buruan naik tangga. Panik nih, mencari toilet yang bisa dipakai. Kunci kamar Jimmy dibawa Armelia. Kamar Armelia diketok-ketok, nggak ada orangnya. Aku turun lagi, dan bertemu mahasiswa dari China, namun dia bingung saja melihatku...

Untung Armel muncul di sana. I am saved! Lega deh, bisa bertemu toilet.
Setelah itu, Armel mengundang kami makan soto ayam di kamarnya. Katanya tadi siang dia masak soto ayam untuk acara arisan ibu-ibu Indonesia di Koeln. Wah, undangan ini gak bisa ditolak. Apalagi kali ini pakai nasi... duh, sedapnya. Kami ngobrol pengalaman kami sepanjang hari ini di kamar Armel, sebelum turun dan bobok...

Keajaiban, janganlah berhenti.

No comments: