Saturday, December 13, 2008

kaleidoskop 2008: melamun di taize 4

Jiwa yang mencinta

So far I go
with empty heart.
Where should I go
if you have left.


Senin, 17 Maret 2008 pukul 07.30 saya terbangun dalam dingin tenda dan pemandangan berkabut di luar. Sleeping bag yang dipinjamkan El Abiodh cukup membantu sehingga semalam saya dapat tidur nyenyak.

08.00 ke kapel utama untuk doa pagi. Berbeda dengan doa malam sebelumnya, pada akhir doa, semua yang hadir bangkit berdiri. Beberapa bruder mengambil komuni yang sudah disiapkan dari tabernakel dan membagikannya. Saya maju mengantre komuni. Namun entah kenapa, perasaan hati ini jadi membuncah saat mengambil hosti dan mencelupkannya dalam anggur darah Kristus yang tampak bening. Saat kembali ke tempat dan berdoa, air mata tak dapat tertahankan. Saya menangis seperti anak kecil, mengalami Kristus yang datang menyapa secara personal pada pagi itu. Untung sapu tangan ada di saku, sehingga saya dapat langsung menyeka air mata.

Selesai doa pagi, kembali ke Tenda F untuk menyiapkan sarapan. Saya membantu membagikan roti. Setelah itu, giliran saya menikmati sarapan pagi: roti baget yang keras, dengan selai buah, mentega, susu coklat. Pierluigi dan Cristina, pasangan Italia dari Pescara menemani saya ngobrol. Inilah awal perkenalan kami. Mereka menjadi teman mengobrol yang asik selama berada di Taize. Pagi itu mereka bercerita tentang Assisi karena mereka tahu saya hendak berziarah ke sana. “Assisi adalah kota yang indah, kamu harus mengunjungi basilika St. Fransiskus di sana”, kata Pierluigi.
Setiap hari pukul 10.00 diadakan konferensi bersama seorang bruder di Tenda F. sebelumnya, kami dibagi dalam kelompok-kelompok menurut bahasa. Saya masuk dalam kelompok berbahasa Inggris, kelompok ini termasuk minoritas alias dapat dihitung dengan jari jumlah pesertanya dibandingkan kelompok berbahasa Jerman, Perancis dan Spanyol. Kemudian dua orang volunteer yakni Olga dan Claire memperkenalkan diri. Olga, gadis dari Rusia. Claire, gadis manis dari Belgia. Mereka fasih berbahasa Inggris yang dijadikan bahasa pengantar resmi dalam setiap pertemuan. Olga dan Claire menjadi semacam pusat informasi aktivitas harian di Taize. Termasuk pembagian jadwal tugas harian bagi setiap kelompok. Ada yang bertugas membersihkan toilet dan kamar mandi, atau mencuci piring di dapur. Saya dan kelompok minoritas kami kebagian tugas membagikan sarapan setiap pagi.

Siang itu bruder memberikan tugas sharing kelompok tentang Mengapa ke Taize? Kelompok kami terdiri dari: Alfredas dari Lithuania, Emil dari Bulgaria, Lorenz dari Jerman, dan saya. Ada teman yang bercerita bahwa ia datang ke Taize untuk mencari ketenangan hati. Ada juga yang berprofesi sebagai pemandu wisata, dia mengantar sekelompok anak muda ke Taize. Saat tiba giliran saya sharing, mereka cukup terpesona mendengarkan kisah mukjizat tiket gratis yang saya peroleh. Mereka bilang saya beruntung. Saya cuma tersenyum-senyum saja.

Setelah ibadat siang, kami menikmati makan siang di Tenda F. Menunya unik: nasi goreng jagung dengan roti. Selesai makan siang, bagi yang ingin berlatih nyanyian Taize dapat bergabung di kapel utama. Namun saya memilih untuk berjalan-jalan ke Taman St. Etienne (St. Stefanus). Letaknya di bawah areal perkemahan, melewati jalan setapak dan pepohonan. Tempat ini disediakan untuk renungan pribadi. Saya menyebut tempat ini sepotong surga, karena indah sekali.

Di bawah terdapat danau dan padang rumput. Bayang-bayang pepohonan nampak pada pantulan permukaan danau dengan garis langit senja. Sementara bebek-bebek berterbangan dan mendarat di permukaan air.

Ada sebuah kapel di tepi danau dengan atap berbentuk kubah ortodoks. Semula kusangka di sinilah tempat makam Bruder Roger. Ternyata tidak demikian.
Setelah itu, saya mampir ke Oyak untuk membeli batere. Harga barang-barang yang dijual di Oyak tidak mahal. Batere AA merek Kodak 1 pak isi 4 pcs seharga 1 euro. Malam ini saya tentu tidak akan meraba-raba dalam kegelapan lagi. Senter saya sudah bernyala!

19.00 makan malam sambil berkenalan dengan teman dari Barcelona. Dia seorang pria guru sekolah anak-anak cacat mental. Saya pun seorang guru, ujarku memperkenalkan diri. Dia bercerita betapa sulitnya mengajar anak-anak cacat, butuh banyak kesabaran. Kemudian dia bercerita tentang tempat-tempat indah di Spanyol: Montserrat, Catalan, Andalusia...

20.00 doa malam di kapel utama. Lagu ini sangat bersemangat dan menyentuh hati: “El alma que anda en amor, ni cansa ne se cansa...” (The soul filled by love neither tires nor grows tired).

Selesai doa malam, saya bertemu Br. Alois, pemimpin komunitas Taize. Beliau tersenyum hangat saat menerimaku. Dia mencoba mengingat di mana pernah bertemu. Saya menyebut: Yogya! “Ah ya, Indonesia...”, ujarnya. Kami mengobrol sejenak sebelum beliau mengatakan: “besok selesai doa siang, maukah ikut makan siang bersama kami di biara?” Tentu saja tawaran ini kusambut dengan sukacita. Kami lalu berpamitan.
Saat menuju pintu keluar saya melihat beberapa imam mengenakan stola berdiri dan mendengarkan pengakuan dosa. Entah mengapa, ada dorongan untuk menemui salah satu imam tersebut. Ini kejadian pertama kali saya mengaku dosa dalam bahasa Inggris! Mulanya juga sempat gregetan, imam tersebut dengan ramah mengajak bercakap-cakap, lalu bertanya: Apakah Anda mau mengaku dosa?

Ah yes, jawabku. Lalu rumusan itu meluncur: Forgive me Father for I have sinned. Bla bla bla.... ketika sampai pada bagian daftar dosa-dosa, dengan sabar dia mendengarkan dan bertanya. Kami jadinya seperti sedang berdiskusi. Beberapa nasehat pun diberikan, antara lain dan ini yang paling kuingat: “Love in silent...”
Sempat juga kuceritakan pada imam mengenai kejadian tadi pagi di kapel, saya menangis ketika menerima komuni. Imam itu tersenyum hangat. Lalu memberikan penitensi dan absolusi: “.... I release you from all sins ...”

Udara terasa ringan, sekalipun malam itu dingin sekali. Dengan senter yang menyala di tangan saya kembali ke kemah. Rasanya saya dapat tidur pulas malam ini.

“El alma que anda en amor...”

No comments: