Thursday, December 17, 2009

Si Tampan itu Orang Suci

Saya mendapat kesempatan untuk kembali ke Roma tahun 1998, kali ini untuk mengikuti Kursus Formation for Formator, yang diadakan oleh UISG (Union International of Superior General) yang diikuti oleh para biarawati seluruh dunia. Dan yang paling mengesankan, setiap pagi dari berbagai penjuru kota Roma, kami dipersatukan di Kapela Universitas Gregroriana untuk mengikuti Perayaan Ekaristi Suci sebelum memulai studi. Tidak hanya kelompok kami yang hadir yang berjumlah 67 orang, tapi juga mahasiswa/mahasiswi dari Fakultas lain, kapela yang cukup besar itu jadi penuh. Ternyata kaum muda banyak merindukan Kristus sebagai kekuatannya dalam mengarungi tugas dan hiruk pikuknya keseharian hidup di kota abadi Roma.

Untuk pertama kalinya saat memasukki kapela, pandangan saya menatap sebuah foto yang berukuran besar yang berada di dinding sebelah kanan. Foto anak muda TAMPAN. Sejenak saya terkejut dan terkesima, sepertinya saya pernah melihat wajah itu. Oh ya… pada 20 Mei 1990, saya hadir pada proses Beatifikasi seorang anak muda yang wajahnya tak kalah tampan dengan John Travolta, dialah Beato Pier Giorgio Frassati yang hidup pada 1901–1925. Pada proses Beatifikasi itu dihadiri oleh banyak kaum muda dari penjuru kota Roma dan Eropa umumnya. Hadir pula kerabat, sanak saudara dan handai taulan si Calon Beato, duduk pada barisan terdepan, berpakaian serba hitam dan bercadar bagi pada wanitanya.. Ketika diumumkan Pier Giorgio Frassati, sebagai Beato, terbukalah cadar yang menutupi Fotonya yang berukuran amat besar, yang terbentang di dinding depan Basilika. Foto seorang anak muda, tampan , energik, menatap penuh optimis dengan senyuman yang menawan. Foto Frassati ketika menaklukkan puncak gunung bersalju, dia mengenakan kemeja biru bergaris, bukan layaknya seorang yang mendaki gunung, namun ia benar-benar berada di atas gunung yang bersalju. Seolah tubuhnya telah bersahabat dengan segar dan putihnya salju, seputih jiwa perjuangan dan sesegar semangatnya sebagai orang muda.

Mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, menyamakan dirinya seperti Frassati yang mempunyai kegemaran dan hobi yang sama. Oleh karena itu dalam kotbahnya pada acara beatifikasi tersebut beliau berkata: “Frassati adalah anak muda modern yang hidupnya biasa-biasa saja, tapi penuh petualangan cinta Tuhan. Dia mampu memadukan keseharian hidupnya dengan imannya pada Yesus, sehingga Injil dihidupi dan diterjemahkannya dengan mencintai semua orang yang dijumpai terutama yang miskin, lemah terlantar. Dia selalu berusaha hadir untuk menjadi berkat bagi sesamanya. Hobinya berpetualang naik gunung, olah raga, kecintaannya pada karya seni serta perhatiannya pada masalah-masalah kemasyarakatan, justru membuat dia dekat dan mengalami dekapan cinta dengan sang Khalik”.

Kini dia telah tiada, pada saat umurnya masih muda (24 tahun), demikian lanjut Paus, dalam kotbahnya. Hidupnya penuh dengan buah kehidupan rohani. Biarlah sekarang dia menikmati tanah terjanji yang telah dijanjikan Bapa sejak semula, di sana dia akan menyanyikan kidung pujian bagi Bapa yang telah mencintai dan dicintainya, meskipun dia telah tiada tetapi kekuatan imannya dapat mengingatkan setiap orang, terutama KAUM MUDA, sekarang dan yang akan datang kamu akan melihat Tuhan, karena Dia kekal abadi, selamanya. Tidak mengherankan kalau Bapa Suci Yohanes Paulus II memuji Frassati begitu membahana ketika menyampaikan kotbahnya, pada saat pengikraran Beatifikasinya, karena memang Frassati contoh orang muda yang mengombinasikan hidup rohani dengan pengejawantahan keseharian hidupnya. Dengan manis meski penuh pergolakan dan perjuangan, bagai irama musik Frassati telah menyelesaikan alunan lagu hidupnya begitu merdu, apik dan mempesona.

Saudari bungsu Beato Pier Giorgio Frassati hadir dalam beatifikasi itu. Dia dan Frassati adalah sahabat Susterku yang berusia 89 tahun saat itu. Kesempatan ini kugunakan untuk menggali kekayaan hidup Frassati yang masih muda namun telah mencapai kesucian, sebagaimana Santa Theresia dari Liseux yang juga meninggal pada usia 24 tahun. Sr Gerarda, suster saudariku yang tertua, menceritakan bahwa Frassati selalu memilikki kerinduan untuk dekat dengan Sakramen Maha Kudus, dan menyambut komuni setiap hari. Dia sering kedapatan berlama-lama meditasi di depan Sakramen Maha kudus pada malam hari, dia rajin berdoa Rosario setiap hari, bahkan dia berdoa rosario 3 kali setiap hari setelah dia bergabung dengan Ordo ke-3 Dominikan. Dia selalu mengunjungi Sakramen Maha Kudus dan menghadiri Ekaristi Suci sebelum dan sesudah naik atau turun gunung untuk bermain ski. Pendidikan religius yang baik diajarkan oleh ibunya Adelaide Amentis . Tak mengherankan kalau Frassati tumbuh sebagai anak yang jujur, tulus penuh emphatic, kasih sayang dan sangat menghormati teman-teman perempuannya. Dia sangat mendukung teman-temannya yang menjadi biarawan dan biarawati, dengan surat-suratnya dia memberi inspirasi dan semangat pada sahabat-sahabatnya. Pernah ia menulis surat pada sahabatnya: “Aku terpesona dengan putih jernihnya keindahan salju di puncak gunung aku ingin mempunyai hati seputih dan semurni salju dan kubiarkan hatiku tinggal di puncak gunung untuk disinari mentari surga, dan kuberharap suatu saat aku berulang kali kembali mendaki gunung untuk memuliakan keajaiban dan keagungan Tuhan yang Maha Agung, karena semesta ini adalah bagian dari keagungan Tuhan”.

Dari pengalamannya mendaki gunung dan bertualang di alam bebas ia mendapatkan pengalaman retret hidup sekaligus kekuatan yang diterimanya dari Sang Khalik yang membawa dia untuk bersemangat dan gembira dalam perjuangannya membela kaum miskin. Inilah yang dicontoh dan dikagumi oleh saudara-saudarinya, bahkan teman-temannya terpengaruh pada kedalaman hidup rohani Frassati. Peristiwa yang tak pernah dilupakan oleh adik perempuannya adalah ketika Frassati bertindak seperti Santo Martinus, ketika mereka berjalan-jalan di Berlin Jerman suatu malam dengan suhu udara amat dingin, mencapai 13 derajat di bawah nol, Frassati tidak tega melihat pengemis miskin yang kedinginan dan ia memberikan mantolnya kepada pengemis itu, meskipun ayahnya marah, namun dengan lembut Frassati bilang: “Lihat ayah, kini dia tidak kedinginan lagi, dia merasakan kehangatan kasihku.” Frassati berhati amat lembut dan peka akan kejadiaan biasa yang diangkatnya sebagai sesuatu yang adi kodrati. Dia mempunyai banyak teman karena memang dia senang bergaul, dan dicintai banyak teman-temannya karena dia seorang humoris dan rendah hati. Dia selalu mengalah, tetapi bertahan dalam prinsip kalau dia merasa benar terutama dalam hal iman dan moral. Dia selalu menganjurkan betapa pentingnya hidup rohani serta kekuatan dalam doa dan meditasi, tak segan dia mengajak retret pada teman-temannya. Itu dilakukannya sejak masih di sekolah dasar hingga Universitas. Teladan hidupnya bak magnet menarik teman-temannya untuk mengikutinya. Dan hidup bersama Frassati terasa terbias aura ilahi yang membawa berkah dan kebaikan.

Frassati lahir di kota Turino pada Sabtu Suci, 6 April 1901, dibesarkan di lingkungan berada, serba kecukupan dan berpendidikan tinggi. Meski demikian dia tidak manja atau menyalahgunakan kekayaan orang tuanya. Pendidikan yang baik dan disiplin dari ayahnya, dipadu pendidikan keimanan yang tinggi, taat serta solider pada sesama yang diajarkan oleh ibunya, mengembangkan kerpibadiannya menjadi anak yang suka menolong.

Ada kisah saat dia kecil ada seorang pengemis yang mengajak anaknya menghampiri rumah Frassati. Melihat anak kecil dari pengemis itu yang tidak mengenakan sepatu, ibalah hati Frassati untuk memberikan sepatunya kepada anak itu. Tidak hanya itu saja uang jajan yang didapat dari orangtuanya selalu disimpan dan dibagikan kepada orang-orang miskin yang ditemuinya, bahkan dia pernah mempersilakan kamar pribadinya untuk ditempati oleh ibu tua yang miskin. Ia selalu terbuka dengan ramah membantu mereka yang cacat, miskin dan menghibur mereka yang dirundung duka. Ketika di suatu desa, wilayah Turin, terserang wabah, dia menjadi sukarelawan menolong mereka yang sakit dan menderita. Dari situ dia tertular penyakit Polio yang menghantar perjalanannya menghadap Bapa pada 4 Juli 1925. Dia sangat mencintai seni musik dan seni lukis, juga seni pahat. Karya Michael Angelo dan Bernini memberi inspirasi pada setiap puisi-puisinya.

Mengujungi museum dan belajar sejarah menjadi kegemarannya yang tak pernah pudar. Selagi muda dia membentuk dan bergabung organisasi Partai Kerakyatan dan Mahasiswa Katolik yang mengumandangkan ajaran sosial Gereja Katolik. Bakat yang diwarisi dari ayahnya yang menjadi direktur dan yang membidani lahirnya “La Stampa” mengalir dalam diri Frassati untuk menelorkan gagasan-gagasan dalam koran Katolik bernama “Momento”.

Pier Giorgio Frassati telah menggunakan momento-nya sebagai seorang yang dicintai dan terberkati. Berkat itu selalu diperbaharui dengan mendekati dan menyatukan diri dengan “Sang Sumber Rahmat” dalam perayaan Ekaristi Suci dan hadir di depan Sakramen Maha Kudus, dia menguduskan segala sesuatu yang dia kerjakan dan dia buat sehingga dia sendiri selalu dimampukan untuk “menjadi berkat bagi sesama”. Dalam usianya yang masih muda dia telah meraih “momento nan agung”, yakni kematian berahmat atas perjuangan dan kepeduliannya kepada mereka yang miskin, lemah dan terlantar, hingga dia dianugerahi gelar sebagai Beato oleh Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II. Orang muda! Kiranya tidak ada hal yang mustahil untuk meraih kesucian dan hidup lebih baik dan berbuah. Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus dan Beato Piere Giorgio Frassati telah membuktikannya.*** Oleh: Sr M. Monika Puji Ekowati, SND

1 comment:

Sr Maria Monika SND said...

Terima kasih Bp Anton telah upload Tulisan saya di Blog Bapak, semoga banyak kaum muda yang terinspirasi. Salam kenal dan doa saya

Sr. Maria Monika SND