Taize
Pukul 13.14 bus ke Taize tiba. Tiket dibeli pada sopir. Perjalanan memakan waktu sekitar 40 menit melewati kebun-kebun anggur, bunga-bunga persik di sepanjang jalan, dan kota Cluny. Francois turun di sini.
Pukul 13.50 tiba di Taize, hujan deras. Saya dan Min nongkrong di teras sambil bercakap-cakap. Min sempat bilang, apabila dia tidak betah tinggal di Taize maka dia akan langsung pulang ke Bristol. Dia masih menikmati biskuit abon karena inilah makan siang yang ada. Di papan pengumuman tertera jadwal Welcome Registration pukul 15.30. Kelompok dewasa dipisahkan dengan anak muda. Min bergabung dengan kelompok anak muda, saya dengan kelompok dewasa. Jadi, kami berpisah.
Saya masuk dalam grup berbahasa Inggris dan mendapat pengarahan dari Sarah Christina seorang volunteer dari Jerman. Dia menjelaskan peta lokasi Taize, kemah F sebagai tempat pertemuan utama kelompok dewasa, jadwal kegiatan harian, dan apa saja yang dapat dilakukan di sana setiap hari. Kemudian pembagian kamar untuk peserta. Saya mendapat kamar dorm no. 265. Lalu pembayaran. Saya cukup terharu sewaktu volunteer yang melayani berkata bahwa karena saya datang dari Asia, maka saya bebas menentukan jumlah pembayaran. Saya telah menyiapkan anggaran untuk ini berdasarkan tarif orang dewasa di dormitory selama 8 hari. Kemudian rehat sejenak, kami menikmati kue bolu dan teh lemon hangat.
Taize memiliki beberapa blok dormitory. Untuk orang dewasa dormitory letaknya lebih jauh dari dorm anak muda. Masing-masing dilengkapi kamar mandi, toilet dan wastafel yang bagus. Di setiap kamar terdapat 3 ranjang susun (bunk bed), sehingga total 6 orang sekamar. Saya sekamar dengan 4 orang Spanyol dan 1 orang Porto. Kami bercerita mengenai pengalaman perjalanan sampai ke sini. Rasanya seru, mereka jauh-jauh naik mobil sampai ke tempat ini!
Lalu saya bertanya mengenai tempat peziarahan terkenal itu, Santiago de Compostella. Seru sekali perjalanan ke sana, kata teman Spanyol. ”There are many ways to Santiago. You should try which one fit for your time...”, katanya dengan logat Spanish. Santiago ini sangat menggoda setiap kali saya membaca novel Paulo Coelho.
Yang terjadi berikutnya, saya memutuskan pindah kamar. Saya ke El Abiodh, tempat hospitality di Taize. Bila sakit, atau butuh menu makanan khusus, atau butuh tempat istirahat, silakan melapor ke El Abiodh. Di sana para suster melayani dengan ramah. Saya mengatakan bahwa saya butuh tempat khusus untuk beristirahat, karena saya cukup sulit tidur bila ada suara gaduh. Suster menyarankan saya untuk menginap di kemah. Kupikir ini ide yang baik. Suster memberikan sleeping bag dan kunci kemah no. 18.
Pengalaman tidur di kemah di Fuhlinger See sewaktu World Youth Day membuat saya menggemari kegiatan berkemah. Taize memiliki beberapa kemah yang bagus. Kemah tersebut dilapisi terpal berwarna biru sehingga air hujan tidak akan tembus. Selain itu, lantai kemah dilapisi papan dan terdapat dua kasur lateks bersisian dan seprai putih. Ini sih kemah mewah, menurutku. Tent sweet tent...
Sambil menunggu waktu makan malam, saya bergabung dengan anak-anak muda Jerman. Mereka mengadakan permainan memindahkan mangkuk-mangkuk plastik yang dipakai minum, juga biskuit, coklat, jepitan rambut dengan tepukan tangan berirama. Saya diajak ikut bermain, sementara ketua kelompok memberikan contoh. Pertama kali kagok juga, namun lama kelamaan permainan ini makin cepat dan asik sekali...
Tak terasa waktu makan malam tiba. Ratusan anak muda antre makan, jadi saya ikut bersama mereka. Menu makan malam yang dibagikan: sup kacang hijau dengan ham, roti, biskuit, yoghurt dan apel. Belakangan baru saya menyadari bahwa saya keliru tempat makan malam. Seharusnya saya bergabung bersama kelompok orang dewasa dan makan malam bersama mereka di kemah F.
Dalam kegelapan, nyalakan api yang tak pernah padam...
Doa malam diadakan pukul 20.30. Saya menyiapkan jaket, senter sebelum ke kapel utama. Saya coba mengetes senter, menyala namun sudah sangat redup. Baterenya harus diganti karena tidak ada penerang dalam kemah.
Hari-hari pertama di Taize, kapel utama tidak terlalu penuh sehingga tidak sulit mencari tempat duduk. Saya suka memilih tempat agak di depan, biar lebih fokus. Lagu-lagu yang dinyanyikan beberapa dalam versi asing. Seperti lagu: ”Dans nos obscurites, allume le feu qui ne s’e-teint jamais, qui ne s’eteint jamais...”, lidah ini cukup berlepotan berbahasa Perancis. Saya memilih tetap menyanyikan versi bahasa Indonesia-nya: ”Dalam kegelapan, nyalakan api yang tak pernah padam...”
Selesai doa malam, pukul 22.10 saya ke Oyak. Di Oyak terdapat toko, kafe dan tempat kongkow-kongkow. Saya butuh batere AA untuk senter. Anak-anak muda ramai berkumpul di sana menikmati minuman sambil bernyanyi-nyanyi. Saya bertanya kepada volunteer di Oyak, di mana saya dapat membeli batere. Dia menjawab: sayang sekali toko sudah tutup pukul 22.00. Jadi, dia tidak dapat membantu.
Saya berjalan menuju perkemahan. Malam itu saya menghayati kegelapan malam tanpa penerangan dalam kemah. Darkness, I come into You totally... Kesenyapan. Udara dingin malam terasa makin menggigit. Sambil meraba-raba, saya masuk ke dalam sleeping bag. Berpasrah dalam kegelapan, lagu ini jadi sangat bermakna: “dalam kegelapan, nyalakan api yang tak pernah padam, yang tak pernah padam ...”
Sebelum saya kemudian jatuh terlelap.
Saturday, December 13, 2008
kaleidoskop 2008: melamun di taize 3
jam 9:36:00 PM
Label: traveling
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment