Rencana gila yang saya susun sebelumnya untuk pagi itu adalah lari ke Depok untuk mengikuti `reuni akbar' dengan teman-teman di JIP-UI dulu. Namun pikiran waras saya beberapa kali mengingatkan mengenai mepetnya waktu yang harus saya tempuh ke bandara untuk penerbangan sore ke KL.
Mohon maaf kepada teman-teman yang sudah kecewa atas batalnya acara `soda gembira', terus terang saya juga sangat kecewa. Mungkin di lain kesempatan kita kumpul-kumpul lagi di kantin balsem atau tempat teater daun, ya…
Siang itu saya naik taksi ke Blok M, tempat pangkalan Damri bandara.
Rasanya waktu lekas sekali bergegas. Tiba terminal 2 di bandara, saya segera masuk dan sempat menunggu di depan counter check-in Malaysia Airlines [MAS] mengamati orang yang sedang mengepak barang dengan plastik [plastic wrapped]. Kedatangan Mbak Adriana, teman seperjalanan saya, yang menurut sms yang dikirimnya masih di perjalanan ke bandara, membuat saya memutuskan untuk langsung check in.
Kemudian saya berlari menuju ke meja petugas "fiskal". Saya mengeluarkan surat pengantar dari Departemen Agama dan menunjukkan pada petugas. Namun saya di arahkan ke loket Pabean di seberang imigrasi untuk mengurus pernyataan Bebas Fiskal.
Cukup banyak orang yang ngantri di sana. Saya sempat panik karena tidak paham prosedur. Ini hal baru buat saya. Syukurlah petugasnya cukup simpatik, saya diberi formulir untuk diisi dan menyertakan surat dari Depag. Saat tiba giliran saya, petugas mengamati dengan seksama form yang saya isi. Di formulir tsb saya menuliskan nama dan no. paspor mbak Adriana sebagai peserta perjalanan. Namun petugas itu
meminta surat rekomendasi yang menyebutkan nama Adriana. Karena tidak ada, petugas langsung mencoret dan mencetak kartu bebas fiskal atas nama saya sendiri.
Dari situ saya menuju ke antrian imigrasi. Lebih banyak baris antrian dan orang ngantri di sini.
Tiba giliran saya, saya sempat bermasalah lagi… nasib. Kartu keberangkatan dan kepulangan yang seharusnya diisi lengkap, saya hanya mengisi kartu keberangkatan saja. Petugas langsung meminta saya minggir dulu. Antrian di belakang saya langsung maju. Saya kewalahan buru-buru mengisi kartu yang saya anggap saat kepulangan baru saya isi dan serahkan.
Paspor saya akhirnya mendapat cap imigrasi… lega rasanya sewaktu melewati pintu itu. Masih hampir satu jam sebelum keberangkatan.
Saya menuju ke executive lounge bandara. Waduh, suasananya benar-benar beda di terminal keberangkatan ke LN dibanding executive lounge di terminal keberangkatan lokal! Mungkin gara-gara berkejaran dengan waktu aku jadi lapar… rehat sebentar. Ruangannya ibarat tempat persembunyian yang nyaman, karena suara panggilan untuk naik pesawat sama sekali tidak terdengar di sini. Karena kuatir saat untuk boarding
sudah tiba, bergegas saya tinggalkan tempat nyaman ini.
Gate D7 nyaris terlewati karena saya mengikuti ban berjalan… masuk ke antrian lagi. Kali ini pemeriksaan paspor, boarding pass dan pemindaian tas bawaan.
Setelah menunggu beberapa saat, penumpang dipersilakan masuk pesawat. Saya perhatikan ada beberapa kursi yang kosong hingga pesawat lepas landas. Termasuk kursi di sebelah saya… saya berjalan ke belakang dan menemukan mbak Ina sudah duduk di sana. Saya tawarkan kepadanya untuk pindah ke depan, dia malah balik menawarkan pindah ke belakang karena ada beberapa kursi kosong.
Masalah berikutnya muncul saat makan malam disajikan… perutku sudah cukup terisi tadi, sekarang ditawari mau Nasi Lemak atau … maaf, saya lupa apa namanya. Yang pasti saya memilih yang kedua. Nasi lemak bisa berakibat kurang baik karena lemaknya, pikirku… hehehe. Untunglah, pramugaranya rajin menawarkan minuman, termasuk wine.
Wow, jarang-jarang aku mau minum wine. Saya perhatikan ada dua gadis yang duduk di depanku. Setiap gelasnya kosong, si pramugara dengan sigap menuangkan wine dan membagikan camilan berupa kacang goreng. Pssst… bahkan sebelum pesawat mendarat, ada sebungkus souvenir berisi sebotol wine diberikan si pramugara khusus buat meraka, itu kutangkap dari obrolan mereka dalam bahasa Melayu. Keramahan khas Timur, tak
perlu diragukan.
Kami mendarat pukul 21.30 waktu setempat di bandara Kuala Lumpur International Airport [KLIA]. Tepat saat mendarat, panggilan dari pengeras suara: "Mr Sidjaya, Toni, please come to the officer immediately…" disampaikan beberapa kali.
Waduh, penyambutan personal itu untukku? Bergegas kuambil ransel kecil yang menyertaiku dipenuhi pertanyaan dalam benak. Ada apa gerangan? Saya hampiri pramugari, dia langsung menunjuk ke petugas yang berdiri di mulut garbarata. Saya mengikuti petugas itu dengan bertanya:
"What's up?"
Dia hanya menjawab: "We have a problem with your ticket. Follow me"…
Langsung aku siaga satu. Kutunjukkan padanya boarding pass yang kubawa.
Sesampai di counter MAS, mereka menerangkan bahwa mereka menerima teleks dari MAS Jakarta bahwa tiket saya belum disobek waktu di Jakarta. Aku serahkan semua tiketku kepada mereka untuk diperiksa.
Selembar kupon pada tiketku mereka robek. Dengan demikian, persoalan segera selesai dan aku bisa bebas, pikirku… Betapa sambutan hangat kedatanganku di KL telah membuatku gugup. Bayangin kalo seisi penumpang pesawat tadi tiba-tiba tahu namamu, and unfortunately you have a problem with that!
Sekarang aku tertinggal sendiri di bandara asing ini, semua penumpang sudah pergi. Tak tahu ke mana musti melangkah, aku bertanya ke bagian informasi di mana gate transit C26 untuk ke Frankfurt.
Kuputuskan untuk mengabaikan godaan untuk menjelajah dan melihat-lihat isi bandara KLIA akibat shock tadi. Ada stand internet gratis dari Samsung dipajang menyolok di tengah koridor. Di sana aku bertemu dengan mbak Ina dan Susan temannya. Syukurlah, sekarang saya tidak menjadi orang asing lagi.
Kami duduk di ruang tunggu C26 sambil ngobrol. Susan ternyata orang Jerman yang sudah lama bermukim di Jakarta. Dia fasih berbahasa Indonesia. katanya sekarang dia pulang liburan, namun dia tidak begitu suka dengan udara dingin di sana. Dia lebih suka tinggal di Indonesia. Wow! Aku minta padanya untuk mengajari bahasa Jerman. Maklum ada beberapa buku yang dipinjamkan Pak Lis, namun aku belum pernah praktekkan percakapan bahasa Jerman. Dia cuma ketawa waktu mengoreksi cara pelafalanku yang bengkok…
Jam 23.05 kami diperbolehkan masuk ke kabin pesawat. Saya dapat kursi di barisan depan bagian tengah, namun sayangnya pas berhadapan dengan lorong. Asik buat kaki selonjor, namun gak enak bila melihat lorong di depan mata. Untunglah saat pesawat lepas landas, tirai lorong diturunkan, sehingga pemandangan itu tidak mengganggu lagi.
Kini saatnya untuk tidur.
Thursday, August 11, 2005
Melamun di Dom 2: keramahan khas timur
Tuesday, August 09, 2005
Melamun di Dom 1: bedroll louis vuitton
9 Agustus 2005
Perjalanan panjang ini dimulai sejak pesawat saya dari Makassar mendarat malam hari di bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Sewaktu menunggu bagasi datang, saya berkenalan dengan sepasang bapak-ibu yang sepesawat dari Makassar. Si ibu terlebih dulu menyapa saya, katanya dia mengenal saya sebagai guru krisma anaknya… saya sendiri terus terang tidak ingat lagi.
Namun saya merespon sapaan mereka, hingga bagasi saya tiba, yakni sebuah ransel besar yang saya beli belum lama.
Mereka tampaknya heran dan mulai bertanya mengenai tujuan saya. Lalu saya katakan bahwa saya akan berangkat ke Jerman mengikuti Pekan Pemuda Sedunia. “Lanjut ke Paris, nggak?” tanya ibu itu antusias. “Memang begitu sih rencananya. Dari Cologne kami akan lanjut ke Paris untuk ziarah ke Lourdes…”, jawab saya.
“kalau begitu, boleh saya titip untuk belikan tas Louis Vuitton?”, pintanya sambil menjelaskan jenis yang dikehendakinya lengkap dengan harganya yang sekitar 600 euro. Saya terperangah mendengar dan spontan saya jawab, “kenapa nggak nyari yang di Cihampelas saja…”
Si Ibu tertawa dan berkata: “bisa kelihatan jelas beda Louis Vuitton buatan Cihampelas dengan yang aslinya.”
Lalu mereka mengajak saya ikut menumpang di mobil yang datang menjemput.
Dalam hati saya bersyukur atas kebaikan hati mereka.
Jakarta sudah malam, lampu-lampu jalan bersinar terang. Sangat kontras dengan di tempat asal saya, Makassar. Sewaktu-waktu PLN dapat memadamkan listrik. Kami mengobrol di sepanjang jalan. Mereka menuju ke arah Pondok Indah, saya ke Ciputat. Jadi, saya akan turun di depan PIM.
Sewaktu menyinggung kembali soal Louis Vuitton, ibu itu bilang kalau mau saya pakai dulu kartu kredit untuk beli tas itu, nanti sekembali di Jakarta dia akan membayar kontan. Namun, karena kuatir barang bagasi saya akan cukup banyak sehingga saya mencoba menolak secara halus. Sebelum turun di depan PIM, saya memberikan kartu nama saya. Mereka dapat mengontak saya apabila mereka sungguh serius soal pembelian tas itu.
Sebuah taksi blue bird berhenti. Sopir mereka dengan baiknya membantu memindahkan barang-barang saya ke bagasi taksi. Lalu kami pun bersalaman untuk berpisah.
Taksi membawa saya ke tempat kakak saya di Ciputat.
Setiba di sana dan taksi telah pergi, saya baru menyadari bahwa bedroll [matras] yang saya bawa telah tertinggal di bagasi taksi. Maklum bawaan saya mirip orang mau pergi berkemah. Sleeping bag saya taruh di dalam ransel. Namun bedroll harus dijinjing karena ukurannya besar. Ada pelapis aluminium di sekelilingnya. Itulah yang muncul di pikiran saat saya mengamati seluruh barang saat berada di kamar dan baru menyadari kehilangan benda berkilau satu itu.