Friday, December 09, 2005

Melamun di Dom 15: the sound of silence

24 Agustus 2005

Pagi pukul 8 kami terjaga di tengah kamar hotel yang nyaman. Matahari bersinar terik di luar. Di bawah jendela hotel dapat terlihat keramaian jalan di bawah. Dari jendela kamar mandi lebih jelas lagi pemandangan, karena kepala dapat didongakkan keluar jendela. Restoran China yang ada di seberang jalan tampaknya menggoda. Namun waktu untuk menikmati Paris sisa sehari ini, karena malam nanti kami berangkat dengan kereta ke Lourdes, sehingga kami musti check-out pukul 12 siang. Jadi kami bermalas-malasan saja di kamar. Menikmati sarapan pagi mie instant, sosis babi gemuk dari Jerman, baguette tuna dan apel... sarapan komplit, bukan?

Tiba pukul 12 siang, barang-barang sudah kami kemas. Beberapa harus ditinggalkan supaya ransel dan koper tidak berat. Bayangin, Mbak Ina sampai meninggalkan kopi ginseng CNI-nya berbungkus-bungkus di kamar. Lalu kami turun ke front office untuk check-out. Petugasnya sangat ramah. Kami diberi ruang penitipan koper dan ransel, sehingga kami dapat pergi berjalan-jalan seharian tanpa perlu repot membawanya. Selain itu, sempat kutanyakan letak Beauvaix airport tempat Ryan Air mendarat. Karena tiket pulangku melalui Paris, sehingga dari Roma aku musti balik ke Paris. Bila lancar, dari Roma ke Paris naik pesawat pagi, terus langsung ke bandara Charles de Gaulle mengejar pesawat jam 12 siang ke Jakarta.

Ya ampun, ternyata bandara Beauvaix itu jauh amirr dari Paris. Persisnya berada di luar kota, seperti jarak kota Bogor dengan Jakarta deh... resepsionis hotel coba membantu saya mencari informasi transportasi apa yang bisa menyelamatkanku mengejar pesawat siang. Namun, katanya nihil. Selain itu, mbak Ina perlu mengkonfirmasi tanggal kepulangannya dari Roma.

Maka tujuan acara jalan-jalan kami siang itu yang pertama adalah ke kantor Malaysia Airlines. Petugas hotel Francais dengan baik hati memberikan alamat dan menunjukkan rute ke perwakilan MAS di Paris. Naik Metro kami menuju ke sana. Tiba di alamat yang dituju, ternyata kantor MAS tersebut bukanlah yang dimaksud. Kami diarahkan ke alamat lain. Maka kami pun berjalan lagi, mencari kantor MAS yang sesungguhnya untuk urusan tiket.

Akhirnya sampai juga. Nah ini dia yang mengejutkan, dari rencana mengatur hari kepulangan itu, Mr. Philippe, petugas MAS menemukan bahwa tiket saya sudah tidak lengkap. Kupon tiket KL-Jakarta telah raib. Terjadi keributan, karena saya merasa tidak lalai menjaga tiket tersebut. Mereka senantiasa tersimpan dalam ‘kantong ajaib’ yang kugantung di leher dan kudekap selalu. Teringat akan kejadian waktu mendarat di KL, kuceritakan bahwa kemungkinan petugas bandara KL yang telah merobek kupon tersebut.

Mr. Philippe menjanjikan akan mengontak kantor MAS Jakarta dan Malaysia mengenai hal ini. Sehingga tanggal kepulanganku harus diundurkan satu hari, dan tetap melalui Paris. Tidak bisa reroute melalui Roma.

Sebelum kami meninggalkan kantor MAS, mbak Ina sempat menanyakan di mana letak kamar kecil. Dengan ramah Mr. Philippe menunjukkan toilet umum menggunakan koin yang terletak di luar. Persis di trotoar depan kantor. Lalu mbak Ina pergi dengan misuh-misuh... hehehe.

Kami berjalan menuju ke Galeria Lafayette. Inilah pusat perbelanjaan mode kaum borjuis. Kami pun masuk sambil memperhatikan aksesoris yang dipajang di sana. Mbak Ina menemukan toilet. Sekalian saya mengisi botol air minum di keran air minum yang tersedia di situ.

Lalu kami keluar menyeberangi jalan. Ada sebuah kedai souvenir. Bila dibandingkan dengan kedai serupa di sekitar Eiffel, harga yang ditawarkan di sini jauh lebih murah. Apalagi penjualnya orang Vietnam yang fasih sepotong-sepotong berbahasa Indonesia. Tentu kami bukan orang Indonesia pertama yang dijumpainya di Paris.
Sekalian kami tanyakan padanya di mana letak restoran Asia. Maklum hari sudah siang, saatnya makan niih... dia menunjukkan arah jalan yang berbelok-belok. Cukup sulit kami menemukan tempat itu karena terdapat beberapa restoran di sana. Namun akhirnya ketemu juga. Dengan tarif Eur 6, makan siang dengan menu nasi dan lauk komplit.

Setelah itu, kami berniat kembali ke Galeria. Mbak Ina mau membeli tali ikat koper karena kuatir kopernya sudah sangat sesak. Saya diminta menunggu di lantai bawah, mereka menuju ke atas. Di bawah, saya berjalan melihat-lihat rak-rak parfum dengan aneka merek terkenal. Jangan tanya harganya... ratusan euro! Lalu di depan sana, ada butik Louis Vuitton. Bukankah ini yang disebut-sebut oleh ibu dari Makassar yang pertama kali kujumpai di kisah awal perjalanan? Tas produk Louis Vuitton yang harganya Eur 600-an itu? Alamak, harganya ampun-ampunan deh. Belum lagi penjaganya yang mengawasi ketat setiap calon pembeli. Setiap pembeli tidak boleh bertransaksi dua kali, dan diharuskan pakai kartu kredit.

Karena itu, aku segera ke luar butik Louis Vuitton dan berdiri menunggu Agnes dan mbak Ina.
Seorang lelaki berjas hitam mendekatiku. Dia langsung memegang pinggangku [menjepit di antara tulang iga] dan mendorongku ke luar dengan kasarnya. Saya langsung berseru: “I’m just waiting for my friends!” Pintu dibukanya, dan saya pun shock menyadari hal ini. Baru saja saya disuruh ke luar dari toko dengan cara demikian tidak sopan.
Maka saya pun kembali masuk ke dalam toko. Si jas hitam tampak berdiri di sana. Saya berjalan di sekitarnya sambil memandangnya tajam. Dia pura-pura seolah-olah saya tidak ada. Dan berjalan turun ke lantai dasar. Saya mengikutinya. Dia masuk ke ruangan. Saya kembali ke atas, lalu turun kembali.

Akhirnya dia keluar juga. Langsung kubilang: “Hey, watch out your manner, Sir! Saya tidak bisa menerima perlakuan tadi...”
Dia bertanya: Where are you from? Chinese?
[ada apa sih sampai dia menyebutku dari China?]
Langsung kujawab: I’m Indonesian.
Dia memintaku mengikutinya. Saat melintasi tempat peristiwa tadi, kulihat mbak Ina dan Agnes sudah ada di sana, dengan pikiran penuh pertanyaan ke mana dia mau membawaku, saya memutuskan meninggalkannya.

Really, he has made a bad day for me... sepanjang jalan aku mendongkol. Bagaimana bisa petugas itu memperlakukan dengan demikian kasar? Mbak Agnes mencoba menghibur. “Mungkin pekerjaan mengharuskan dia demikian, Ton... bayangkanlah dia juga seorang pegawai, dengan gaji seberapa yang diperolehnya...”
Iya, tapi itu bukan excuse untuk mengadili dan menghukum pengunjung dengan cara demikian.

Pengalaman ini dengan berat kuakui memperkaya perjalanan hidupku selanjutnya. Meski rasanya sulit diterima. Saya jadi belajar bersabar dan coba memahami hal yang sulit dimengerti.

Louvre
Kami berjalan dalam senyap di tengah Paris.
Kami sempat beristirahat di pelataran Museum Louvre. Memandangi matahari senja yang bersinar terik. Aku berbaring di dinding pualamnya. Lalu ada sepasang pengantin muda yang meminta saya memotretnya. Kami berjalan ke benteng pertahanan Perancis tempo dulu. Di sana ada dua perempuan backpacker yang tampak dekil sekali. Dijamin, mereka tentu petualang sejati. Mereka sedang asik menunjuk-nunjuk peta.

Dan akhirnya kami tiba di sebuah bukit. Terdapat gereja Sacre Coeur [Sacred Heart] di sana. Pemandangan kota Paris dapat terlihat dari atas bukit. Untuk mendakinya tersedia anak tangga dari batu. Taman bunga di sekitarnya.

Sacre Coeur
Saat masuk ke dalam gereja, misa sedang berlangsung. Komuni dibagikan, aku pun maju menyambut komuni. Lalu berjalan ke bangku belakang gereja. Berdoa di sana. Ada patung St. Michel [malaikat Mikael] yang berdiri gagah menghunuskan pedang pada si iblis. Beberapa lilin bernyala di depannya.

Lalu aku beranjak ke patung “Maria Stella Maris” [Maria Bintang Laut].
Pemandangan yang kulihat itulah yang menggerakkan hatiku, membuat airmataku tak tertahankan... Bunda Maria menggendong kanak-kanak Yesus di atas ombak ganas, sambil mengulurkan tangannya kepada seorang pemuda yang nyaris tenggelam. Betapa mengenaskan dan sekarang aku rasakan hal serupa... help me, or I am perished!

Setelah itu. Patung St. Antonius dari Padua yang menggendong kanak-kanak Yesus. Inilah santo yang kusebut sebagai pelindungku secara pribadi. Sosoknya kini berdiri di hadapanku, kusentuh jemari kakinya, sambil memohonkan mukjizat Tuhan. Bukankah dalam hidupnya dia diberkahi dengan karunia mukjizat?

Lalu patung berikutnya: Mother and Son. Maria dan kanak-kanak Yesus. Aku jadi teringat pada syair kuno tersebut: “sub tuum praesidium confugimus, Sancta Dei Genetrix”. Ke dalam perlindunganmu kami berlari, ya Santa Bunda Allah.
Sering doa ini kuubah menjadi, ke dalam pelukanmu kami anak-anakmu berlari, ya Santa Bunda Allah.

Ibarat tanah yang kering, gereja Sacre Coeur menyiramkan seember air sejuk di hatiku.
“Hati Kudus Yesus, jadikanlah hati kami seperti hatiMu...”

Saat hari telah senja, kami beranjak pergi. Kami harus kembali ke hotel untuk bersiap berangkat ke stasiun. Tak lupa membeli bekal: botol air minum, cheese burger McD [paling murah! Cuma Eur 0,95] dan salad.

Pukul 21 kami berangkat dengan Metro ke stasiun Paris Austerlitz dengan membawa ransel dan koper yang aujubillah... di Austerlitz kami duduk-dudk di lantai pojok menunggu jam 23 saat keberangkatan ke Lourdes. Serombongan anak muda melintas. Mereka dari Indonesia. Peserta WYD. Dengan tujuan sama: Lourdes. Maka kami ngobrol dengan ramainya. Katanya mereka ikut dengan rombongan KWI, di antara mereka ada yang bernama Abe. Meskipun ikut rombongan KWI, katanya mereka tetap bayar sendiri semua ongkos perjalanan. Yang mengejutkan, mereka cuma sebentar saja di Lourdes, besok pagi tiba, sore mereka sudah harus balik.
Waduh, nggak ikut prosesi lilin dong!

Kami dinner salad dan burger di lantai pojokan stasiun. Salad burger McD jadi kegemaranku, karena pakai sayur mayur yang rada aneh, plus tomat kecil-kecil, dan dressingnya pakai minyak zaitun yang dibungkus dalam sachet.

Pukul 23. Kami naik kereta. Perjalanan malam menggunakan kereta tidur [liegewagen]. Sekamar ada 6 bed. Mirip ruangan kelas III kapal laut. Tapi lebih sempit lagi, dan ada 3 bed bersusun di tiap sisi. Kebetulan sekamar kami berlima.

Disediakan botol air minum dan perkakas tidur: sumpal telinga dari karet. Jadi malam itu kami menjelajah menuju selatan Perancis dalam buaian kereta malam...

Hello darkness my old friend,
I come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while I was sleeping
And the vision that was planted in my brain
Still remains, within the sound of silence...

People talking without speaking
People hearing without listening ...

No comments: