Tuesday, December 13, 2005

Melamun di Dom 16: sub tuum praesidium

25 Agustus 2005

peziarah

sejauh ini langkah kita
terendam air yang mengalir
di kaki Pyrenea
membasuh pedih dan duka
dihibur nyanyian Bunda


Pukul 7 pagi saya terjaga di tengah guncangan kereta yang melaju. Butuh waktu seketika untuk memulihkan kesadaran bahwa kami dalam perjalanan menuju Lourdes. Tempat ziarah itu. Tujuan yang tersimpan di angan-angan sejak beberapa waktu lalu. Tahun lalu, ada kegiatan kaum muda sedunia di Lourdes dan dihadiri almarhum Paus Yohanes Paulus II. Niat saya menjadi volunteer acara tersebut, sayang saya tak dapat mengikutinya. Belum jodoh kali ya...

7.45 kami turun dari kereta di stasiun Lourdes. Kereta masih akan meneruskan perjalanan, kalau tak salah ingat ke Tarbes. Kami menggotong bagasi dengan cerita lama: tak tahu mau ke mana... nowhere to go. Middle of nowhere. Mbak Ina diutus untuk menemui seorang biarawati yang kebetulan lewat di sana. Lalu kami menuju ke halte menunggu bus. Lama sekali busnya nggak muncul-muncul, menurut jadwal masih sekitar sejam lagi... Mbak Ina dan Agnes berniat menyewa taksi. Tapi saya usul bagaimana kalau berjalan kaki saja...

Jadilah kami berjalan kaki. Saya menggendong ransel. Mbak Ina menyeret koper. Agnes menjinjing tas. Benar-benar kami tak ada ide ke arah mana harus dituju. Papan penunjuk jalan yang menyebut “Grotte” [grotto: gua Lourdes] yang kami ikuti. Selain itu ada turis yang menunjuk tangga ke bawah jalan, jadi kami turun. Inilah jalan yang menuju ke grotto. Di sepanjang penuh dengan toko benda-benda suci dan restaurant maupun penginapan.

Tas dan koper ditaruh di pinggir jalan. Mbak Ina dan Agnes pergi mensurvei tarif penginapan di sekitar situ. Seperti biasa aku menjaga barang-barang... Lumayan lama juga, sehingga aku dapat memperhatikan pelayan restoran yang sedang masak dari jendela kaca, mobil yang diparkir di depanku [sehingga aku sempat diminta minggir sedikit], dan tarif menu yang tertulis di papan depan resto.

Saat mereka muncul, seperti yang lalu-lalu, kabar baik bahwa mereka sudah menemukan penginapan yang harganya terjangkau, nyaman dan aman. Lumayan, Hotel Julienne tarifnya Eur 44 semalam untuk 3 orang dengan 3 bed. Jadi kami berjalan menuju ke sana. Tas dan koper kami simpan dulu di kamar lain, karena katanya kamar yang akan kami tempati sedang dibersihkan.

Kami meneruskan acara jalan-jalan pagi itu. Meskipun rasanya sedikit aneh karena belum mandi, sikat gigi dan sarapan pagi, hehehe... Toko-toko benda suci yang berjejer di sepanjang jalan rasanya terlalu menggoda. Umumnya menjual rosario, medali suci, patung, gambar-gambar suci. Bila sudah memasuki setiap toko, pasti menemukan Palais de Rosari. Semacam supermarket benda suci! Ambil keranjang belanja dan silakan memilih-milih benda yang mau dibeli... ada banyak pilihan di sana. Harganya tertera di label, dan dijamin lebih rendah dari harga toko lain... hehehe, promosi nih! Tapi sungguhan, toko Palais de Rosari is very recommended bagi peziarah yang bingung memilih toko.

Di sana saya membeli rosario yang khusus dipesan Manfred tempo hari di bandara Frankfurt. Rosarionya berbentuk mawar berwarna biru dan mengeluarkan wangi tak habis-habisnya... Rosario itu untuk suster Pia dan suster Joannita OSF di Semarang.

Lourdes hall
Kemudian kami terus berjalan sampai ke lokasi halaman gereja Lourdes. Pemandangan bukit-bukit terlihat indah di kejauhan. Jalan masuk berbentuk lingkaran dengan salib di tengah seolah menyambut kedatangan setiap peziarah. Ada kotak donasi ditaruh di sana, dalam rangka Perayaan 150 tahun Penampakan Bunda Maria kepada St Bernadette pada tahun 2008. Saya memasukkan koin euro di sana sambil berdoa semoga dapat mengikuti Jubileum tersebut.

Lalu kami berjalan balik menuju ke hotel. Namun toko-toko tersebut sangat menggoda. Apalagi bila pelayan toko pandai menjual, maka calon pembeli seolah tak dapat dilepas sebelum berbelanja. Mbak Ina kepingin sekali membeli pendant Lourdes lapis emas 18 karat seharga Eur 29,5 dengan kalungnya. Kata pelayan toko produk macam itu hanya dijual di Lourdes, sangat bermakna bila dibawa pulang ke Indonesia... hmmmh.

Tiba di hotel pukul 12 siang. Acara mandi dan mengatur-atur barang, lalu istirahat.

Pukul 15 bangun, siap-siap untuk jalan lagi. Cari makan dulu karena lapar niih... kami masuk di cafe dan memesan pizza 2 pan. Soalnya beberapa restoran yang kami jumpai sudah tidak lagi menyediakan makanan berat [makan siang] bagi peziarah yang kelaparan macam kami... Pizza lumayan jadi pengganjal perut. Meskipun pizzanya sangat tipis dan toppingnya tidak seramai pizza di Indo. Pelayannya seorang pria berkepala gundul, dia sangat atraktif dan ramah melayani setiap pengunjung. Bila tamunya orang Italia, maka dia pun berbahasa Italiano.

Lourdes churches
Setelah itu kami berjalan ke halaman gereja Lourdes. Ina pergi ke tempat pengakuan dosa. Jadi saya dan Agnes menunggu di halaman. Melihat-lihat setiap peziarah yang berfoto-foto di depan salib dan patung bunda Maria. Setelah beberapa saat Mbak Ina belum muncul juga, kami mencarinya di tempat pengakuan dosa. Tempatnya berupa gedung dengan beberapa kamar dan ruang tunggu seperti klinik. Di depan pintu tertulis nama imam yang melayani pengakuan dan bahasa yang dipakainya. Mbak Ina tidak kelihatan di sana, jadi kami ke luar menuju ke sumber air.

Tersedia keran-keran air yang siap mengisi botol-botol yang dibawa peziarah. Ataupun untuk sekedar membasuh muka. Segar sekali airnya. Beberapa botol yang dibeli di toko tadi diisi penuh. Saya tidak berani membeli banyak botol, kuatir ransel semakin bertambah berat. Bagasi yang diizinkan Ryan Air sangat pelit, cuma 20kg.

Setelah itu kami berjalan masuk ke dalam antrian menuju ke grotto.

Inilah moment of truth.
Sebelum berangkat dari Jakarta, saya membuat pengakuan dosa pada imam. Pengakuan dosa tersebut berupa obrolan di pastoran mengenai masalah yang saya hadapi sebelum berangkat. Pimpinan tempat kerja saya tidak mengijinkan saya pergi. Padahal beberapa bulan sebelumnya saya telah membuat surat permohonan izin untuk mengurus visa di kedutaan Jerman di Jakarta, tiket pesawat untuk menjadi relawan WYD2005. Setelah tawar menawar dengan pimpinan, saya diijinkan pergi dengan catatan cuti tahun depan dipotong. Visa telah kupegang, tiket pesawat juga. Namun mengapa sekarang prosedur dibuat sulit? Malahan dengan ancaman sanksi berat...

