membaca kolom catatan pinggir GM kali ini, mengantar ingatan kembali 10 tahun lampau. masa pergerakan reformasi. masa heroisme mahasiswa dan ketakutan yang ditebar penguasa waktu itu. begitu cepatnya perubahan itu. begitu lekasnya ingatan memudar... Kamis, 9 April 2009, bangsa Indonesia akan memilih wakil-wakil rakyat...
dan di antara wajah-wajah itu, GM mengingatkan, terdapat wajah keji pembunuh.
ya, rasanya saya masih mengenal sosoknya.
Herman
Potret itu dipajang berderat-deret, hampir di tiap pohon. Tapi di manakah Herman? Tiba-tiba saya ingat dia. Ia tak pernah kembali. Sepuluh tahun lebih, sejak ia hilang 12 Maret 1998. Orang banyak sudah lupa akan kejadian itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang yang diculik, terutama karena Herman tak dikenal luas. Saya juga tak mengenalnya betul – dan memang tak harus mengenalnya betul.
Baru kemudian saya ketahui aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu bernama lengkap Herman Hendarwan, lahir 29 Mei 1971 di Pangkal Pinang, Bangka. Selebihnya tak banyak lagi informasi. Wilson, aktivis PRD yang juga sejarawan, menulis kenangan tentang kawannya ini dan mengakui: “Menulis… tentang Herman Hendrawan bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali aktivitas politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi …”
Rahasia dan tersembunyi: saya dan Herman saling bertemu dalam beberapa rapat seperti itu. Itu tahun 1998, di hari-hari ketika tentara Suharto menangkap dan memburu para anggota PRD, setelah rezim itu memenjarakan anggota-anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen), setelah orang-orangnya menduduki dengan kekerasan Kantor PDI-P…. Beberapa orang sudah dilenyapkan. Dan Herman salah satu buron, seperti halnya Andi Arif , Nezar Patria, Bimo Petrus, dan lain-lain…
Dari bangunan di Jalan Utan Kayu 68-H, saya dan teman-teman aktivis lain, tahu kami dimata-matai. Di tempat yang kini dikenal sebagai “Komunitas Utan Kayu”, kami belajar bagaimana mengamankan diri, setelah markas AJI, organissai kami, digrebeg polisi dan tiga anggota ditangkap. Satu tim dari kami -- Irawan Saptono, Ging Ginanjar, Stanley Adi Prasetya, Tedjobayu -- mengatur cara pengamanan itu, yang kadang membingungkan karena tiap kali diubah.
Itu tak bertambah gampang ketika kami harus berhubungan dengan lingkaran yang lebih luas. Tapi waktu itu kalangan pergerakan perlu membentuk jaringan, bahkan front bersama, secara pelan-pelan. Suharto terlampau kuat, dan kami hanya sekelompok aktivis dengan jangkauan terbatas. Di luar pelbagai gerakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan kami saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perlawanan.
Selebihnya gagu. Suharto berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang efisien: menyebarkan ketakutan. Rezim itu punya modal teror yang amat cukup, setelah di tahun 1965-66 puluhan ribu orang dibunuh, dibui dan dibuang. Dalam keadaan itu, membentuk kerja sama dengan kalangan lain dalam pergerakan pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan teror itu. Dengan menjajal keberanian..
PRD ada di garis depan keberanian itu. Saya mulai bekerja sama dengan mereka secara lebih dekat sejak saya mengetuai Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) – sebuah langkah ke arah pembentukan front bersama dan sekaligus sebuah siasat untuk mendeligitimasi pemilihan umum Suharto (“kami pura-pura memantau pemilu, karena rezim ini juga pura-pura mengadakan pemilu”). Harus saya katakan sekarang: para anggota PRD – mereka umumnya sadar arti gerakan politik, bersemangat, dan tak gentar -- adalah sayap yang paling saya andalkan dalam KIPP.
Tapi sebelum KIPP bekerja penuh, PRD digrebek. Pimpinan mereka, antara lain Budiman Sudjatmiko, kemudian tertangkap. Kami terpukul, tentu: seluruh daya harus dibagi. Sebagian untuk meningkatkan perlawanan == “la lutta continua!” -- dan sebagian menggagalkan usaha tentara Suharto mematahkan bagian gerakan yang tersisa. Langkah baru harus diatur.
Sejak itu hubungan kami berlangsung makin berahasia, termasuk membangun kontak ke tempat tahanan. Dari Utan Kayu 68-H, operasi seperti ini, termasuk operasi penyebaran informasi dan disinformasi, dikerjakan oleh yang kami sebut “Tim Blok M”. Lewat jaringan yang dibentuk Irawan kami secara periodik bertemu dengan link PRD”: Andi Arif dan Bambang Ekalaya. Kemudian Herman -- meskipun saya tak mengenalnya betul sebagiamana ia tak akan mengenal saya betul. Ada yang harus dijaga, karena bisa saja suatu hari kami tertangkap dan dipaksa buka mulut.
Dan benar: di bulan Maret itu Herman tertangkap. Atau lebih tepat, diculik. Tak hanya dia; Andi Arief, Faisol Reza, Waluyo Jati, Mugianto, Nezar Patria, Aan Rusdianto -- semua aktivis PRD yang diangkut dengan paksa, dalam mobil yang tertutup rapat, dengan mata yang diikat dan kepala yang diselubungi seibo, dan dimasukkan ke dalam yang oleh Nezar Patria disebut, dalam testimoninya kemudian, sebagai “kuil penyiksaan Orde Baru”.
Sebagian mereka kemudian dilepas. Tapi Herman tidak. Ia hilang. Juga dua nama lain Bimo Petrus dan Suyat. Wiji Thukul, yang untuk beberapa lama berhasil disembunyikan satu tim teman-teman, juga kemudian lenyap.
Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Setidaknya mati dalam penyiksaan. Nezar pernah menggambarkan bagaimana tentara Suharto menganiaya mereka: pada satu bagian dari interogasi, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. “Allahu akbar!”, ia berteriak. Tapi mulutnya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napasnya putus. Tersengal-sengal.
Saya bayangkan Herman di ruang itu. Mungkin ia lelap selamanya setelah tersengal-sengal. Mungkin ia langsung dibunuh. Yang pasti, ia tak pernah pulang. Para pejuang dalam sajak Hr. Bandaharo berkata “tak berniat pulang, walau mati menanti”. Dan Herman pernah menulis surat ke orang tuanya: “Herman sudah memilih untuk hidup di gerakan”, sebab Indonesia, tanahairnya, membutuhkan itu. Tapi haruskah kekejian itu?
Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orang-orang keji yang saya kenal. Tak ada Herman.
Goenawan Mohamad
(Caping majalah Tempo, 6 April 2009)
Tuesday, April 07, 2009
Herman
jam 12:33:00 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment