tulisan Karlina benar-benar bernas sebagai refleksi akhir tahun 2007. ada beberapa frasa yang menawan: bebal, lalai, abai, dan 'semua dinding adalah pintu'...
Refleksi Akhir Tahun
Republik Alpa
Karlina Supelli
Apakah yang kita rayakan kala tahun kalender berganti? Tak seorang pun bisa melepas masa silam. Bahkan saat Paus Gregorius XIII mengubah perhitungan kalender hingga dalam semalam orang melesat dari tanggal 4 ke 15 Oktober 1582, tak sepotong waktu pun tercuri.
Di tengah kegaduhan menyiapkan pesta, mungkin kita juga minta peramal membaca tanda- tanda peristiwa yang akan datang. Apakah tanda itu berisi harapan atau kematian, tidak lagi relevan. Yang utama ialah mengulang ritual gaduh akhir tahun. Mungkin inilah cara kita melupakan barisan kelalaian yang berlarian meninggalkan korban berceceran di seluruh negeri. Indonesia ialah sebuah kisah tentang alpa.
Lalai dan abai
Dalam pekan terakhir 2007 peta Indonesia sesak oleh tanda merah bencana, menyambung lebih dari 200-an bencana besar-kecil sepanjang tahun. Sebagian besar dipicu oleh peristiwa alam. Ratusan orang tewas dan puluhan ribu menjadi pengungsi. Namun, mengatakan bahwa Indonesia kerap ditimpa bencana karena terletak di jalur rawan gempa, sama dengan mengulang pelajaran IPA kelas empat SD.
Menuduh alam adalah cara murah menyembunyikan kelalaian serta kelambanan mengatasi dampak bencana. Itu juga siasat melarikan diri dari tanggung jawab atas kesembronoan. Jika perlu jalan pendek untuk berkelit, sebutlah semua itu takdir alias musibah yang menyergap dari langit.
Permukaan Bumi seperti kulit telur rebus setengah matang yang retak-retak. Bedanya, pusat Bumi terus bergejolak sehingga potongan-potongan di atasnya saling dorong, saling tindih, dan saling tekuk. Hanya oleh pilihan manusia—atau sebaliknya, keterpaksaan—peristiwa-peristiwa alam beralih menjadi bencana.
Berhadapan dengan sesama dan alam, manusia gampang cedera. Kerentanan adalah kondisi manusia. Hanya saja, ringkasan semacam ini mengubur terlalu banyak detail. Tidak semua dimensi kerentanan manusia bersifat kodrati. Kerentanan juga perkara hubungan antara cuaca kultural kita dan brutalitas pertarungan materi yang menandai sejarah dewasa kini. Dalam pertarungan itu kerentanan merupakan potret buram tata sosial, ekonomi, dan politik, yang cirinya adalah kesenjangan akses.
Alam tidak mengenal ras, usia, agama, jender, dan kelas. Namun, ketika terjadi kekeringan, hanya kaum papa yang mati kelaparan. Kala gempa, anak- anak dan perempuan yang merupakan korban terbanyak. Kerentanan bukan hanya perkara ketiadaan daya ketika malapetaka menimpa. Kerentanan terutama berisi ketiadaan kebebasan ke berbagai sumber daya yang menyangga seseorang agar berkemampuan sebagai manusia.
Andai petani gurem di lereng-lereng curam punya agunan yang bisa ia tukar menjadi modal, andai ia punya cukup uang dan kemudahan mendapatkan informasi, ia tentu menyewa lahan yang tidak rawan longsor untuk bercocok tanam. Rumahnya tidak roboh menimpa anak-anak karena ia punya pilihan untuk membangun rumah tahan gempa. Tetapi pengandaian itu hanya ada dalam cita-cita.
Bagi kaum papa yang tertimpa malapetaka, cita-cita adalah kemewahan yang di ujung hari terasa menyiksa. Litani ini kedengaran biasa-biasa saja kecuali dengan mata tajam kita menyimak putusan-putusan pengadilan. Meminjam ungkapan tokoh desa yang enggan disebut namanya, kita hidup di bawah sistem hukum yang mirip sarang laba-laba. "Ia menjerat serangga tetapi porak poranda oleh terpaan burung".
Kendati mengakibatkan kehidupan puluhan ribu keluarga porak poranda, pesawat tergelincir atau hilang, pengungsi silih ganti, hutan gundul atau terbakar, kita bebal dalam kesembronoan. Dalam kebebalan itu terlibat nasib begitu banyak orang yang tidak akan pernah berubah kendati pemerintah dan bahkan generasi berganti.
Berurusan dengan perilaku abai, lalai dan sembrono dalam skala seluas negara tampaknya memojokkan kita lagi ke pertanyaan tentang kemungkinan hidup bersama. Padahal, kata bersama licin bagi tafsiran. Penggusuran paksa warga miskin dilakukan dengan alasan mulia kepentingan bersama. Kisah di lapangan menunjuk ke fakta bahwa itu berarti pembangunan sentra bisnis dan permukiman mewah.
Apakah kita perlu belajar lagi dari sejarah lahirnya demokrasi modern? Bukankah dari barisan omongan akhir-akhir ini tampaknya kita masih mendambakan demokrasi sebagai prinsip penataan hidup bersama? Demokrasi modern bertumpu di atas pengalaman mereka yang paling tertindas oleh watak otoriter kekuasaan. Dan mereka tentu bukan pemilik uang maupun pemangku kekuasaan yang jumlahnya segelintir, melainkan rakyat kebanyakan.
Dari situ turun pengandaian yang masuk akal. Benih demokrasi tumbuh dalam prinsip bahwa keputusan yang menyangkut jatuh bangun pemenuhan kebutuhan pokok yang menyangga kehidupan bersama, hanya sahih jika bertumpu di atas kondisi hidup-mati rakyat biasa yang paling rentan terhadap dampak keputusan itu.
Semua dinding adalah pintu
Pokok di atas membuat kita sesak. Kita sadar bahwa bencana tidak berkurang kendati pun kita punya ilmu dan teknologi untuk mendeteksi peristiwa-peristiwa alam. Paling-paling kita mengurangi dampaknya, kecuali kita juga rela menata ulang konsesi lahan, hutan, sumber air, perbaikan pendidikan dan upaya kesehatan, distribusi informasi dan lain-lain. Tepat di sinilah kita terbentur tembok kepentingan ekonomi-politik. Di balik tembok itu berlindung para pebisnis dengan pundi-pundi yang bisa membayar transaksi apa saja, termasuk nyawa manusia asalkan ada janji laba.
Kita boleh gusar karena tidak menemukan jalan keluar. Bagi warga miskin, jalan keluar artinya bagaimana bertahan hidup dalam manuver penyangkalan dan pengabaian. Bagi mereka situasi darurat bukan pengecualian, bukan situasi khusus akibat peristiwa luar biasa, melainkan suasana hidup sehari-hari. Bagi ibu hamil, contohnya. Melahirkan adalah proses alami, tetapi adalah bencana jika setiap jam dua ibu mati dalam proses itu. Kita alpa menandainya sebagai bencana karena kematian dalam brutalitas hidup sehari-hari dianggap perkara "biasa".
Apa yang mencengangkan adalah potret faktual bahwa yang rentan dan terabaikan ternyata yang paling mengerti bahwa jalan keluar tidak perlu dicari ke sana dan kemari. Pintu ada di setiap tembok yang menghadang mereka ke hampir semua akses untuk bisa hidup secara manusiawi. "Semua dinding adalah pintu" (RW Emerson, 1803-1882).
Istri nelayan menyiasati situasi darurat sehari-hari dengan menjadi penjual bakulan hasil tangkapan nelayan. Ketika dengan cara itu pendapatan keluarga meningkat, istri-istri nelayan Desa Moro, Kabupaten Demak, mendirikan Puspita Bahari. Cita-cita mereka sederhana: membebaskan diri dari jerat lintah darat yang selama ini mengangkangi akses ekonomi suami-suami mereka.
Sekelompok ibu miskin di kaki bukit Ungaran menghidupkan lagi ritual benih mulai dari menyisihkan biji terpilih, menangkar, mengolah tanah, menyemai, sampai menuai panen yang sekaligus menghasilkan benih baru untuk musim tanam berikut. Inilah perlawanan diam-diam bagi kebebasan pangan yang terampas setelah tiga sumber keramat petani—benih, air, dan lahan—dimangsa perusahaan-perusahaan besar.
Di beberapa desa di Aceh yang hancur akibat tsunami 2004, ibu-ibu punya cara lain menyiasati ekonomi keluarga yang belum juga pulih. Serupa dengan ibu-ibu di kawasan kumuh Jakarta dan Malang, Jawa Timur, mereka mengembangkan usaha sederhana. Karena tak punya benda berharga, agunan mereka adalah kepercayaan yang dijamin kelompok. Bagi mereka, transaksi ekonomi sekaligus merupakan cara mengembalikan sosialitas yang remuk ditelan sistem perekonomian modern.
Bahwa kemudian mereka punya akses ke politik—ikut mengambil keputusan di desa entah waktu banjir atau pemilu—dan posisinya secara kultural naik karena menafkahi keluarga jika bukan malah menjadi kepala keluarga, adalah konsekuensi logis dari keberhasilan menyiasati cara pandang yang selama ini memaksa mereka menerima keniscayaan kerentanan.
Kita punya dua pilihan mengurangi bencana. Tetap berharap dengan gagap akan ada perubahan radikal dalam cara merawat hidup bersama, yang hampir-hampir mustahil dalam mesin ekonomi-politik yang dijalankan dengan kebebalan. Atau, percaya bahwa kelompok paling rentan pun mampu menghidupkan kembali gugus penyangga hidup bersama mereka. Kendalanya? Lagi-lagi sifat alpa para pengelola negeri yang tidak peduli dengan dinamika riil warga biasa, tetapi sibuk melayani kepentingan korporasi. Gerakan akar rumput dipandang sebagai sekadar upaya menyulam bolong-bolong yang ditinggalkan ekonomi-politik dominan dewasa ini. Sesungguhnya, mereka mewahyukan solusi bagi Republik yang sedang dibenamkan oleh pendekatan yang sarat kealpaan. Sebuah pendekatan yang menyeret negeri ini tenggelam dalam genangan malapetaka.
Selamat Tahun Baru 2008.
Karlina Supelli Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Monday, December 31, 2007
Refleksi Akhir Tahun: Republik Alpa
jam 1:58:00 PM 0 komentar
tahun baru lagi?
"Teguk air tawarmu, bila kau masih punya,
tapi jangan ucapkan Selamat Tahun Baru,
karena itu sumpah palsu yang melawan nasibmu,"
kata seorang penyair. (Asal-usul, Suka Hardjana)
jam 1:55:00 PM 0 komentar
Saturday, December 29, 2007
perayaan natal oikumene tahun ini
perayaan natal oikumene kota Makassar tahun ini adem bahkan teman saya bilang menjemukan. panitianya dari PGI. sampai saat terakhir masih banyak yang belum tahu bahwa acara digelar pada 29 Desember 2007 pukul 18.00. sebelumnya tersiar kabar rencana diadakan pada 30 Desember 2007.
hadirin yang datang natalan oikumene jumlahnya sedikit, sehingga panitia perlu minta maaf atas kekurangsigapan panitia menginformasikan acara ke masyarakat.
tidak hanya itu, menurut saya, panitia natalan jelas-jelas melakukan kesalahan: menganggap dan melaksankan perayaan natal tahunan sebagai rutinitas belaka. sound system yang disediakan di tempat acara benar-benar memprihatinkan kualitas suaranya.
pidato Wakil Gubernur, Syahrul Yasin Limpo, yang sangat bersemangat itu sampai tidak dapat didengar secara jelas.
ketidakhadiran Bapak Gubernur Amin Syam pada acara ini juga menimbulkan permakluman masing-masing. apakah beliau sakit? ataukah terkendala masalah kisruh Pilkada?
cuma berharap perayaan natal tahun ini bukan cerminan kisruh situasi politik Sulawesi Selatan saat ini dan di tahun mendatang.
Friday, December 28, 2007
bendera setengah tiang buat Benazir Bhutto (1953-2007)
"And to push for peace is ultimately personal sacrifice, for leadership is not easy. It is born of a passion, and it is a commitment. Leadership is a commitment to an idea, to a dream, and to a vision of what can be. And my dream is for my land and my people to cease fighting and allow our children to reach their full potential regardless of sex, status, or belief".
Benazir Bhutto
cantik, cerdas, gagah
dia pergi meninggalkan Musharraf
dan seribu galau di hati Pakistan
bahkan mungkin dunia
yang semakin panas
dan terkeping-keping
membara
peluru sang pembunuh
mungkin tak menyentuhnya
tak pernah
tak akan pernah
setelah berkali-kali
coba dibidik kepadanya
hatinya terbuat dari baja
semangatnya mengalahkan kobaran api
ledakan bom sang pengecut
dunia tidak tidur
dunia berjaga
di sampingmu, Benazir!
jam 5:39:00 PM 0 komentar
Label: ode
Thursday, December 27, 2007
"pilkada diulang 10 kali pun, saya tidak takut..."
demikian diucapkan Syahrul Yasin Limpo saat menghadiri Open house Natal di Keuskupan Agung Makassar. beliau didaulat tampil di depan sebenarnya untuk bernyanyi. namun akhirnya beliau menyampaikan beberapa amanat, antara lain bahwa menjadi gubernur bukanlah tujuan akhir, melainkan cara untuk melayani rakyat.
"kapan republik ini bisa maju jika masih tercabik-cabik oleh ketidakadilan?" tanya Syahrul yang disambut dengan tepuk tangan. "masakan bila ada 4 orang sakit di sebuah kampung, yang disuntik malahan semua penduduk kampung? masakan ada 40.000 suara yang diributkan bermasalah, justru 1.100.000 pemilih disuruh memilih ulang oleh Mahkamah Agung?"
Syahrul hadir sejak pukul 12 siang dan terlihat duduk menikmati santap siang semeja dengan Bapa Uskup Agung Mgr. John Liku-Ada; Sekretaris KAMS P. Frans Nipa; dan Yongris dari kalangan Budhis (FKUB).
tahun lalu, Syahrul juga sempat menghadiri acara serupa di tempat ini. namun, suasana kehadiran beliau saat ini terasa sangat berbeda sehubungan dengan kasus yang mencuat di seputar Pilkada daerah ini yang baru saja diputuskan MA untuk mengadakan Pilkada ulang di empat daerah. beberapa pihak menyayangkan keputusan MA yang dinilai tidak bijaksana karena berpotensi memunculkan konflik horisontal antar-warga masyarakat Sulawesi Selatan.
setelah Syahrul pergi sekitar pukul 13.00, pada pukul 14.00 Bapak Gubernur Amin Syam tiba bersama isteri di Keuskupan Agung Makassar. suasana terasa sedikit kaku, apalagi di luar hujan mengguyur dan hawa dingin cukup terasa.
sayang sekali momen ini tidak saya abadikan dengan kamera (juga saat kehadiran Syahrul pada Open house Natal tahun lalu).
semoga di tahun 2008 semuanya berjalan dengan baik, aman dan nyaman buat semuanya.
Saturday, December 22, 2007
pencinta
Aku mencintaimu tanpa mengerti bagaimana, sejak kapan, atau dari mana
Aku mencintaimu dengan sederhana, tanpa kebimbangan, tanpa kesombongan
Aku mencintaimu seperti ini, karena tak ada lagi cara lain untuk mencintai
[Soneta XVII, Pablo Neruda]
jam 9:20:00 PM 0 komentar
siapa mengalahkan siapa
waduh, ternyata tulisan saya Akhir Pesta Demokrasi di Sulawesi Selatan masih ada kelanjutannya dengan peristiwa terbaru yang terjadi Kamis (19/12): Mahkamah Agung memutuskan untuk mengadakan Pemilihan ulang di empat daerah: Gowa, Bantaeng, Bone, Tana Toraja.
akibatnya mudah ditebak. Makassar dinyatakan dalam kondisi siaga satu. banyak unsur ketidakpastian yang akan terjadi pasca-Putusan MA.
namun yang pasti telah terjadi dalam urutan peristiwa Pilkada:
1. Gubernur Amin Syam mengalahkan Kristus pada Perayaan Natal 2006.
2. Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Makassar mengalahkan 120.000 umat Katolik dengan klaim Umat Katolik Sulsel mendukung pasangan Asmara (Amin Syam - Mansyur Ramli).
3. Hakim Agung MA berhasil mengalahkan jutaan suara konstituen warga Sulsel dengan memutuskan pemilihan ulang.
lalu siapa yang akhirnya mengalahkan siapa? bagaimana akhir Pesta Demokrasi di Sulsel?
melodrama Pilkada Sulsel naga-naganya masih akan berlangsung hangat. menurut rekan saya, keempat lokasi tempat akan diadakan Pilkada ulang tepat mewakili kerajaan-kerajaan (Gowa Makassar, Bone, Mandar, Toraja) serta kenangan akan gesekan/konflik yang pernah terjadi antar-kerajaan tersebut.
semoga Pesta Demokrasi berakhir damai.
bukankah demikian tujuan demokrasi sebagai instrumen pemerintahan modern, bukannya dengan cara-cara kekerasan dan kuno zaman baheula.
jam 9:41:00 AM 0 komentar
Label: pilkada
Friday, December 21, 2007
kabar lutju di akhir tahun
kabar ini sempat membuatku tertawa dan berkata: "hari gini... hahaha"
Gara-gara Cowok, Tiga Cewek Berkelahi di Rappocini
Makassar, Tribun - Tiga cewek warga Lorong 9, Jl Rappocini, Makassar, Kamis (19/12), terlibat perkelahian gara-gara berseturu memperebutkan seorang cowok. Perkelahian tersebut dilakukan dengan saling mencakar, menjambak rambut, dan baku tampar. Peristiwa heboh yang terjadi sore hari ini, memancing perhatian warga sekitar.
Mereka yang berseteru adalah Nini, melawan Jumiati dibantu Yeti. Mereka baru berhenti berkelahi setelah sejumlah warga di sekitar tempat kejadian melerainya.
Merasa sebagai korban, Nini lalu melaporkan Jumiati dan Yeti dalam kasus penganiyaan yang dilakukan secara bersama-sama. Nini ditemani seorang temannya melaporkan hal tersebut ke petugas Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polresta Makassar Timur.
"Saya tidak tahu masalahnya, dia tuduh saya merebut pacarnya. Saya melapor karena mereka melakukan pengeroyokan. Mereka juga yang mendatangi rumah saya sehingga terjadi pengeroyokan," kata Nini kepada polisi.
Nini mengalami luka ringan di bagian wajah dan kepala. Kasus ini resmi ditangani Satreskrim Polresta Makassar Timur. Korban pun telah menjalani berita acara pemeriksaan oleh penyidik.
jam 9:09:00 AM 0 komentar
Thursday, December 20, 2007
ranting 8
saljukah itu
yang menumpuk pada tangkaimu?
dan angin dingin
resah pergi ke mana
adakah bintang-bintang
yang menerangi malammu?
sementara malaikat bersenandung
dengan petikan gitar usang
jangan tidur malam ini, katanya
berjagalah, tangkai, ranting dan dahan,
bintang gemintang
dan angin malam, kekasihku
seorang bayi lahir di sini
dari luka, duka, dan perih
ia membuat
semuanya tersenyum hangat
jam 1:03:00 AM 0 komentar
Sunday, December 16, 2007
sebatang lilin merah jambu
sebatang lilin merah jambu yang menyala hari ini
dan lampion merah yang selalu kunyalakan di rumah
mengingatkanku akan empat keping penantian hati
dan sepotong sukacita
rejoice!
ia sudah dekat, amat dekat bahkan mendekat
rejoice!
jangan surut, murung dan terkurung
lilin merah jambu nyalanya sama
dengan lilin-lilin lain
namun ia sangat berbeda
warnanya persis sama dengan rindu hatiku
simplicity
kesederhanaannya
be strong!
kuatkanlah hatimu
ia makin dekat
makin dekat
dekat
di sini
ia menyisakan lubang di hatiku
jam 7:12:00 PM 0 komentar
Thursday, December 13, 2007
path
Do not go where the path may lead, go instead where there is no path and leave a trail. ~Ralph Waldo Emerson (1803-1882)
jam 8:06:00 PM 0 komentar
Saturday, December 08, 2007
Saturday, December 01, 2007
today
gak kerasa sudah bulan desember lagi, sudah hampir akhir tahun... pas ketemu lagu yang kedengaran enak sekali dengan lirik yang cukup dalam. dinyanyikan oleh Emi Fujita, album Camomile Classics. coba dengerin lagunya...
Today
(Words and Music by Minstrels' leader Randy Sparks)
Today while the blossoms still cling to the vine
I'll taste your strawberries, I'll drink your sweet wine
A million tomorrows shall all pass away
Ere I forget all the joy that is mine today.
Now I'll be a dandy, and I'll be a rover.
You'll know who I am by the song that I sing.
I'll feast at your table, I'll sleep in your clover.
Who cares what tomorrow shall bring.
I can't be contented with yesterday's glory.
I can't live on promises, winter to spring.
Today is my moment, and now is my story.
I'll laugh and I'll cry and I'll sing.
Today while the blossoms still cling to the vine
I'll taste your strawberries, I'll drink your sweet wine
A million tomorrows shall all pass away
Ere I forget all the joy that is mine today.
jam 9:38:00 PM 0 komentar
Label: song lyrics