pelajaran yang paling sulit dalam kehidupan? belajar untuk hening. itu pelajaran yang coba kudalami beberapa hari lalu. maka perjalanan kulanjutkan ke Pertapaan Karmel, Tumpang, Malang.
tempat ini sangat indah. terletak di pelosok nun di atas daerah perbukitan. sekitar 15 tahun lalu, pertama kali saya ke tempat ini jalan yang dilewati berbatuan. benar-benar perlu menghayati arti jalan penderitaan untuk dapat tiba di sana... sekarang, syukurlah, jalanan sudah licin beraspal.
dari bandara Juanda, Surabaya menumpang bus Damri (Rp 15.000) dari bandara ke terminal Purabaya atau Bungurasih. di sana naik bus Patas jurusan Malang (Rp15.000)... kendaraan sempat melambat di jalur Porong, Sidoarjo. satu-satunya jalan raya disesaki kendaraan dua arah, akibat jalan tol yang terputus gara-gara lumpur Lapindo!
tiba di terminal Arjosari menumpang mikrolet putih TA (Tumpang-Arjosari). saya hampir keliru naik mikrolet AT (Arjosari-Tidar). sampai di pasar Tumpang (Rp 4.000), menyewa ojek sampai ke Pertapaan (Rp 20.000).
Seorang Bapak pengemudi ojek mengantarku dengan kecepatan asik naik turun jalan berbukit-bukit, di sisi kiri-kanan sawah dan kebun... hujan gerimis mulai turun... pengalaman tak terlupakan off-road hingga ke Ngadireso, pemandangannya indah sekali.
tiba di Pertapaan, hujan bertambah deras mengguyur. suatu sambutan yang hangat (hangat???) dari alam atas kedatanganku ke tempat ini setelah 15 tahun... hahaha.
rencana saya menginap selama dua hari di sana. istilahnya retret pribadi. tanpa pembimbing rohani. pertama kali saya ke tempat ini juga begitu. nginap sendiri, retret pribadi. saya menyebutnya pengalaman rohani tak terlupakan, ibarat di Gunung Tabor bersama Yesus.
kegiatan harian: ikut doa dan misa pagi, saat hening, sarapan pagi, renungan di kapel (memakai buku-buku yang sudah saya siapkan), makan siang, istirahat sore, doa sore, saat hening, makan malam, istirahat malam.
doa sore saat saya tiba disertai misa yang dipimpin Romo Petrus O.Carm. renungannya mengenai Benih yang Ditaburkan sangat menarik. dia langsung berkata (di tengah suasana hening): setiap orang tidak membutuhkan pembimbing, karena Sabda Allah yang ditaburkan di hati masing-masing memiliki daya tumbuh... saya langsung berpikir, kok kalimat ini ibarat menyapa saya dengan penuh kehangatan?
pada misa pagi esok harinya, mengenai Yesus yang tertidur di buritan kapal saat badai melanda, Romo Petrus bilang: ada suster yang protes mengenai kalimat saya semalam, lhah terus apa lagi tugas kami sebagai pembimbing, guru, bila tidak dibutuhkan? Romo menunjukkan Yesus yang tertidur di kapal, seolah-olah dibiarkan tidur hingga para murid berteriak-teriak minta tolong... "Jadi, jangan pernah membiarkan Yesus tertidur. ajaklah Yesus berbicara dalam hidupmu..."
ada beberapa orang menginap di sana. biasanya mereka didampingi oleh pembimbing rohani. misalkan Ibu Maria Goretti dari Bali, menginap 10 hari di sana. juga Ibu Lili dan Siska dari Surabaya. selain itu ada pasutri dari Jember yang tiba Sabtu malam.
pagi hari, saya berjalan-jalan ke taman di belakang pertapaan. di sana terdapat Sendang (sumber air) bernama Sendang Retno Adi. keran air di depan Gua Maria dapat dinyalakan untuk menikmati air sumber. rasanya segar dan manis. letaknya di tepi bukit, sehingga pemandangan alam berupa sawah dan hutan terhampar indah.
di depan pertapaan, ada jalan kecil menuju ke Gua Maria dan tempat Jalan Salib yang ditata dengan taman bunga yang apik. di sana kupu-kupu banyak berterbangan. bunga teratai mekar di pagi hari.
saat refleksi pribadi di kapel, saya merenungkan mengenai Keheningan dari buku Henri JM Nouwen, "Dapatkah Kamu Minum dari Cawan Itu?". katanya, sulit mencari keheningan di tengah dunia entertainment (dari kata "enter"= di dalam, tengah, "tain"= tinggal) yang memang bertujuan agar orang tinggal berlama-lama dalam dunia hiburan, menjauhkan dari diri dan permasalahannya. perlu keheningan, untuk mendengarkan suara diri yang selama ini tidak terdengar.
kupikir-pikir ada benarnya. sekian puluh tahun usia seseorang, bila diibaratkan spons, dia menyerap amat banyak informasi, pengalaman, pikiran, dan segala macam ke dalam dirinya. tidakkah ini membebani? menjadi tak tertanggungkan bila satu dengan yang lain saling bertentangan?
keheningan ibarat me-recharge batere dalam diri yang sudah low-batt.
karena itu, saya bersyukur atas waktu hening yang saya dapatkan di Pertapaan.
No comments:
Post a Comment