Monday, October 10, 2005

Melamun di Dom 11: we have seen the star

20 Agustus 2005

Pukul 5 pagi saya sudah harus bangun. Karena acara kemas-kemas masih dilanjutkan, saking banyaknya barang bawaan yang harus disortir... selain itu shift pertama tugas pagi di Marienfeld adalah saya dan Fulques. Kami sudah janjian bertemu di Messe jam 7.30. Saya berencana menyimpan ransel besar di mesin penitipan barang otomat di Koeln Hbf, tarifnya 2 euro per hari.

Armel muncul di tengah kesibukan berkemas. Dia bilang tas ransel saya disimpan saja di atas lemari, romo yang nginap cuma semalam saja di kamar. Jadi saya terbebas dari rencana ke Koeln Hbf buat menyimpan ransel. Saya dapat berlenggang ke Messe dengan hanya membawa ransel kecil, sleeping bag dan bedroll [duhai bedroll, hingga sekarang aku belum pernah menggunakanmu...].

Tiba di Messe, cukup sulit menemukan di mana tempat pemberangkatan bus. Messe luas sekali. Aku mengikuti anak-anak muda yang baru turun dari kereta dan berjalan melewati terowongan hingga tiba di shelter bus khusus ke Marienfeld. Banyak sekali relawan yang menunggu untuk diberangkatkan. Bus yang tersedia cukup banyak. Setiap 3 menit bus berangkat dan terisi penuh.

Pukul 7, saya menunggu Fulques. Tuh anak belum tiba dari Fuhlinger See. Jadi saya gunakan sleeping bag yang masih tergulung sebagai alas duduk. Setiap rombongan relawan yang datang saya perhatikan. Beberapa menit berlalu, Fulques belum muncul juga. Nomor hp-nya saya tidak punya.

Yang muncul justru Mariana, si jejak petualang...
“Eh lu orang ke mana saja...”, langsung saya menyamperinya. Dia cuma cengengesan menenteng ransel sambil memperkenalkan teman grupnya. Katanya dia nginap di Messe selama ini. Kemudian dia pergi bersama arus relawan yang naik ke bus. Dasar, Mariana. Tuh anak sempat dicari-cari sama mbak Ina dan Agnes. Saya cuma bilang tuh anak gak usah dicari, ntar muncul sendiri... benar kan?

Pukul 7.30 Fulques belum muncul, jadi saya ikut dengan bus ke Marienfeld. [Tadi sempat sakit perut, tapi nggak usah saya cerita mengenai perjumpaanku dengan Dixi di pagi yang cerah itu, ya... hehehe].

Sekitar jam 9 bus kami tiba di Marienfeld. Yang tiba sepagi itu di Marienfeld adalah para relawan yang membantu menyiapkan tempat. Siang nanti barulah peserta berbondong-bondong memasuki Marienfeld.

Florian Jung rupanya nginap di sini semalam. Markus dan Kristina juga sudah ada, tapi saya tidak tahu apakah mereka juga nginap sejak malam tadi.

Fulques sempat nelpon ke Jung. Tahu nggak, dia bilang lagi nyasar naik kereta ke Aachen. Aachen? Itu kan berlawanan arah dari Koeln. Ya ampun, Fulques! Ternyata orang Eropa bisa juga nyasar di sini.... hehehe. Maklum sih, bahasa Jerman beda banget sama bahasa Perancis. Aku sempat ngirimi Fulques sms berupa petunjuk ke Messe: “It’s Toni. Just go to Koeln Messe and follow the volunteers there. Ask the officer with white suite. You will pass the tunnel and find buses line. See u, Fulques!” [maklum sms itu belum kuhapus. sesudah ini baru dapat kuhapus karena sudah tersimpan...]

Nggak tahu apakah sms tsb bermanfaat apa tidak, yang pasti beberapa saat kemudian baru dia muncul sambil cengar-cengir... dia nyasar betulan sampai ke Aachen. Jung kemudian beristirahat di tenda. Kami berdua berjaga di posko. Kristina minta bantuan kami untuk mengatur ransum berupa kotak-kotak makanan dan bungkusan roti tawar. Kotak makanan disusun menyerupai tembok benteng, dan kemudian bungkusan-bungkusan roti tawar ditaruh di dalam.
Yang dia kuatirkan adalah bila hujan turun sewaktu-waktu. Dengan mudah terpal dapat ditutup di atas “benteng makanan” ini. Ramalan cuaca cukup mencemaskan, katanya diduga hujan akan turun pada puncak perayaan WYD di Marienfeld. Apalagi langit terlihat agak mendung.

Kemudian security vest alias rompi relawan untuk jaga malam dalam dos-dos musti kami turunkan dari mobil, lalu dibagikan ke relawan yang baru tiba. Fulques semangat sekali mengangkut dos-dos itu. Asyik bila dapat rekan yang semangat juangnya tinggi.

Agak siang, Edward dan Estelle tiba. Jam 13 mereka menggantikan tugas kami di pos jaga.
Markus kemudian memanggil kami dan meminta untuk mengantarkan sepeda ke relawan di Frechen. Sepeda yang dimaksud adalah sepeda Deutsche Bahn [DB], keren sekali dengan kunci digital. Saya dan Fulques bersedia melaksanakan tugas itu. Frechen terletak sekitar 5 kilometer dari situ. Sesudah itu kami musti pulang dengan berjalan kaki ke tempat ini...

Yah... yang penting bisa bersepeda, ya toh?
Maka saya dan Fulques mengayuh sepeda sambil membawa peta yang diberikan Markus. Cukup sulit juga menentukan arah, karena melewati hutan-hutan. Tapi asyik sekali pakai sepeda DB, ada persenelingnya. Yang payah waktu melewati tanjakan bukit-bukit, musti dikayuh sambil ngos-ngosan... hehehe, rupanya saya sudah cukup tua untuk hal ini.

Singkat cerita, kami tiba di Frechen dengan sehat walafiat. Sepeda DB kami berikan kepada yang berhak... dan kami pulang berjalan kaki. Apa?? Nahhh... ini dia yang menarik. Seperti anak hilang kami berjalan kaki pulang. Lalu saya tanya Fulques, berani nggak hitching?
“What? Hitching?? What is hitching?” tanyanya culun.
Lalu saya jelaskan bahwa menurut buku Lonely Planet, hitching itu nama lain dari nebeng alias numpang di mobil orang. Soalnya ada turis yang modal cekak suka ‘hitch hiking’ di daratan Eropa... lalu dengan tenangnya dia mengacungkan jempolnya setiap kali ada mobil yang lewat.

Saya nggak berani melihat dan menahan tawa saat mobil tersebut dengan tenangnya melewati kami... hahaha. Ada beberapa mobil berlalu. Mobil berikutnya sebetulnya sudah melewati kami, namun kemudian direm. Thanks to God. Rupanya ada juga yang tergerak hatinya memberikan tumpangan kepada dua pemuda nyasar...

Pengemudinya seorang ibu. Dia mengenali kami dari kaos WYD yang kami kenakan dan menebak bahwa kami hendak ke Marienfeld. “Benar sekali...”, serempak kami menjawab. Di belakang kaos kami memang tertulis menyolok ‘volunteer’.
Lalu ibu itu bertanya saya berasal dari mana. “Indonesia”, jawabku. “France”, jawab Fulques. Langsung ibu yang baik hati itu ngomong dalam bahasa Perancis sama Fulques. Kami diturunkan di pinggiran Marienfeld karena ibu itu mau meneruskan perjalanan ke tempat lain. Itu saja sudah merupakan berkah buat kami sehingga tidak perlu berjalan kaki beberapa kilo. Mukjizat lagi?

Kami menempuh jarak yang tersisa melalui hutan dan melintasi ladang. Rombongan peziarah mulai ramai memasuki kawasan ini. Akhirnya tiba di posko kami... Fulques rencananya mau balik ke Koeln untuk ambil cucian di Ursulinen.

Jung sudah bangun dan memegang sebuah sepeda DB. Saya ingin ke lokasi dalam Marienfeld, soalnya di jalan tadi Agnes sms meminta saya datang ke tempatnya di blok B5, katanya ada Jayadi, mahluk Indonesia yang studi di Jerman. Maka saya meminjam sepeda DB yang dipakai Jung untuk masuk ke dalam lokasi.

Inilah kesempatan saya pertama kali meninjau lokasi ‘perkampungan’ peziarah yang akan dipakai nginap malam nanti.

Wow, ramai sekali... sepanjang jalan penuh dengan kaum muda yang baru datang membawa ransel besar dan sleeping bag, berpapasan dengan mereka yang membawa kotak makan siang. Macet sungguh... sepeda DB yang saya kendarai musti dengan bunyi lonceng klakson, ucapan “excuse me”, sambil tak lupa tersenyum... biasanya mereka pun dengan senang hati minggir, apalagi karena saya mengenakan kaos volunteer.

Beberapa kali nyasar, karena saya tidak membawa denah lokasi... baru kemudian tiba di blok B5. Ini tempat dikhususkan bagi para volunteer menginap. Seragam merah semua, jadi ada sekitar 3 kali saya mengitari tempat ini mencari wajah Indonesia bernama Agnes. Dan ketika sudah hampir putus asa, ya astaga, dia ada di sana sedang duduk ngobrol... Saya pun berkenalan dengan Jayadi. Katanya dia nginap di blok lain.
“Agnes sudah makan?” tanyaku dengan manis.
Dijawab Agnes: “belum”. Maka aku pun bercerita bahwa kami punya ‘benteng makanan’ di luar sana. Kalau mau aku ambilkan. Agnes setuju, jadi aku musti balik buat mengambilkan makanan.

[sebetulnya rencana saya sore itu mau balik ke Fuhlinger See untuk beristirahat di kemah kami yang permai]
Sepeda DB kukembalikan dan dikunci secara digital dulu. Lalu aku minta beberapa dos makanan pada Kristina yang diberikannya dengan senyum manis. Kemudian aku berjalan kaki kembali memasuki areal yang penuh sesak dengan manusia. Kali ini aku membawa denah lokasi, jadi mudah mencari jalan terdekat...

Beberapa kali nyasar di blok B5 sebelum bertemu Agnes... soalnya semua memakai seragam merah sih. Agnes senang sekali melihat aku datang. Bedroll-ku sekarang bisa digelar di atas bedroll-nya yang luas sekali. Di sekitar kami sudah penuh dengan para relawan, sehingga sulit mencari lahan kosong.
“Eh Ton, Armel ada di blok lain... kasihan tuh, katanya dia belum dapat makan. Aku bawakan ya dos makanan untuk dia...”, kata Agnes.
Dan sekarang aku sendiri. Matahari sore bersinar terik. Konser musik ditayangkan di layar lebar di setiap blok. Aku coba berbaring untuk istirahat.

Sewaktu berjalan ke sini tadi aku sempat merasa sesuatu yang aneh di hatiku... di tengah lautan manusia dari segala bangsa ini, apa gerangan yang menginspirasikan sehingga kami datang ke sini? ‘Kegilaan’ macam apa ini? Kemudian dengan rasa tak percaya, terbersit rasa bangga bahwa kini aku menjadi bagian dari lautan ini. ‘we have come to worship Him’.

Agnes membeli beberapa kandil untuk acara nanti malam. Baik sekali tuh anak. Dia mau ngajak Stella dan mbak Ina beramai-ramai nginap di atas bedroll-nya. Aku pergi mencari air minum... berjalan melewati deretan boks Dixi. Oh ya, ada toilet khusus di tempat terbuka untuk pria buang air kecil. Terbuat dari plastik berbentuk bundar dan dibagi 4 bagian. Jadi empat orang bisa pipis bersamaan, di tengahnya ada lubang saluran penampung. Terus, untuk cuci tangan, nggak pakai air, cuma pakai dispenser cairan pencuci tangan yang mirip alkohol.

Keran air minum tersedia untuk peziarah. Di sana saya mengisi botol minum. Sayang botol yang saya bawa ukuran 500ml, botol-botol besar sudah kubuang karena terlalu makan tempat. Padahal untuk saat ini saya butuh botol besar daripada harus bolak-balik ngantri untuk isi air minum.

Jam 20, Paus Benediktus XVI tiba. Peserta ramai sekali mengelu-elukan: “be-ne-det-to...’ berulang kali. Beliau menumpang di mobil papal yang anti-peluru itu. Kami memandangnya dari layar lebar. Kelihatan dekat sekali namun jauh di atas bukit yang khusus didirikan sebagai panggung.

Ibadat dimulai saat hari senja. Lilin-lilin dinyalakan. Tempat ini semakin penuh dipadati peziarah. Tidak hanya kaum muda, ada juga kakek-nenek, bahkan anak-anak kecil dalam kereta bayi. Mereka akan menginap semalam suntuk di lapangan terbuka Marienfeld. Termasuk orang cacat yang ditemani paramedis.

Selesai prosesi ibadat malam, sekarang kami hendak beristirahat. Sleeping bag digelar. Bayangin, 4 sleeping bag di atas matras Agnes: aku, mbak Ina, Stella dan punya Agnes sendiri. Posisi Agnes terjepit di bawah kaki Stella dan mbak Ina. Maklum badannya kecil jadi bisa nyungsep... hehehe.

Aku dapat memandang bintang-bintang di langit serta embun yang berjatuhan dari langit... sebuah pengalaman yang sangat berkesan.

Sungguh, kami telah melihat bintangNya!

dikau

engkau di sini
berbayang malam
saat kusandarkan letih
di pundakmu

terbanglah, terbangkan
tidurku
dengan sayap malam
dan titian angin
akan kutunjukkan
tempat para peri bersama manusia
di mana
setiap kisah tak kunjung akhir

No comments: