Tuesday, December 13, 2005

Melamun di Dom 16: sub tuum praesidium

25 Agustus 2005

peziarah

sejauh ini langkah kita
terendam air yang mengalir
di kaki Pyrenea
membasuh pedih dan duka
dihibur nyanyian Bunda


Pukul 7 pagi saya terjaga di tengah guncangan kereta yang melaju. Butuh waktu seketika untuk memulihkan kesadaran bahwa kami dalam perjalanan menuju Lourdes. Tempat ziarah itu. Tujuan yang tersimpan di angan-angan sejak beberapa waktu lalu. Tahun lalu, ada kegiatan kaum muda sedunia di Lourdes dan dihadiri almarhum Paus Yohanes Paulus II. Niat saya menjadi volunteer acara tersebut, sayang saya tak dapat mengikutinya. Belum jodoh kali ya...

7.45 kami turun dari kereta di stasiun Lourdes. Kereta masih akan meneruskan perjalanan, kalau tak salah ingat ke Tarbes. Kami menggotong bagasi dengan cerita lama: tak tahu mau ke mana... nowhere to go. Middle of nowhere. Mbak Ina diutus untuk menemui seorang biarawati yang kebetulan lewat di sana. Lalu kami menuju ke halte menunggu bus. Lama sekali busnya nggak muncul-muncul, menurut jadwal masih sekitar sejam lagi... Mbak Ina dan Agnes berniat menyewa taksi. Tapi saya usul bagaimana kalau berjalan kaki saja...

Jadilah kami berjalan kaki. Saya menggendong ransel. Mbak Ina menyeret koper. Agnes menjinjing tas. Benar-benar kami tak ada ide ke arah mana harus dituju. Papan penunjuk jalan yang menyebut “Grotte” [grotto: gua Lourdes] yang kami ikuti. Selain itu ada turis yang menunjuk tangga ke bawah jalan, jadi kami turun. Inilah jalan yang menuju ke grotto. Di sepanjang penuh dengan toko benda-benda suci dan restaurant maupun penginapan.

Tas dan koper ditaruh di pinggir jalan. Mbak Ina dan Agnes pergi mensurvei tarif penginapan di sekitar situ. Seperti biasa aku menjaga barang-barang... Lumayan lama juga, sehingga aku dapat memperhatikan pelayan restoran yang sedang masak dari jendela kaca, mobil yang diparkir di depanku [sehingga aku sempat diminta minggir sedikit], dan tarif menu yang tertulis di papan depan resto.

Saat mereka muncul, seperti yang lalu-lalu, kabar baik bahwa mereka sudah menemukan penginapan yang harganya terjangkau, nyaman dan aman. Lumayan, Hotel Julienne tarifnya Eur 44 semalam untuk 3 orang dengan 3 bed. Jadi kami berjalan menuju ke sana. Tas dan koper kami simpan dulu di kamar lain, karena katanya kamar yang akan kami tempati sedang dibersihkan.

Kami meneruskan acara jalan-jalan pagi itu. Meskipun rasanya sedikit aneh karena belum mandi, sikat gigi dan sarapan pagi, hehehe... Toko-toko benda suci yang berjejer di sepanjang jalan rasanya terlalu menggoda. Umumnya menjual rosario, medali suci, patung, gambar-gambar suci. Bila sudah memasuki setiap toko, pasti menemukan Palais de Rosari. Semacam supermarket benda suci! Ambil keranjang belanja dan silakan memilih-milih benda yang mau dibeli... ada banyak pilihan di sana. Harganya tertera di label, dan dijamin lebih rendah dari harga toko lain... hehehe, promosi nih! Tapi sungguhan, toko Palais de Rosari is very recommended bagi peziarah yang bingung memilih toko.

Di sana saya membeli rosario yang khusus dipesan Manfred tempo hari di bandara Frankfurt. Rosarionya berbentuk mawar berwarna biru dan mengeluarkan wangi tak habis-habisnya... Rosario itu untuk suster Pia dan suster Joannita OSF di Semarang.

Lourdes hall
Kemudian kami terus berjalan sampai ke lokasi halaman gereja Lourdes. Pemandangan bukit-bukit terlihat indah di kejauhan. Jalan masuk berbentuk lingkaran dengan salib di tengah seolah menyambut kedatangan setiap peziarah. Ada kotak donasi ditaruh di sana, dalam rangka Perayaan 150 tahun Penampakan Bunda Maria kepada St Bernadette pada tahun 2008. Saya memasukkan koin euro di sana sambil berdoa semoga dapat mengikuti Jubileum tersebut.

Lalu kami berjalan balik menuju ke hotel. Namun toko-toko tersebut sangat menggoda. Apalagi bila pelayan toko pandai menjual, maka calon pembeli seolah tak dapat dilepas sebelum berbelanja. Mbak Ina kepingin sekali membeli pendant Lourdes lapis emas 18 karat seharga Eur 29,5 dengan kalungnya. Kata pelayan toko produk macam itu hanya dijual di Lourdes, sangat bermakna bila dibawa pulang ke Indonesia... hmmmh.

Tiba di hotel pukul 12 siang. Acara mandi dan mengatur-atur barang, lalu istirahat.

Pukul 15 bangun, siap-siap untuk jalan lagi. Cari makan dulu karena lapar niih... kami masuk di cafe dan memesan pizza 2 pan. Soalnya beberapa restoran yang kami jumpai sudah tidak lagi menyediakan makanan berat [makan siang] bagi peziarah yang kelaparan macam kami... Pizza lumayan jadi pengganjal perut. Meskipun pizzanya sangat tipis dan toppingnya tidak seramai pizza di Indo. Pelayannya seorang pria berkepala gundul, dia sangat atraktif dan ramah melayani setiap pengunjung. Bila tamunya orang Italia, maka dia pun berbahasa Italiano.

Lourdes churches
Setelah itu kami berjalan ke halaman gereja Lourdes. Ina pergi ke tempat pengakuan dosa. Jadi saya dan Agnes menunggu di halaman. Melihat-lihat setiap peziarah yang berfoto-foto di depan salib dan patung bunda Maria. Setelah beberapa saat Mbak Ina belum muncul juga, kami mencarinya di tempat pengakuan dosa. Tempatnya berupa gedung dengan beberapa kamar dan ruang tunggu seperti klinik. Di depan pintu tertulis nama imam yang melayani pengakuan dan bahasa yang dipakainya. Mbak Ina tidak kelihatan di sana, jadi kami ke luar menuju ke sumber air.

Tersedia keran-keran air yang siap mengisi botol-botol yang dibawa peziarah. Ataupun untuk sekedar membasuh muka. Segar sekali airnya. Beberapa botol yang dibeli di toko tadi diisi penuh. Saya tidak berani membeli banyak botol, kuatir ransel semakin bertambah berat. Bagasi yang diizinkan Ryan Air sangat pelit, cuma 20kg.

Setelah itu kami berjalan masuk ke dalam antrian menuju ke grotto.

Inilah moment of truth.
Sebelum berangkat dari Jakarta, saya membuat pengakuan dosa pada imam. Pengakuan dosa tersebut berupa obrolan di pastoran mengenai masalah yang saya hadapi sebelum berangkat. Pimpinan tempat kerja saya tidak mengijinkan saya pergi. Padahal beberapa bulan sebelumnya saya telah membuat surat permohonan izin untuk mengurus visa di kedutaan Jerman di Jakarta, tiket pesawat untuk menjadi relawan WYD2005. Setelah tawar menawar dengan pimpinan, saya diijinkan pergi dengan catatan cuti tahun depan dipotong. Visa telah kupegang, tiket pesawat juga. Namun mengapa sekarang prosedur dibuat sulit? Malahan dengan ancaman sanksi berat...

Imam pengakuan memberi saya penitensi untuk berdoa rosario di depan grotto. Katanya saya harus berdoa bagi orang-orang yang menyakiti hati dan mereka yang pernah saya sakiti hatinya. Itulah yang kulakukan sekarang di tengah antrian peziarah... bulir-bulir rosario bergulir. Kelebatan-kelebatan wajah setiap orang tampak dalam doaku, dan saat melihat wajah sang Bunda di grotto, air mataku ikut menetes. Ada rasa aneh yang sulit kujelaskan.
Kini anakmu datang, ya Bunda.
Sub tuum praesidium confugimus, Dei Genetrix!

Grotto
Batu padas grotto kusentuh. Inikah tempat di mana sang bunda menampakkan diri kepada gadis kecil Bernadette? Kupandangi wajah sang Bunda...
Peristiwa yang dialami St. Bernadette sesungguhnya bukanlah peristiwa menyenangkan. Dari buku yang kubaca, dia sempat dianggap gila, hilang ingatan, penyebar cerita bohong, dikucilkan bahkan setelah dia masuk biara. Dia menanggung sakit asma dan meninggal karena kanker tulang. Namun kalimatnya itu: “Rasanya saya rela menukarkan seluruh hidup demi untuk dapat melihat sekali lagi kemuliaan ilahi perempuan di grotto itu...”

Doa rosario saya teruskan sambil berjalan, mendaki ke atas bukit. Tiba di bukit, terdapat sebuah jalan yang harus diseberangi untuk menuju ke lokasi Jalan Salib. Kuatir kemalaman, jadi saya turun untuk mencari Agnes dan Mbak Ina.

Di halaman gereja kami menunggu prosesi lilin jam 20.30. Sebelum prosesi dimulai, saya menapak anak tangga ke menara gereja.

Golden Cross
Terdapat mahkota dengan salib terbuat dari emas. Gereja ini dibangun berdasarkan permintaan Bunda Maria melalui Bernadette. Namun, yang terdapat di dalam bangunan ini justru tiga gereja. Dapat dibayangkan luas dan megahnya.

procession
Pukul 20.30 kami bersiap-siap mengikuti prosesi lilin. Patung bunda ditaruh pada sebuah tandu yang diangkat beberapa perempuan. Orang-orang sakit dengan kursi roda berada di barisan paling depan. Beberapa relawan tampak mengatur peziarah supaya tertib.

Lilin-lilin dinyalakan. Doa rosario dimulai dalam aneka bahasa: Perancis, Inggris, Jerman, Spanyol, India dan bahkan juga Arab. Kami memegang lilin berjalan dalam perarakan sambil sesekali bernyanyi: “Ave, ave, Ave Maria...” Doa Salam Maria kudoakan dalam bahasa Indonesia. Memang terdengar rada aneh di antara massa berbahasa asing. Tapi bukankah Tuhan mendengarkan segala bangsa dan bahasa?

Perarakan berhenti di tengah lapangan. Seorang penyanyi perempuan bernyanyi solo: “Ave Maria” suaranya membelah kesenyapan malam. Setelah itu, Doa Malam dan diakhiri dengan lagu “Regina Caeli” [Salam, ya Ratu].

Pukul 22 kegiatan prosesi selesai. Kami berjalan pulang. Lilin-lilin yang kami pegang kami taruh di depan patung St. Bernadette yang sedang menggembalakan domba-domba.

Bernadette

perawan di grotto
memberkahimu
dengan senyum dan wangi bunga

miskinlah dunia,
miskinlah hati
saat dikau
mencabut rumput
memakannya,
dan membasuh lumpur
di parasmu nan lugu

sejauh ini
engkau mengekalkan cinta
di sana!

Friday, December 09, 2005

Melamun di Dom 15: the sound of silence

24 Agustus 2005

Pagi pukul 8 kami terjaga di tengah kamar hotel yang nyaman. Matahari bersinar terik di luar. Di bawah jendela hotel dapat terlihat keramaian jalan di bawah. Dari jendela kamar mandi lebih jelas lagi pemandangan, karena kepala dapat didongakkan keluar jendela. Restoran China yang ada di seberang jalan tampaknya menggoda. Namun waktu untuk menikmati Paris sisa sehari ini, karena malam nanti kami berangkat dengan kereta ke Lourdes, sehingga kami musti check-out pukul 12 siang. Jadi kami bermalas-malasan saja di kamar. Menikmati sarapan pagi mie instant, sosis babi gemuk dari Jerman, baguette tuna dan apel... sarapan komplit, bukan?

Tiba pukul 12 siang, barang-barang sudah kami kemas. Beberapa harus ditinggalkan supaya ransel dan koper tidak berat. Bayangin, Mbak Ina sampai meninggalkan kopi ginseng CNI-nya berbungkus-bungkus di kamar. Lalu kami turun ke front office untuk check-out. Petugasnya sangat ramah. Kami diberi ruang penitipan koper dan ransel, sehingga kami dapat pergi berjalan-jalan seharian tanpa perlu repot membawanya. Selain itu, sempat kutanyakan letak Beauvaix airport tempat Ryan Air mendarat. Karena tiket pulangku melalui Paris, sehingga dari Roma aku musti balik ke Paris. Bila lancar, dari Roma ke Paris naik pesawat pagi, terus langsung ke bandara Charles de Gaulle mengejar pesawat jam 12 siang ke Jakarta.

Ya ampun, ternyata bandara Beauvaix itu jauh amirr dari Paris. Persisnya berada di luar kota, seperti jarak kota Bogor dengan Jakarta deh... resepsionis hotel coba membantu saya mencari informasi transportasi apa yang bisa menyelamatkanku mengejar pesawat siang. Namun, katanya nihil. Selain itu, mbak Ina perlu mengkonfirmasi tanggal kepulangannya dari Roma.

Maka tujuan acara jalan-jalan kami siang itu yang pertama adalah ke kantor Malaysia Airlines. Petugas hotel Francais dengan baik hati memberikan alamat dan menunjukkan rute ke perwakilan MAS di Paris. Naik Metro kami menuju ke sana. Tiba di alamat yang dituju, ternyata kantor MAS tersebut bukanlah yang dimaksud. Kami diarahkan ke alamat lain. Maka kami pun berjalan lagi, mencari kantor MAS yang sesungguhnya untuk urusan tiket.

Akhirnya sampai juga. Nah ini dia yang mengejutkan, dari rencana mengatur hari kepulangan itu, Mr. Philippe, petugas MAS menemukan bahwa tiket saya sudah tidak lengkap. Kupon tiket KL-Jakarta telah raib. Terjadi keributan, karena saya merasa tidak lalai menjaga tiket tersebut. Mereka senantiasa tersimpan dalam ‘kantong ajaib’ yang kugantung di leher dan kudekap selalu. Teringat akan kejadian waktu mendarat di KL, kuceritakan bahwa kemungkinan petugas bandara KL yang telah merobek kupon tersebut.

Mr. Philippe menjanjikan akan mengontak kantor MAS Jakarta dan Malaysia mengenai hal ini. Sehingga tanggal kepulanganku harus diundurkan satu hari, dan tetap melalui Paris. Tidak bisa reroute melalui Roma.

Sebelum kami meninggalkan kantor MAS, mbak Ina sempat menanyakan di mana letak kamar kecil. Dengan ramah Mr. Philippe menunjukkan toilet umum menggunakan koin yang terletak di luar. Persis di trotoar depan kantor. Lalu mbak Ina pergi dengan misuh-misuh... hehehe.

Kami berjalan menuju ke Galeria Lafayette. Inilah pusat perbelanjaan mode kaum borjuis. Kami pun masuk sambil memperhatikan aksesoris yang dipajang di sana. Mbak Ina menemukan toilet. Sekalian saya mengisi botol air minum di keran air minum yang tersedia di situ.

Lalu kami keluar menyeberangi jalan. Ada sebuah kedai souvenir. Bila dibandingkan dengan kedai serupa di sekitar Eiffel, harga yang ditawarkan di sini jauh lebih murah. Apalagi penjualnya orang Vietnam yang fasih sepotong-sepotong berbahasa Indonesia. Tentu kami bukan orang Indonesia pertama yang dijumpainya di Paris.
Sekalian kami tanyakan padanya di mana letak restoran Asia. Maklum hari sudah siang, saatnya makan niih... dia menunjukkan arah jalan yang berbelok-belok. Cukup sulit kami menemukan tempat itu karena terdapat beberapa restoran di sana. Namun akhirnya ketemu juga. Dengan tarif Eur 6, makan siang dengan menu nasi dan lauk komplit.

Setelah itu, kami berniat kembali ke Galeria. Mbak Ina mau membeli tali ikat koper karena kuatir kopernya sudah sangat sesak. Saya diminta menunggu di lantai bawah, mereka menuju ke atas. Di bawah, saya berjalan melihat-lihat rak-rak parfum dengan aneka merek terkenal. Jangan tanya harganya... ratusan euro! Lalu di depan sana, ada butik Louis Vuitton. Bukankah ini yang disebut-sebut oleh ibu dari Makassar yang pertama kali kujumpai di kisah awal perjalanan? Tas produk Louis Vuitton yang harganya Eur 600-an itu? Alamak, harganya ampun-ampunan deh. Belum lagi penjaganya yang mengawasi ketat setiap calon pembeli. Setiap pembeli tidak boleh bertransaksi dua kali, dan diharuskan pakai kartu kredit.

Karena itu, aku segera ke luar butik Louis Vuitton dan berdiri menunggu Agnes dan mbak Ina.
Seorang lelaki berjas hitam mendekatiku. Dia langsung memegang pinggangku [menjepit di antara tulang iga] dan mendorongku ke luar dengan kasarnya. Saya langsung berseru: “I’m just waiting for my friends!” Pintu dibukanya, dan saya pun shock menyadari hal ini. Baru saja saya disuruh ke luar dari toko dengan cara demikian tidak sopan.
Maka saya pun kembali masuk ke dalam toko. Si jas hitam tampak berdiri di sana. Saya berjalan di sekitarnya sambil memandangnya tajam. Dia pura-pura seolah-olah saya tidak ada. Dan berjalan turun ke lantai dasar. Saya mengikutinya. Dia masuk ke ruangan. Saya kembali ke atas, lalu turun kembali.

Akhirnya dia keluar juga. Langsung kubilang: “Hey, watch out your manner, Sir! Saya tidak bisa menerima perlakuan tadi...”
Dia bertanya: Where are you from? Chinese?
[ada apa sih sampai dia menyebutku dari China?]
Langsung kujawab: I’m Indonesian.
Dia memintaku mengikutinya. Saat melintasi tempat peristiwa tadi, kulihat mbak Ina dan Agnes sudah ada di sana, dengan pikiran penuh pertanyaan ke mana dia mau membawaku, saya memutuskan meninggalkannya.

Really, he has made a bad day for me... sepanjang jalan aku mendongkol. Bagaimana bisa petugas itu memperlakukan dengan demikian kasar? Mbak Agnes mencoba menghibur. “Mungkin pekerjaan mengharuskan dia demikian, Ton... bayangkanlah dia juga seorang pegawai, dengan gaji seberapa yang diperolehnya...”
Iya, tapi itu bukan excuse untuk mengadili dan menghukum pengunjung dengan cara demikian.

Pengalaman ini dengan berat kuakui memperkaya perjalanan hidupku selanjutnya. Meski rasanya sulit diterima. Saya jadi belajar bersabar dan coba memahami hal yang sulit dimengerti.

Louvre
Kami berjalan dalam senyap di tengah Paris.
Kami sempat beristirahat di pelataran Museum Louvre. Memandangi matahari senja yang bersinar terik. Aku berbaring di dinding pualamnya. Lalu ada sepasang pengantin muda yang meminta saya memotretnya. Kami berjalan ke benteng pertahanan Perancis tempo dulu. Di sana ada dua perempuan backpacker yang tampak dekil sekali. Dijamin, mereka tentu petualang sejati. Mereka sedang asik menunjuk-nunjuk peta.

Dan akhirnya kami tiba di sebuah bukit. Terdapat gereja Sacre Coeur [Sacred Heart] di sana. Pemandangan kota Paris dapat terlihat dari atas bukit. Untuk mendakinya tersedia anak tangga dari batu. Taman bunga di sekitarnya.

Sacre Coeur
Saat masuk ke dalam gereja, misa sedang berlangsung. Komuni dibagikan, aku pun maju menyambut komuni. Lalu berjalan ke bangku belakang gereja. Berdoa di sana. Ada patung St. Michel [malaikat Mikael] yang berdiri gagah menghunuskan pedang pada si iblis. Beberapa lilin bernyala di depannya.

Lalu aku beranjak ke patung “Maria Stella Maris” [Maria Bintang Laut].
Pemandangan yang kulihat itulah yang menggerakkan hatiku, membuat airmataku tak tertahankan... Bunda Maria menggendong kanak-kanak Yesus di atas ombak ganas, sambil mengulurkan tangannya kepada seorang pemuda yang nyaris tenggelam. Betapa mengenaskan dan sekarang aku rasakan hal serupa... help me, or I am perished!

Setelah itu. Patung St. Antonius dari Padua yang menggendong kanak-kanak Yesus. Inilah santo yang kusebut sebagai pelindungku secara pribadi. Sosoknya kini berdiri di hadapanku, kusentuh jemari kakinya, sambil memohonkan mukjizat Tuhan. Bukankah dalam hidupnya dia diberkahi dengan karunia mukjizat?

Lalu patung berikutnya: Mother and Son. Maria dan kanak-kanak Yesus. Aku jadi teringat pada syair kuno tersebut: “sub tuum praesidium confugimus, Sancta Dei Genetrix”. Ke dalam perlindunganmu kami berlari, ya Santa Bunda Allah.
Sering doa ini kuubah menjadi, ke dalam pelukanmu kami anak-anakmu berlari, ya Santa Bunda Allah.

Ibarat tanah yang kering, gereja Sacre Coeur menyiramkan seember air sejuk di hatiku.
“Hati Kudus Yesus, jadikanlah hati kami seperti hatiMu...”

Saat hari telah senja, kami beranjak pergi. Kami harus kembali ke hotel untuk bersiap berangkat ke stasiun. Tak lupa membeli bekal: botol air minum, cheese burger McD [paling murah! Cuma Eur 0,95] dan salad.

Pukul 21 kami berangkat dengan Metro ke stasiun Paris Austerlitz dengan membawa ransel dan koper yang aujubillah... di Austerlitz kami duduk-dudk di lantai pojok menunggu jam 23 saat keberangkatan ke Lourdes. Serombongan anak muda melintas. Mereka dari Indonesia. Peserta WYD. Dengan tujuan sama: Lourdes. Maka kami ngobrol dengan ramainya. Katanya mereka ikut dengan rombongan KWI, di antara mereka ada yang bernama Abe. Meskipun ikut rombongan KWI, katanya mereka tetap bayar sendiri semua ongkos perjalanan. Yang mengejutkan, mereka cuma sebentar saja di Lourdes, besok pagi tiba, sore mereka sudah harus balik.
Waduh, nggak ikut prosesi lilin dong!

Kami dinner salad dan burger di lantai pojokan stasiun. Salad burger McD jadi kegemaranku, karena pakai sayur mayur yang rada aneh, plus tomat kecil-kecil, dan dressingnya pakai minyak zaitun yang dibungkus dalam sachet.

Pukul 23. Kami naik kereta. Perjalanan malam menggunakan kereta tidur [liegewagen]. Sekamar ada 6 bed. Mirip ruangan kelas III kapal laut. Tapi lebih sempit lagi, dan ada 3 bed bersusun di tiap sisi. Kebetulan sekamar kami berlima.

Disediakan botol air minum dan perkakas tidur: sumpal telinga dari karet. Jadi malam itu kami menjelajah menuju selatan Perancis dalam buaian kereta malam...

Hello darkness my old friend,
I come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while I was sleeping
And the vision that was planted in my brain
Still remains, within the sound of silence...

People talking without speaking
People hearing without listening ...

Tuesday, December 06, 2005

Melamun di Dom 14: Eiffel, we’re lost!

23 Agustus 2005

Maaf, kisah ini lama tersimpan dan baru kulanjutkan sekarang... so much things to do... hehehe. Baru kuteruskan saat aku duduk di depan meja komputer karena harus membuat sebuah laporan. Alih-alih membuat laporan, saat pikiranku buntu, kupikir lebih baik meneruskan kisah yang sempat terhenti ini yaa...

Ini adalah hari terakhir kami berada di Jerman. Dan kami bangun pagi telat! Pukul 6 pagi, Agnes dan mbak Ina ramai-ramai menyerbu masuk ke kamar... sesaat panik nih, seperti lagi digerebek tramtib. Mereka semalam tidur di kamar Armel, jadi aku tidur sendirian. Entah kenapa, weker gak bunyi. Harusnya jam 5 kami sudah harus bersiap-siap. Kereta kami akan berangkat pukul 7.16! Jadi waktu yang tersisa buat kami di pagi cerah itu 1 jam 16 menit.

Kebayang kan paniknya kami mengemasi barang-barang, cuci muka, sisiran seadanya, dan menggendong ransel dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sarapan? Forget it. Kami harus pamit segera pada Jerman, pada apartemen Armel dan jalan-jalan yang kami lewati selama ini menuju ke stasiun Koeln Hbf. Namun koper mbak Ina dan tas Agnes lumayan berat buat diangkat meniti anak tangga naik ke stasiun. Setelah tiba, kami harus turun tangga menuju ke peron keberangkatan.

7.16! kami berdesakan masuk ke dalam gerbong kereta Thalys yang akan mengantar menuju ke Paris. Susah payah menyeret koper di lorong gerbong yang cukup sempit. Lalu menyampirkan koper dan ransel ke bagasi di atas kursi. Fiiuuhh... kereta Thalys berangkat. Dan kami berpandangan seperti tak percaya. Perjalanan post-Koeln kami awali dengan serunya!

Kereta Thalys adalah kereta super cepat yang digunakan antarnegara: Jerman-Belgia dan Perancis. Saking cepatnya, pemandangan di luar jendela lekas sekali berlalu. Kukeluarkan buku Lonely Planet dan CD player untuk membunuh waktu. Mencari informasi mengenai Paris yang akan kami singgahi beberapa jam lagi. Sambil mendengarkan suara Sarah Brightman yang mendayu-dayu menyanyikan lagu “Time to say goodbye”. Lagu ini sangat berkesan bagiku saat diputar berulangkali di MetroTV mengiringi berita wafatnya Paus Yohanes Paulus II tempo hari.

Sebelum menuju Paris, kereta melewati Brussels. Sebetulnya pingin sekali mampir di sana, ada teman seorang romo SCJ yang ngajak mampir di biaranya... [Romo Purwanto, sori gak bisa mampir. Keretanya gak lama berhenti di Brussels sih].
Untung Agnes membawa bekal berupa camilan berupa semacam tingting kacang [aneka kacang dicampur: almond, pistachio, dll... nyam, enak sekali] dan hals bonbon. Sehingga kami cukup dapat menahan lapar.

Pukul 11.30 kereta kami tiba di Gare du Nord, Paris. Nggak sempat saya mengucapkan dengan noraknya: “Paris, I am in love!” seperti judul film itu, karena kami tiba di tempat asing ini tanpa tahu harus ke mana! Kebayang kan lucunya wajah 3 orang asing ini. Kami kebingungan musti mencari penginapan ke arah mana?
Untunglah, di antara kami, mbak Ina yang jago berbahasa Perancis. Dia coba tanya mengenai bagian Informasi ke petugas keamanan, tapi hasilnya nihil. Akhirnya, kami berjalan ke luar stasiun. Hujan rintik-rintik. Menyeberangi jalan, sepertinya di arah sana ada beberapa penginapan.

Di emperan, mbak Ina dan Agnes menyimpan bawaannya. Aku duduk menunggu. Mereka mau mengecek tarif hotel di sana. Jadi, aku cuma duduk di trotoar memandangi kendaraan yang lalu lalang. Juga orang-orang yang melewatiku.
Beberapa saat mereka kemudian muncul. Katanya ada hotel yang rada murah, tapi waktu mereka minta melihat kamar, ruangannya rada gelap dan scary. Jadi, gak jadi deh.

Eh, di sana tuh ada hotel Comfort, tunjukku.
Kami berangkat ke sana di tengah hujan. Mbak Ina bertanya pada resepsionis mengenai tarif. Sementara itu bau cat dan debu beterbangan menunjukkan bahwa hotel itu sedang direnovasi. Ya ampun, tarif kamarnya paling murah Eur 110 untuk bertiga!

Gak jadi deh... aku menjaga koper dan tas lagi. Agnes dan Ina akan pergi lebih jauh menyusuri jalan mencari penginapan.
Singkat kata, mereka akhirnya kembali dan mewartakan kabar baik ini. Ada sebuah hotel di sono, tarifnya cuma Eur 75 buat bertiga. Lumayan... kami pun beramai-ramai ke sana.

Nama hotelnya Francais, alamatnya di Rue du 8 Mai 1945 [aku belum bisa menyebutnya dalam bahasa Perancis, jadi semoga aku gak pernah nyasar dan ditanya alamat tinggal]. Lokasinya tepat di seberang Gare de L’est! Aku jadi salut pada Agnes dan Ina, bela-belain mereka jalan kaki di tengah hujan dan menemukan tempat ini... hehehe.

Setelah check-in di resepsionis, kami menuju ke kamar. Kamarnya bagus dan lengkap. Ada 3 bed, tempat setrikaan, kamar mandi dengan bathtub dan air hangat. Setelah merapikan barang-barang, masak Indomie, dan mandi, kami menikmati makan siang berupa Indomie dan sosis gemuk dari Jerman. Kami ngobrol sambil ketawa-tawa mengingat kejadian ajaib sepagi ini. Setelah itu, bobok... rasanya capek sekali.

Pukul 15 bangun. Kami berencana sesore ini berjalan ke Eiffel. Jadi kami naik bus ke Trocadero. Tarif bus Gare de L’est sampai Trocadero Eur 1,40 [jauh dekat sama saja tarifnya]. Trocadero adalah halte terakhir bus tersebut. Menyeberangi Trocadero, sampai di pelataran museum, maka di seberang sana terlihat menara Eiffel menjulang tinggi.

Eiffel
Turis-turis berfoto-foto di pelataran, kami pun juga. Lalu turun melewati taman, indah sekali penataan dan arsitekturnya, terutama patung-patung yang ada di sana.

me between them
Kemudian kami menyeberangi jalan menuju ke Eiffel. Berjalan di atas jembatan di atas sungai Seine, melihat-lihat perahu yang melintas di bawah. Mendongak ke atas, batangan-batangan baja Eiffel semakin tampak jelas. Kami mampir di kedai membelai sebungkus kentang goreng pakai saos tomat dan mayonaise, dimakan bertiga... anggap saja snack sore. Jangan tanya harganya yang Eur 3,50!

Image hosted by Photobucket.com
Mau naik Eiffel? Pakai lift apa yang pakai kaki? Pakai lift tarifnya lebih mahal daripada yang pakai kaki... Emoh ahh... jadi teringat sama tangga Dom. Jadi kami cuma melewati bagian bawah Eiffel dan taman-tamannya. Berjalan menuju Picquet. Di sana ada sebuah supermarket, sehingga kami dapat membeli air minum botolan, buah naktarien dan baguette isi tuna buat makan malam.

Kami melanjutkan perjalanan sore itu. Melewati Invalides, St. Germain [Ina sempat bertanya ke pejalan kaki kalau-kalau kami tersesat], St. Michel [dengan patung St. Michael yang gagah terbuat dari emas]... jalan jauh begini [hampir seperempat kota Paris loh!] mau ke mana? Sampai juga di tepi Sungai Seine, di sana terlihat sebuah gereja bersejarah itu: Katedral Notre Dame.

Di pelataran Notre Dame terlihat ramai sekali anak muda bernyanyi dalam lingkaran. Dari aksesoris [ransel dan kaos] yang mereka kenakan, jelas bahwa mereka anak-anak WYD2005 yang meneruskan perjalanan kemari. Kami duduk mengaso, menikmati baguette tuna dan air botolan... burung-burung merpati tampaknya menghuni taman di pelataran Notre Dame. Lalu ke mana si Hunchback? Esmeralda dan kelompok gipsy yang melewati kota Paris itu? Ah, kisah si bongkok dari Notre Dame itu begitu jelas membayang.

Notre Dame
Gargoyle di menara-menaranya segera menjadi incaran saat berfoto di depan katedral. Tidak itu saja, relief di dindingnya banyak menyimpan kisah kitab suci dan juga sejarah Paris.

Notre Dame
Ada papan pengumuman yang di pasang di pintu gereja, bahwa setiap malam jam 21.30 diadakan pemutaran film mengenai Notre Dame. Itulah yang membuat kami menunggu.

Roller Youth
Untuk membuang waktu, saya menuju ke jalan di samping gereja. Anak-anak muda Paris sedang memamerkan ketangkasan bersepatu roda, sambil sesekali mereka menggoda gadis-gadis yang lewat. Setiap kali pesepatu roda berhasil melewati rintangan, tepuk tangan meriah penonton, dan kotak derma diedarkan. Lalu pesepatu roda lainnya tidak mau kalah menunjukkan kebolehannya. Kadang dengan cara usil, memorakporandakan jejeran gelas yang harus dilewati lawannya... wah, asik juga yaa...

Pukul 21.30 pintu masuk Notre Dame dibuka. Sayang gelap gulita dengan penerang minim, sehingga interiornya tak terlihat jelas. Kami duduk di deretan bangku depan. Di udara di bawah langit-langit di bentangkan sebuah kain putih yang akan menjadi layar. Sebelum film diputar, diedarkan kotak derma. Film Notre Dame membeberkan sejarah 2000 tahun tempat ini berdiri sebagai saksi jatuh bangunnya kota Paris. Notre Dame [yang berarti “Our Lady”] telah menjadi ikon kota Paris, sehingga dalam momen-momen penting dunia, masyarakat berkumpul di sana untuk berdoa.

Bila kamu menonton film bioskop berjudul “Before Sunset”, ada sebuah pemandangan ketika mereka melintasi sungai Seine, sambil menunjuk ke Notre Dame dikisahkan bahwa pada waktu Perang Dunia, pasukan Jerman katanya telah memasang bom di beberapa situs penting di Paris, termasuk Notre Dame. Namun entah kenapa, prajurit yang bertugas menarik picu detonator tak pernah berhasil. Sehingga Notre Dame tak berhasil diledakkan... entah apakah itu kisah nyata, yang pasti menurut film dokumenter yang kami nonton malam itu memperlihatkan Notre Dame yang sempat porak poranda dan dipugar beberapa kali.

Untuk mengumpulkan dana pembangunan, Victor Hugo menulis kisah “The Hunchback of Notre Dame” yang berhasil menjadi kisah legendaris.

Pukul 22.30 pertunjukan selesai. Rasanya kami dapat mendengar tembok-tembok katedral ini menceritakan kisah yang tadi kami saksikan. Kami memandang gedung ini dengan penuh kekaguman dan membuatku menyentuh dindingnya. Agnes dan Ina berfoto-foto. Kamera mereka lampu blitz-nya lebih kuat dibanding kameraku.

Kami menuju ke halte dan bertanya ke polisi jalan pulang. Lalu kami menuju Metro [kereta bawah tanah] yang mengantar kami kembali ke Gare de L’est. Kami mampir membeli baguette tuna dan quiche jambon [jambon berarti daging babi] buat makan tengah malam.

Rasanya nyaman bertemu kasur malam itu. Di tengah kota Paris. Kebayang nggak?