Imam pengakuan memberi saya penitensi untuk berdoa rosario di depan grotto. Katanya saya harus berdoa bagi orang-orang yang menyakiti hati dan mereka yang pernah saya sakiti hatinya. Itulah yang kulakukan sekarang di tengah antrian peziarah... bulir-bulir rosario bergulir. Kelebatan-kelebatan wajah setiap orang tampak dalam doaku, dan saat melihat wajah sang Bunda di grotto, air mataku ikut menetes. Ada rasa aneh yang sulit kujelaskan.
Kini anakmu datang, ya Bunda.
Sub tuum praesidium confugimus, Dei Genetrix!

Grotto
Batu padas grotto kusentuh. Inikah tempat di mana sang bunda menampakkan diri kepada gadis kecil Bernadette? Kupandangi wajah sang Bunda...
Peristiwa yang dialami St. Bernadette sesungguhnya bukanlah peristiwa menyenangkan. Dari buku yang kubaca, dia sempat dianggap gila, hilang ingatan, penyebar cerita bohong, dikucilkan bahkan setelah dia masuk biara. Dia menanggung sakit asma dan meninggal karena kanker tulang. Namun kalimatnya itu: “Rasanya saya rela menukarkan seluruh hidup demi untuk dapat melihat sekali lagi kemuliaan ilahi perempuan di grotto itu...”

Doa rosario saya teruskan sambil berjalan, mendaki ke atas bukit. Tiba di bukit, terdapat sebuah jalan yang harus diseberangi untuk menuju ke lokasi Jalan Salib. Kuatir kemalaman, jadi saya turun untuk mencari Agnes dan Mbak Ina.

Di halaman gereja kami menunggu prosesi lilin jam 20.30. Sebelum prosesi dimulai, saya menapak anak tangga ke menara gereja.

Golden Cross
Terdapat mahkota dengan salib terbuat dari emas. Gereja ini dibangun berdasarkan permintaan Bunda Maria melalui Bernadette. Namun, yang terdapat di dalam bangunan ini justru tiga gereja. Dapat dibayangkan luas dan megahnya.

procession
Pukul 20.30 kami bersiap-siap mengikuti prosesi lilin. Patung bunda ditaruh pada sebuah tandu yang diangkat beberapa perempuan. Orang-orang sakit dengan kursi roda berada di barisan paling depan. Beberapa relawan tampak mengatur peziarah supaya tertib.

Lilin-lilin dinyalakan. Doa rosario dimulai dalam aneka bahasa: Perancis, Inggris, Jerman, Spanyol, India dan bahkan juga Arab. Kami memegang lilin berjalan dalam perarakan sambil sesekali bernyanyi: “Ave, ave, Ave Maria...” Doa Salam Maria kudoakan dalam bahasa Indonesia. Memang terdengar rada aneh di antara massa berbahasa asing. Tapi bukankah Tuhan mendengarkan segala bangsa dan bahasa?

Perarakan berhenti di tengah lapangan. Seorang penyanyi perempuan bernyanyi solo: “Ave Maria” suaranya membelah kesenyapan malam. Setelah itu, Doa Malam dan diakhiri dengan lagu “Regina Caeli” [Salam, ya Ratu].

Pukul 22 kegiatan prosesi selesai. Kami berjalan pulang. Lilin-lilin yang kami pegang kami taruh di depan patung St. Bernadette yang sedang menggembalakan domba-domba.

Bernadette

perawan di grotto
memberkahimu
dengan senyum dan wangi bunga

miskinlah dunia,
miskinlah hati
saat dikau
mencabut rumput
memakannya,
dan membasuh lumpur
di parasmu nan lugu

sejauh ini
engkau mengekalkan cinta
di sana!

1 comment:

Anonymous said...

cieeeee .... baru ketemu deh blog kamu. ngik ngok .... hehehe ... langsung isinya puanjannnngggggggggg