(in memoriam 15 Agustus 1976 - 04 Juli 2002)
Dear Herry,
kutahu engkau bukan Harry Potter. tiada kemiripan sama sekali. namun engkau punya keajaiban seperti Harry Potter, kisah yang mengingatkanku pada perjalanan panjang yang pernah kutempuh pada waktu studi di kampus UI dulu...
bertemu denganmu apakah ini suatu bencana atau rahmat. aku bertanya-tanya waktu itu. terus terang aku bilang seringkali kamu itu menyebalkan. sok tahu, dan dengan berolok-olok ada teman yang bilang: "kagak ada matinye...", lalu kami tertawa-tawa di kantin "balsem" (balik semak-semak) waktu melihatmu mengemudi sepeda motor dengan gaya miring mengelilingi jalan di depan perpustakaan pusat.
sialnya, engkau yang paling rajin mengingatkanku untuk ikut persekutuan doa (pd) anak-anak sastra tiap Jumat siang. aku selalu mengelak dengan alasan aku ikut misa Jumat siang di pastoran mahasiswa di margonda. engkau yang memperkenalkanku pada persekutuan doa ini. dan karena nama dan identitasku tercatat pada kelompok ini, setiap ulang tahunku tiba, sepucuk kartu ucapan selalu engkau antarkan padaku atas nama PD Sastra... kemudian dengan culunnya engkau berkata: "bang toni, kapan ikut persekutuan doa lagi...".
kujawab: "aku ikut misa Jumat siang di SJ". Lalu tanpa menyerah si Herry ngajak: "sabtu-minggu besok anak-anak sastra akan bikin camping kebaktian padang. bang toni mau ikut?"
nggak ah, kalau minggu aku ada kegiatan di paroki depok. lagi pula kebaktian padang macam apa lagi ini? begitulah tabiat si Herry, kagak ada matinye...
soal agama tak dapat lepas dari dirinya. maklum dia seorang "preacher" (pendeta). pertama kali ngobrol di kantin balsem dia pernah cerita bahwa latar belakang pendidikannya dari Sarjana Teologia di Malang. keluarga dan orangtuanya tinggal di Papua. ia tertarik dengan kepustakawanan sehingga melanjutkan pendidikan di JIP-UI.
semangat yang menyala dalam dirinya amat berlawanan dengan kondisi tubuhnya yang cacat. berjalan timpang, dengan tangan tertekuk sebelah. syaraf sebelah tubuhnya kupikir tidak berfungsi normal, sehingga gerakan mulutnya untuk berbicara tak sebebas yang lain.
ia suka mengikuti kegiatan yang menantang di tengah alam. masih teringat aku ketika kelas kami (JIP'99) mengadakan acara outing di sebuah daerah sekitar Jawa Barat. kami berjalan-jalan di sawah, menyusuri jalan mendaki ke air terjun. bermalam di keluarga Kokom. si Herry kagak ada matinye. dari awal hingga akhir acara ia tetap bersemangat. sementara teman lain ada yang sudah tidak tahan kecapekan...
di ruang kelas, ia termasuk mahasiswa yang pandai dan ulet. ini tak terbantahkan, karena di angkatan kami ia wisudawan pertama S1 Khusus dari jalur skripsi. pembimbingnya adalah Prof. Sulistyo, beliau tentu mengenal baik watak si Herry. selain itu Ibu Irma. setahu saya, tak ada perlakuan khusus yang diberikan atas keterbatasan fisik Herry. maksud saya dari segi materi dan tingkat kesulitan ujian.
seringkali jumlah soal yang begitu banyak tak mampu diselesaikan dalam tempo yang ditentukan. kami mengerjakan musti dengan terburu-buru, namun harus tetap teliti. mengamati si Herry dalam kondisi begini tak luput menerbitkan rasa kasihan. kepalanya terteleng ke kiri dengan mata tegang memandang kertas, tangan kirinya (maklum ia kidal) menulis di kertas ujian. karena kondisi tegang ini, berkali-kali ia harus menghapus air liur yang tanpa terkontrol menetes dengan sapu tangannya. suatu ketika Ibu Irma membagikan kertas ujian yang telah diperiksanya di depan kelas. beliau meminta Herry untuk mengambil kertas ujiannya kembali dan mengetik ulang, karena huruf-huruf tulisan tangannya begitu sulit untuk dibaca. namun si Herry memang kagak ada matinye... ia lulus dari mata kuliah Ibu Irma, sementara teman-teman lain banyak yang musti mengulang.
suatu pengalaman tak terlupakan sewaktu liburan semester menjelang Natal 1999 naik kapal KM Dobonsolo. saya ingin ke denpasar, pak Frans Wayan hendak ke Kupang, dan Herry pulang kampung ke Irian Jaya. saya dan Pak Frans berangkat bersama ke pelabuhan. Herry berangkat lebih dulu. saya menduga bakalan sulit mencari si Herry di kapal. karena kapalnya cukup ramai, Pak Frans yang lebih dulu ke kapal mencarikan tempat sementara saya menunggui tas dan koper di dermaga. maklum kami mengambil kelas dek alias ekonomi. antrian penumpang yang turun dan naik masih ramai. akhirnya Pak Frans muncul juga dengan wajah berseri berkata: "di atas kapal saya ketemu si Herry... dia yang sediakan tempat di sana dan sekarang menjaganya buat kita".
Aha, si Herry... kamu memang bukan Harry Potter, tapi kamu bisa membuat keajaiban. di atas kapal, apa lagi kelakuan si Herry kalau bukan rajin mengikuti kebaktian malam di salah satu dek. aku sih memilih tidur karena capek menggotong barang dan memang aku lebih menikmati istirahat dalam perjalanan kapal. Pak Frans sempat ikut kebaktian di kapal, namun sekembalinya sempat mencak-mencak karena kotbah sang pendeta yang dirasa kurang pas :-).
akhirnya kapal bersandar di pelabuhan Benoa, Bali. Herry dan Pak Frans berniat jalan-jalan di sekitar pelabuhan. namun musti menunggu cukup lama karena tangga kapal masih disesaki penumpang yang turun dan naik ke kapal. Herry menawarkan mengangkat tas. saya mengangkat koper... akhirnya sampai di darat. orangtua saya telah menunggu di dermaga. Ibu saya masih mengingat Herry dalam peristiwa ini. karena begitu bertemu, dengan mantap Herry mengulurkan tangannya menyalami dan berkata: "Saya Herry, temannya Bang Toni..."
Herry, Herry...
kisah yang kupunya tentu tidaklah memadai untuk menggambarkan dirimu yang unik. aku ingat waktu kuliah engkau punya sahabat karib: Abah Amien. hampir selalu dimana ada abah Amien di situ ada kamu, entah itu di perpustakaan mengerjakan tugas, atau pun kala ngobrol senja di kantin sepi balsem. kalian menjadi kelompok yang solid. abah Amien badannya gempal dan suka ketawa. sedangkan kamu berbadan kecil (ibu Tien suka menyebutmu "si kecil"), tapi gilanya juga suka ketawa...
tadi siang sekitar jam sembahyang Jumatan, saya terima SMS yang mengabarkan kepergianmu. terus terang aku nggak percaya. maka kutanya balik: beritanya dari mana? Ibu Tien lalu bilang ortumu di Nabire menelpon ke rumah abah Amien tengah malam mengabarkan kamu telah pergi setelah dirawat 20 hari di rumah sakit. kilasan-kilasan dirimu beserta kelas kita segera memenuhi ruanganku...
Herry, apa bisa kukatakan pada saat-saat begini?
engkau yang mati muda, kata Soe Hok Gie (SHG) mahasiswa sastra UI tahun '60-an: berbahagialah... aku hanya mengenal SHG dari buku-bukunya. namun aku mengenal engkau secara langsung dalam kesempatan singkat kuliah di UI. kalau boleh kubilang, engkau lebih mirip "Simon Birch". filmnya sempat kunonton di saluran tv waktu di India kemarin. si Simon mengidap penyakit yang membuatnya tak dapat bertumbuh normal, badannya tetap pendek. ia tidak merasa risi, bahkan sangat percaya diri. berdua dengan temannya yang berbadan normal mereka menjalani masa remaja yang diwarnai kenakalan. si Simon pergi mengunjungi pendeta dan bertanya: apa yang diinginkan Tuhan dari dirinya. si pendeta bingung tak mampu menjawab. belakangan baru muncul kesadaran dalam dirinya dan Simon lalu dengan mantap berkata: Tuhan mengirimku ke dunia ini dengan suatu misi mulia.
benarlah, tatkala sebuah bis sekolah tergelincir masuk ke dalam danau, Simon menyelamatkan satu per satu anak. hingga dia sendiri tewas karena bis tenggelam ke dasar danau.
Herry,
aku percaya, kamu masih punya semangat yang menyala-nyala hingga saat-saat terakhirmu. dan bahkan maut sekali pun tak dapat merenggutnya darimu. kuharap sang maut pun akhirnya menyerah dan berkata: ni anak kagak ada matinye... saat engkau bertemu dengan sang Pencipta di sana.
... selamat jalan, sobat
jaga dirimu baik-baik
saat engkau menempuh jalan ini
meski pincang tertatih
aku yakin engkau dapat sampai di sana
karena ada Sobat yang setia di sisimu ...
- rest in peace -
Herry Prasetyo
1976 - 2002
Friday, July 05, 2002
Surat Terbuka buat Herry Prasetyo
Subscribe to:
Posts (Atom)