Tuesday, February 05, 2008

Layakkah Tempo mendudukkan Soeharto di kursi Yesus?


Selasa sore (5/2) mendapat kabar dari seorang rekan mengenai cover majalah Tempo terbaru yang diprotes kelompok Katolik. langsung saya menghidupkan laptop mencari kabar di internet, dan beruntunglah teknologi memungkinkan info ini diperoleh dengan lekas. ya, lukisan serupa The Last Supper Leonardo da Vinci ditaruh di gambar cover Tempo, namun posisi Yesus digantikan oleh Suharto dengan rambut putih dan pakaian putih. para rasul digantikan para putera-puteri mahkota Cendana.

luar bisa! pikirku. bisa-bisanya majalah sekelas Tempo perlu mengambil karya seni da Vinci untuk menjadi inspirasi eksplisit cover Edisi Khusus Soeharto. karya seni yang dialihrupa juga tidak main-main, sarat dengan nuansa keagamaan sehingga bisa terpeleset karena multitafsir.

untuk mengetahui bagaimana persisnya majalah Tempo yang menghebohkan itu, meskipun cuaca buruk di luar dan hari sudah malam, kupacu kendaraan ke kios majalah. dengan membayar Rp 25.000,- majalah Tempo Edisi. 50/XXXVI/04-10 Februari 2008 kubawa pulang.

sesampai di rumah, kubolak-balik sekilas isinya. pada halaman 4 terdapat komik berjudul "Tujuh Tahun Jantung Berdebar" mengisahkan bagaimana edisi khusus ini dipersiapkan sejak tahun 2001! bila demikian bisakah disimpulkan bahwa gambar cover kontroversi tersebut juga sudah lama dipersiapkan? mengapa redaktur Tempo tidak mempertimbangkan aspek sensivitas keagamaan masyarakat?

sayang sekali bila sajian Edisi Khusus Soeharto yang bernas, kritis dan berani, kehilangan pijakan akibat pesona cover yang diributkan.
misalnya, penuturan Korban Penculikan era Soeharto pada artikel: "Di Kuil Penyiksaan Orde Baru":
Ada perintah pada masa Orde Baru, untuk menculik sejumlah aktivis mahasiswa. Empat orang dari mereka yang diculik belum kembali sampai hari ini. Wartawan Tempo Nezar Patria, pada 1997 adalah aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi yang menjadi satu dari korban penculikan yang selamat. Berikut adalah pengalamannya:
PERISTIWA itu terjadi sepuluh tahun lalu, tapi semuanya masih tetap basah dalam ingatan. Kami berempat: Aan Rusdianto, Mugiyanto, Petrus Bima Anugerah, dan saya adalah anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Baru sepuluh hari kami bertempat tinggal di rumah susun Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur itu. Tak seorang tetangga pun tahu bahwa kami anggota gerakan antikediktatoran.


di paragraf terakhir:
Pada 1999, majalah ini mewawancarai Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan dilakukan Prabowo atas perintah para atasannya. Siapa? ”Ada tiga: Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto,” ujar Sumitro. Lalu kini apakah kami, rakyat Indonesia, harus memaafkan Soeharto?
Doa saya untuk kawan-kawan yang belum (atau tidak) kembali.

No comments: