21 Agustus 2005
quo vadis
orang asing itu bertanya,
“ke mana jalan ke surga?”
aku diam
menunjuk ke bumi
Udara berkabut di tengah hamparan sleeping bag di Marienfeld. Beberapa anak muda yang sudah bangun sedang duduk menikmati kopi dan roti, sambil ngobrol dalam aneka bahasa. Lebih banyak yang masih asyik pulas, meringkuk di dalam sleeping bag. Sesekali layar raksasa di lapangan menayangkan pengumuman: “si Anu dari rombongan anu dipanggil menghadap ke Info Point”. Langit tidaklah cerah pagi itu. Sleeping bag kami basah dihujani embun semalam.
Agnes, mbak Ina dan Stella sudah bangun. Mereka mau ke Dixi. Jadi aku diminta menjaga bedroll yang menjadi basecamp kami. Ibadat pagi telah dimulai. Saya duduk dan coba mengikutinya, meski dengan bahasa yang tidak kupahami. Cukup lama hingga mereka kembali. Agnes membawa majalah-majalah SCJ. Mereka baru saja mampir di blok romo-romo SCJ dari Indonesia [ketemu romo Mar katanya] dan diberi majalah.
Kini giliran saya yang hendak pergi. Loh, mau ke mana?
Mau balik ke Fuhlinger See. Ransel, sleeping bag sudah kukemasi. Kemudian acara pamitan dengan Agnes, Mbak Ina dan Stella. Sepanjang jalan banyak hal yang dapat dilihat: orang-orang pada antri di depan Dixi, cukup panjang loh... Saya berpikir, gimana kalo ada yang sudah mendesak sekali bertemu Dixi buat nyetor? Waduh, bisa repot. Syukurlah bahwa sepagi itu perutku bisa diajak kompromi sehingga tidak perlu bertemu Dixi.
Sisa-sisa keramaian semalam masih dapat terlihat. Lilin yang mencair di bak air besar yang ada di setiap blok. Kotak-kotak sisa makanan berserakan. Beberapa orang lewat memegang gelas kertas berisi minuman hangat...
Menjelang jam 10 pagi saya tiba di Gate 2. Banyak polisi berjaga di sana. Paus Benediktus XVI dan iring-iringan mobil baru tiba dan memasuki Marienfeld, sehingga jalan utama diblokade polizei. Setelah blokade dibuka, baru saya dapat melanjutkan jalan kaki ke pos jaga kami. Di sana ada Edward dan Estelle sedang bertugas. Mereka sempat menanyakan kabar saya semalaman... kujawab bahwa sejak tugas kemarin pagi saya belum sempat pulang, semalam bergabung di blok Volunteer yang ramai sekali dan tidur di bawah langit. Mereka sepertinya terpesona memandangku, karena mereka tidur di tenda khusus.
Untunglah ada bus yang berangkat pagi itu. Kata Edward, semua akses jalan diblok polizei saat Paus mengadakan misa pagi di Marienfeld. Beberapa kaum muda ikut juga dalam bus. Sebetulnya tujuan bus itu hanya berhenti di stasiun Sindorf, namun beberapa penumpang berhasil membujuk pak sopir sehingga mau mengantar sampai ke Koeln Messe. Sepanjang jalan mereka bernyanyi-nyanyi lagu yang kedengarannya seperti lagu anak TK: “lalala... busfarat... busfarat...” yang seringkali ditimpali oleh pak sopir dengan gembira.
Bus melewati jalan tol. Baru sekali ini saya menikmati perjalanan naik bus lewat jalan tol di sana, sambil ngantuk tentu saja. Tiba di Messe, saya langsung ke stasiun menunggu kereta ke Chorweiler. Sepi sekali suasana peron. Maklum saja semua peserta WYD masih berada di Marienfeld.
Di terminal Chorweiler, saya berkenalan dengan Anne. Dia sedang duduk dengan wajah kusut memegang ransel. Kami menunggu bus ke Seeberg arah Fuhlinger See. Sesekali dia bersin dan membersihkan hidung. Inilah yang membuat dia bertambah dongkol. Flu-nya menjadi makin parah akibat menginap di lapangan terbuka Marienfeld... Katanya hari Rabu besok dia harus berangkat ke Indonesia. Apa??
Iya, Anne sedang liburan sekolah, dan dia sudah jadwalkan keberangkatan ke Jakarta untuk menjumpai orangtuanya di sana. Kebetulan ayahnya kepala sekolah sebuah sekolah Jerman di Jakarta. Dia hendak ke Fuhlinger See buat mengemasi barang, check out, pulang ke rumah untuk berendam air hangat.
Tiba di Fuhlinger See, ibarat tiba di surga. “tent sweet tent” [versi lain dari “home sweet home”], ransel bawaan disimpan di kemah, kemudian pergi mandi dulu... Maklum, sejak kemarin pagi belum sempat mandi, hihihi...
Di tenda makan ada beberapa volunteer yang sedang asyik ngobrol sambil sarapan. Saya duduk semeja dengan Deepak, volunteer dari India, dan seorang India lagi yang sudah lama menetap di Amsterdam. Juga ada seorang cewek dari Minnesota. Tampaknya dia juga kesal sekali pagi itu. Katanya dia juga baru pulang dari Marienfeld. Dia coba bandingkan WYD tahun ini dengan WYD sebelumnya di Toronto, katanya ini yang terburuk baginya, transportasi ke lokasi payah, lalu fasilitas umum tidak dapat diakses dengan mudah. WYD sebelumnya di Toronto katanya lebih rapi terorganisir, semua kegiatan dilaksanakan di satu lokasi, all in one place, sehingga peserta tidak perlu berpindah-pindah lokasi. Lalu kami ngobrol tentang Amerika, Minnesota [yang mengingatkanku pada kisah Laura Ingalls ‘little house on the prairie’], Amsterdam dan beberapa tempat yang ada di pikiran kami.
Pukul 14 saya istirahat di kemah, di tengah kesenyapan danau Fuhlinger. Semilir angin sejuk sore itu membuat saya lekas tertidur meskipun hanya untuk sesaat. Pukul 15 saya sudah bangun untuk mandi. Jadwal saya sore itu ingin jalan-jalan ke pusat kota.
Museum Roman-Germanisch yang terdapat di sisi Dom rasanya terlalu sayang dilewati. Petunjuk mengenai pintu masuk di museum terkenal itu tidak jelas, sehingga setelah menitip tas ransel kecil yang kubawa, saya langsung masuk lewat pintu sebelahnya... saat sedang menikmati benda-benda kuno yang dipajang dalam lemari kaca, seorang perempuan petugas menghampiri saya memberitahu bahwa saya harus membeli tiket di counter depan. Khusus untuk peserta WYD diberi harga khusus tiket masuk 1 euro.
Setelah itu perjalanan sejarah peradaban Jerman dan dunia dimulai... Museum ini menyimpan koleksi benda-benda purba, tulang belulang, perkakas, perhiasan, persenjataan, serta diorama peradaban masa lampau.
Ada yang menarik perhatianku, sebuah tugu yang dibuat untuk memperingati seorang kekasih yang meninggal. Sebuah ode terpahat di sana. Tugu itu didirikan oleh seorang perempuan bangsawan untuk kekasihnya, seorang prajurit yang berasal dari kalangan kasta rakyat biasa. Mereka terpisahkan oleh tradisi. Dan menurut keyakinan, prajurit yang gugur tadi tak dapat bersatu dengan perempuan itu bahkan di dunia akhirat. Karena itu sang gadis menuliskan kalimat pada tugu dengan sangat sedihnya [sayang saya tidak mencatat terjemahannya, fotonya saja yang dapat saya ambil].
Hubungan Roma [sebagai pusat dunia] dan German di masa lampau tampak jelas dari pengaruh budaya dan arsitekturnya. Sejak tahun 20 SM Jenderal Agrippa dari Romawi menguasai Jerman dan kemudian dinamai: “Colonia Claudia Ara Agrippinensium”. Ada suatu sudut dalam museum berupa potongan lantai bermozaik kuno dan diding masa Romawi yang pernah dipakai sebagai setting tempat jamuan makan malam para pemimpin UE dan World Economic Summit, Presiden Bill Clinton, Jacques Chirac dan Gerhard Schroeder di tahun 1999.
Selesai mengunjungi museum, saya meneruskan jalan-jalan sore ke arah Neumarkt. Di jalan saya berpapasan dengan tiga orang ibu dari Indonesia: Ibu Helena, Ibu Helen dan Ibu Indri. Kejadiannya juga serba kebetulan. Mereka sedang ngobrol dalam bahasa Indonesia, dan saya menyapa mereka. Mereka juga surprise melihatku terutama setelah tahu bahwa saya dari Makassar, Indonesia. Dan sore itu saya berjalan hanya mengenakan kaos t-shirt dan sendal.
“Mas Toni kok tahan dingin ya, hanya pakai kaos dan sendalan...”, tanya mereka.
Saya cuma cengengesan. Maklum sudah alumni nginap semalam di Marienfeld. Mungkin karena itu saya dapat kebal dari cuaca dingin sore itu. Ibu-ibu itu sudah lama tinggal di Koeln dan mereka bercerita bahwa mereka baru saja mengantar seorang teman ke stasiun Koeln Hbf. Setelah bertukar alamat e-mail, kami pun berpisah dengan pesan dari mereka: “jangan lupa pakai jaket dan sepatu kalau jalan-jalan...” [hehehe... aku memang sengaja tidak bawa sepatu, karena penuh-penuhin ransel]
Sepanjang jalan ke Neumarkt, toko-toko pada tutup. Maklum hari Minggu, banyak toko libur. Bahkan pada hari Senin juga beberapa toko suka tutup, kata seorang teman. Saya berjalan sampai di depan toko legendaris itu: 4711. Parfum yang sangat terkenal di Indonesia pada tahun 1980-an. Sayang tokonya juga tutup, jadi saya hanya dapat memandang etalasenya. Terdapat poster-poster yang mengisahkan sejarah parfum 4711.
Ramuan rahasia parfum itu awal mulanya dibuat oleh seorang rahib, dan dihadiahkan kepada raja dalam pesta perkawinan. Ramuan tersebut kemudian dikembangkan dan diberi merek 4711, sesuai dengan nomor rumah yang ditempati. Rumah bersejarah itu sudah berubah menjadi pertokoan tempat saya berdiri sekarang.
Mbak Ina mengirim SMS memberitahukan bahwa jam 20 mereka akan tiba di Koeln Hbf dari Marienfeld. Saya diajak untuk makan malam bersama. Karena itu saya segera kembali ke stasiun Koeln. Sambil menunggu, saya masuk ke kios buku mengamati majalah, koran dan buku-buku... bahasa Jerman semua! Koran lokal mengangkat tema kunjungan Paus ke Jerman sebagai berita utama, beberapa koran memuat foto ukuran besar suasana Marienfeld yang begitu ramai.
Lewat pukul 20, stasiun makin ramai. Mbak Ina dan kawan-kawan tidak kelihatan. Saya memutuskan untuk balik ke Fuhlinger See agar tidak kemalaman. Sebelumnya beli sepotong pizza Hawaiian seharga Eur 1,50 untuk makan malam.
Di jalan, saya berkenalan dengan anak-anak Siberia: Xeniya, Luda dan Tanja. Kami asyik ngobrol sambil menunggu kereta tiba. Mereka bilang Siberia tidak sedingin yang orang bayangkan. Tempatnya asyik, ada salju dan sinar matahari. Mereka mengajak saya mampir ke sana... Waduh, jadi pingin deh jalan-jalan ke Siberia.
Dalam kegelapan malam di Fuhlinger See, saya berjumpa dengan seorang anak Portugal yang melangkah gontai menggendong ransel. Dia bercerita bahwa sudah 5 jam dia berjalan kaki dari Marienfeld ke sini. Macet, katanya. Kereta dan bus dari Marienfeld penuh sesak dengan peziarah yang hendak kembali ke Koeln. Waduh, membayangkannya saja menyeramkan. Karena tidak mau menunggu, dia memutuskan berjalan kaki kembali kemari. Rencananya, begitu tiba di kemah, dia ingin langsung tidur.
Tengah malam, saat sedang duduk-duduk menikmati pemandangan di pinggir danau, Hubert dan Julia datang menghampiriku.
“Toni, dari mana saja seharian?”
“Saya pulang dari Marienfeld pagi tadi...” jawabku.
“Semalam kamu nginap di Marienfeld?” tanyanya lagi.
“Yup”, jawabku singkat.
Lalu Hubert tertawa keras.
“You are crazy... kamu nginap di Marienfeld lalu pulang pagi-pagi...”, katanya meringis.
Saya menceritakan mengenai anak Porto yang tadi berjalan kaki 5 jam karena traffic jam.
Lalu saya mampir ke tenda makan untuk membuat teh panas. Di sana ada anak Malaysia, mereka juga baru kembali dari Marienfeld. Di ruangan sebelah tenda makan, musik menghentak-hentak... beberapa relawan sedang asyik berdansa.
Ini adalah malam terakhir bagi beberapa relawan yang akan pulang besok. Masa menginap kami di Fuhlinger See tidak lama lagi.
Sekarang saya dapat menikmati istirahat di dalam kemah, tempat pertama kali kami tiba di sini... seperti biasanya, di bawah taburan bintang-bintang.
Monday, October 24, 2005
Melamun di Dom 12: Children of the lesser God
jam 8:31:00 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment