Wednesday, October 26, 2005

Melamun di Dom 13: concluding mass

22 Agustus 2005

Pukul 7.30 saya terjaga. Suasana senyap, damai dan indah terasa di pagi itu. Atap kemah masih basah oleh embun. Sleeping bag kugulung kembali. Ini adalah hari terakhir kami sebagai volunteer nginap di sini. Dan memang menyebalkan saat menyadari bahwa hari terakhir itu sudah tiba. Setelah merapikan isi kemah, pintu kemah berupa ritsleting kubuka.
Anyway, saatnya mandi dan sarapan. Siang nanti ada acara perpisahan para volunteer di Messe.

Di tenda makan ketemu lagi teman-teman dari Johor Baru. Sambil menikmati roti kepal, nescafe dan susu, kami ngobrol mengenai rencana perjalanan sesudah acara di Koeln berakhir. Tenda makan terisi lebih banyak peserta dibandingkan kemarin. Namun tidak seramai hari-hari sebelumnya, karena banyak volunteer yang sudah check out alias pulang dari Fuhlinger See.

Kesenyapan itu terasa makin dingin. Apalagi saat kembali ke kemah untuk mengemasi barang-barang ke dalam ransel. Saat bertemu Jung dan Sandra untuk berpamitan, sepertinya masih ada cerita yang belum selesai kami kisahkan. Jung tampak letih setelah lembur jaga di Marienfeld, namun dia sudah bangun dan akan ke Messe untuk acara perpisahan.

Pukul 9.30 saya check out dari kemah Fuhlinger See. Melewati jalan berpasir dan hamparan bukit-bukit rumput. Juga bebek-bebek yang berenang di danau. Menuju ke halte Seeberg, naik bus ke Wilhelm Sollman Str. Di sana berkenalan dengan Manuel, volunteer dari Jerman yang ajaibnya, hingga hari terakhir begini belum tahu di peron sebelah mana kereta yang menuju Messe... Manuel jadi teman perjalanan untuk ngobrol, sehingga hanya kilasan-kilasan tempat yang terakhir kali dilewati kereta dapat kutangkap.

Tiba di apartemen Armel, lebih ramai lagi. Ada Mbak Ina, Agnes, Stella dan Armel menyambutku ibarat anak hilang... hehehe. Kami tak dapat bercerita banyak karena musti segera menuju ke Messe. Di perjalanan, kami mampir di wartel. Stella ingin menelepon ke Jakarta, demikian juga mbak Ina. Tarifnya murah sekali, beberapa sen euro bisa dipakai nelpon ke nomor ponsel di Indonesia selama beberapa menit. Maklum pakai saluran VoIP.

Sambil menunggu mereka nelpon, saya perhatikan seorang anak kecil yang mau fotokopi selembar kertas. Karena badannya kecil sekali, saya coba membantunya menaruh kertas ke mesin fotokopi, lalu menekan tombolnya. Agnes berusaha mencegah, “gak usah dibantu, Ton... di sini sudah biasa, orang fotokopi layani diri sendiri...”
“Iya, tapi anaknya kecil banget...”, jawabku
Dan benar saja, hasil fotokopinya mengejutkan saya sendiri: posisi kertasnya tidak tepat, alias hasilnya jelek. Aku cuma meringis... hehehe. Anak itu mengambil hasil kopian, lalu ke meja kasir untuk membayar. [apa kata babenya kalau tahu itu hasil kerjaan saya, ya? Hehehe...]

Setelah itu kami tiba di Messe. Mahluk-mahluk berseragam volunteer memerahkan tempat itu terakhir kali. Di depan pintu kami dibagikan beberapa suvenir khusus. Concluding Mass for Volunteer sudah dimulai. Kami menerobos kerumunan relawan untuk mendapat tempat. Ramai sekali... Uskup dalam homilinya menyebut kami para relawan sebagai onta. Peserta menyambutnya dengan sorakan.
“Tanpa onta, para majus tidak akan dapat sampai ke Bethlehem”, kata uskup.
Peserta bersorak lagi.
“kalian telah menjadi onta-onta yang baik, yang melayani para peserta WYD selama beberapa pekan. Tak peduli besar-kecilnya pekerjaan yang kalian tangani, namun itu sangat berharga...”
Peserta bergemuruh berseru: “be-ne-det-to”...
Setelah misa, kami berfoto-foto. Beberapa teman relawan yang sejak awal kami kenal, sekarang kami jumpai di sini kembali: teman dari Paraguay, Polandia, dan tim kami...
Kami ngantri untuk makan siang bersama. Menu kali ini spesial. Ada chili dan roti, steak ikan, serta minuman aneka rasa dalam botol-botol 1,5liter.

concluding mass for volunteer
Saya berkenalan dengan seorang ibu tua yang kebetulan juga relawan di WYD ini. Katanya, dia sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi untuk menghidupi keluarganya. Tak dapat kulupakan kilatan matanya yang memancarkan kebanggaan saat ia mengatakan: “anak saya juga ikut dalam kegiatan WYD ini sebagai pembawa acara. Kamu lihat dia itu tadi yang ngomong setelah misa...”
What a great mom!

Foulques, Ina, Melitta, Edouard, and me
Saya bertemu dengan Fulques [ejaan namanya seharusnya Foulques], Edward [Edouard] dan Estelle untuk berpamitan. Mereka sedang duduk-duduk di halaman rumput di bawah pohon rindang. Kemudian Melitta, dia masih mau menyanyikan lagu “Mitte” khusus terakhir kalinya.
Dan our commander, Florian Jung. Kami berjabatan erat di depan pintu Messe sebelum berpisah. Dia bilang sangat terkesan dengan kehadiran kami di sini sebagai relawan.

Saya mengantar Melitta ke stasiun Messe. Tas kopernya lumayan berat. Dia sedang mengejar kereta ke Muenster. Sempat salah peron, kemudian kami berlari ke tangga lain... kali ini peron yang tepat. Sebuah kereta dengan pintu terbuka. Melitta langsung melompat masuk dengan kopernya, sambil melambaikan tangan...

Dari situ saya menuju ke pusat kota. Untuk berpamitan dengan Media Markt, Galeria, 4711 dan Dom, hehehe... di Galeria ada dua kali saya meminta lembaran Tax Free. Petugasnya, seorang cewek, di ruangan khusus, mungkin dia sampai hapal. Soalnya saat belanja terakhir jam 17, saya menghampirinya untuk membuat formulir Tax Free, dia sudah berkemas mau pulang kantor. Namun, dia mau juga melayani demi pengembalian 2-3 euro tax-ku... hehehe. [mungkin dia pikir, gigih juga nih anak... Akan lebih seru lagi nanti kisah pengembalian pajak di bandara Charles deGaulle, Paris]

Mbak Ina sms memberitahu supaya saya menunggu di Dom untuk janjian makan malam bersama. Saya pun balik ke Dom. Duduk-duduk termangu di tangga pelataran Dom memandang beberapa orang yang lalu lalang menuju Koeln Hbf. Teringat pada pertama kali kami tiba di tempat ini serta keramaian peziarah dari aneka bangsa. Warna-warni ceria mereka masih dapat terlihat.

Armel membuyarkan lamunanku di Dom. Mereka [Mbak Ina, Agnes, Armel, Stella] tiba dan bersepakat mengagetkan daku dari belakang. Lalu memeriksa tas belanjaan hasil ‘pamitanku’ tadi. Kemudian kami berjalan menuju ke sebuah restoran Korea.

Menu yang disediakan a la buffet, alias makan sepuasnya dengan membayar Eur 6 per orang. Kami duduk semeja, asyik ngobrol sambil mengganti piring berikut isinya... menu nasi dan masakan timur sungguh nikmat. Hingga jam 21.15, tinggal beberapa pengunjung saja yang masih betah dalam resto itu, termasuk meja kami... 15 menit lagi resto tersebut akan ditutup. Makanannya enak sekali siih. Tak lupa kami memuji-muji nyonya pemilik resto [sampai katanya pelayannya mau bungkuskan makanan buat bekal kami, hihihi...].

Malam telah larut, kami harus pulang ke rumah untuk berkemas-kemas. Besok pagi kami akan berangkat meninggalkan Koeln. Saya meminjam komputer Armel untuk mengopi beberapa lagu Indonesia ke MP3 player sebagai teman perjalanan.

Mbak Ina, Agnes dan Stella tidur di kamar Armel. Saya tidur di kamar Ato sendirian.
Pukul 01.30 saya baru dapat terlelap setelah kemas-kemas dan menyortir barang bawaan selesai. Akhirnya, malam terakhir tiba juga...

vivere pericoloso

jangan henti dulu
waktu mengejar kita
saat kita berusaha mengeja makna hidup

seluruh cinta
musti kita panggul
dengan langkah tertatih

semoga,
aku masih sanggup
melarik keajaiban
di ujung sana

Monday, October 24, 2005

Melamun di Dom 12: Children of the lesser God

21 Agustus 2005

quo vadis


orang asing itu bertanya,
“ke mana jalan ke surga?”

aku diam
menunjuk ke bumi


Udara berkabut di tengah hamparan sleeping bag di Marienfeld. Beberapa anak muda yang sudah bangun sedang duduk menikmati kopi dan roti, sambil ngobrol dalam aneka bahasa. Lebih banyak yang masih asyik pulas, meringkuk di dalam sleeping bag. Sesekali layar raksasa di lapangan menayangkan pengumuman: “si Anu dari rombongan anu dipanggil menghadap ke Info Point”. Langit tidaklah cerah pagi itu. Sleeping bag kami basah dihujani embun semalam.

Agnes, mbak Ina dan Stella sudah bangun. Mereka mau ke Dixi. Jadi aku diminta menjaga bedroll yang menjadi basecamp kami. Ibadat pagi telah dimulai. Saya duduk dan coba mengikutinya, meski dengan bahasa yang tidak kupahami. Cukup lama hingga mereka kembali. Agnes membawa majalah-majalah SCJ. Mereka baru saja mampir di blok romo-romo SCJ dari Indonesia [ketemu romo Mar katanya] dan diberi majalah.

Kini giliran saya yang hendak pergi. Loh, mau ke mana?
Mau balik ke Fuhlinger See. Ransel, sleeping bag sudah kukemasi. Kemudian acara pamitan dengan Agnes, Mbak Ina dan Stella. Sepanjang jalan banyak hal yang dapat dilihat: orang-orang pada antri di depan Dixi, cukup panjang loh... Saya berpikir, gimana kalo ada yang sudah mendesak sekali bertemu Dixi buat nyetor? Waduh, bisa repot. Syukurlah bahwa sepagi itu perutku bisa diajak kompromi sehingga tidak perlu bertemu Dixi.

Dixie lovers in Marienfeld :)
Sisa-sisa keramaian semalam masih dapat terlihat. Lilin yang mencair di bak air besar yang ada di setiap blok. Kotak-kotak sisa makanan berserakan. Beberapa orang lewat memegang gelas kertas berisi minuman hangat...

Menjelang jam 10 pagi saya tiba di Gate 2. Banyak polisi berjaga di sana. Paus Benediktus XVI dan iring-iringan mobil baru tiba dan memasuki Marienfeld, sehingga jalan utama diblokade polizei. Setelah blokade dibuka, baru saya dapat melanjutkan jalan kaki ke pos jaga kami. Di sana ada Edward dan Estelle sedang bertugas. Mereka sempat menanyakan kabar saya semalaman... kujawab bahwa sejak tugas kemarin pagi saya belum sempat pulang, semalam bergabung di blok Volunteer yang ramai sekali dan tidur di bawah langit. Mereka sepertinya terpesona memandangku, karena mereka tidur di tenda khusus.

Polizei on duty
Untunglah ada bus yang berangkat pagi itu. Kata Edward, semua akses jalan diblok polizei saat Paus mengadakan misa pagi di Marienfeld. Beberapa kaum muda ikut juga dalam bus. Sebetulnya tujuan bus itu hanya berhenti di stasiun Sindorf, namun beberapa penumpang berhasil membujuk pak sopir sehingga mau mengantar sampai ke Koeln Messe. Sepanjang jalan mereka bernyanyi-nyanyi lagu yang kedengarannya seperti lagu anak TK: “lalala... busfarat... busfarat...” yang seringkali ditimpali oleh pak sopir dengan gembira.

Bus melewati jalan tol. Baru sekali ini saya menikmati perjalanan naik bus lewat jalan tol di sana, sambil ngantuk tentu saja. Tiba di Messe, saya langsung ke stasiun menunggu kereta ke Chorweiler. Sepi sekali suasana peron. Maklum saja semua peserta WYD masih berada di Marienfeld.

Di terminal Chorweiler, saya berkenalan dengan Anne. Dia sedang duduk dengan wajah kusut memegang ransel. Kami menunggu bus ke Seeberg arah Fuhlinger See. Sesekali dia bersin dan membersihkan hidung. Inilah yang membuat dia bertambah dongkol. Flu-nya menjadi makin parah akibat menginap di lapangan terbuka Marienfeld... Katanya hari Rabu besok dia harus berangkat ke Indonesia. Apa??
Iya, Anne sedang liburan sekolah, dan dia sudah jadwalkan keberangkatan ke Jakarta untuk menjumpai orangtuanya di sana. Kebetulan ayahnya kepala sekolah sebuah sekolah Jerman di Jakarta. Dia hendak ke Fuhlinger See buat mengemasi barang, check out, pulang ke rumah untuk berendam air hangat.

Tiba di Fuhlinger See, ibarat tiba di surga. “tent sweet tent” [versi lain dari “home sweet home”], ransel bawaan disimpan di kemah, kemudian pergi mandi dulu... Maklum, sejak kemarin pagi belum sempat mandi, hihihi...

Di tenda makan ada beberapa volunteer yang sedang asyik ngobrol sambil sarapan. Saya duduk semeja dengan Deepak, volunteer dari India, dan seorang India lagi yang sudah lama menetap di Amsterdam. Juga ada seorang cewek dari Minnesota. Tampaknya dia juga kesal sekali pagi itu. Katanya dia juga baru pulang dari Marienfeld. Dia coba bandingkan WYD tahun ini dengan WYD sebelumnya di Toronto, katanya ini yang terburuk baginya, transportasi ke lokasi payah, lalu fasilitas umum tidak dapat diakses dengan mudah. WYD sebelumnya di Toronto katanya lebih rapi terorganisir, semua kegiatan dilaksanakan di satu lokasi, all in one place, sehingga peserta tidak perlu berpindah-pindah lokasi. Lalu kami ngobrol tentang Amerika, Minnesota [yang mengingatkanku pada kisah Laura Ingalls ‘little house on the prairie’], Amsterdam dan beberapa tempat yang ada di pikiran kami.

Pukul 14 saya istirahat di kemah, di tengah kesenyapan danau Fuhlinger. Semilir angin sejuk sore itu membuat saya lekas tertidur meskipun hanya untuk sesaat. Pukul 15 saya sudah bangun untuk mandi. Jadwal saya sore itu ingin jalan-jalan ke pusat kota.

Museum Roman-Germanisch yang terdapat di sisi Dom rasanya terlalu sayang dilewati. Petunjuk mengenai pintu masuk di museum terkenal itu tidak jelas, sehingga setelah menitip tas ransel kecil yang kubawa, saya langsung masuk lewat pintu sebelahnya... saat sedang menikmati benda-benda kuno yang dipajang dalam lemari kaca, seorang perempuan petugas menghampiri saya memberitahu bahwa saya harus membeli tiket di counter depan. Khusus untuk peserta WYD diberi harga khusus tiket masuk 1 euro.

Setelah itu perjalanan sejarah peradaban Jerman dan dunia dimulai... Museum ini menyimpan koleksi benda-benda purba, tulang belulang, perkakas, perhiasan, persenjataan, serta diorama peradaban masa lampau.

Love statue
Ada yang menarik perhatianku, sebuah tugu yang dibuat untuk memperingati seorang kekasih yang meninggal. Sebuah ode terpahat di sana. Tugu itu didirikan oleh seorang perempuan bangsawan untuk kekasihnya, seorang prajurit yang berasal dari kalangan kasta rakyat biasa. Mereka terpisahkan oleh tradisi. Dan menurut keyakinan, prajurit yang gugur tadi tak dapat bersatu dengan perempuan itu bahkan di dunia akhirat. Karena itu sang gadis menuliskan kalimat pada tugu dengan sangat sedihnya [sayang saya tidak mencatat terjemahannya, fotonya saja yang dapat saya ambil].

Hubungan Roma [sebagai pusat dunia] dan German di masa lampau tampak jelas dari pengaruh budaya dan arsitekturnya. Sejak tahun 20 SM Jenderal Agrippa dari Romawi menguasai Jerman dan kemudian dinamai: “Colonia Claudia Ara Agrippinensium”. Ada suatu sudut dalam museum berupa potongan lantai bermozaik kuno dan diding masa Romawi yang pernah dipakai sebagai setting tempat jamuan makan malam para pemimpin UE dan World Economic Summit, Presiden Bill Clinton, Jacques Chirac dan Gerhard Schroeder di tahun 1999.

Selesai mengunjungi museum, saya meneruskan jalan-jalan sore ke arah Neumarkt. Di jalan saya berpapasan dengan tiga orang ibu dari Indonesia: Ibu Helena, Ibu Helen dan Ibu Indri. Kejadiannya juga serba kebetulan. Mereka sedang ngobrol dalam bahasa Indonesia, dan saya menyapa mereka. Mereka juga surprise melihatku terutama setelah tahu bahwa saya dari Makassar, Indonesia. Dan sore itu saya berjalan hanya mengenakan kaos t-shirt dan sendal.
“Mas Toni kok tahan dingin ya, hanya pakai kaos dan sendalan...”, tanya mereka.
Saya cuma cengengesan. Maklum sudah alumni nginap semalam di Marienfeld. Mungkin karena itu saya dapat kebal dari cuaca dingin sore itu. Ibu-ibu itu sudah lama tinggal di Koeln dan mereka bercerita bahwa mereka baru saja mengantar seorang teman ke stasiun Koeln Hbf. Setelah bertukar alamat e-mail, kami pun berpisah dengan pesan dari mereka: “jangan lupa pakai jaket dan sepatu kalau jalan-jalan...” [hehehe... aku memang sengaja tidak bawa sepatu, karena penuh-penuhin ransel]

Pope Benedictus banner
Sepanjang jalan ke Neumarkt, toko-toko pada tutup. Maklum hari Minggu, banyak toko libur. Bahkan pada hari Senin juga beberapa toko suka tutup, kata seorang teman. Saya berjalan sampai di depan toko legendaris itu: 4711. Parfum yang sangat terkenal di Indonesia pada tahun 1980-an. Sayang tokonya juga tutup, jadi saya hanya dapat memandang etalasenya. Terdapat poster-poster yang mengisahkan sejarah parfum 4711.

Ramuan rahasia parfum itu awal mulanya dibuat oleh seorang rahib, dan dihadiahkan kepada raja dalam pesta perkawinan. Ramuan tersebut kemudian dikembangkan dan diberi merek 4711, sesuai dengan nomor rumah yang ditempati. Rumah bersejarah itu sudah berubah menjadi pertokoan tempat saya berdiri sekarang.

Mbak Ina mengirim SMS memberitahukan bahwa jam 20 mereka akan tiba di Koeln Hbf dari Marienfeld. Saya diajak untuk makan malam bersama. Karena itu saya segera kembali ke stasiun Koeln. Sambil menunggu, saya masuk ke kios buku mengamati majalah, koran dan buku-buku... bahasa Jerman semua! Koran lokal mengangkat tema kunjungan Paus ke Jerman sebagai berita utama, beberapa koran memuat foto ukuran besar suasana Marienfeld yang begitu ramai.

Lewat pukul 20, stasiun makin ramai. Mbak Ina dan kawan-kawan tidak kelihatan. Saya memutuskan untuk balik ke Fuhlinger See agar tidak kemalaman. Sebelumnya beli sepotong pizza Hawaiian seharga Eur 1,50 untuk makan malam.

Di jalan, saya berkenalan dengan anak-anak Siberia: Xeniya, Luda dan Tanja. Kami asyik ngobrol sambil menunggu kereta tiba. Mereka bilang Siberia tidak sedingin yang orang bayangkan. Tempatnya asyik, ada salju dan sinar matahari. Mereka mengajak saya mampir ke sana... Waduh, jadi pingin deh jalan-jalan ke Siberia.

Dalam kegelapan malam di Fuhlinger See, saya berjumpa dengan seorang anak Portugal yang melangkah gontai menggendong ransel. Dia bercerita bahwa sudah 5 jam dia berjalan kaki dari Marienfeld ke sini. Macet, katanya. Kereta dan bus dari Marienfeld penuh sesak dengan peziarah yang hendak kembali ke Koeln. Waduh, membayangkannya saja menyeramkan. Karena tidak mau menunggu, dia memutuskan berjalan kaki kembali kemari. Rencananya, begitu tiba di kemah, dia ingin langsung tidur.

Tengah malam, saat sedang duduk-duduk menikmati pemandangan di pinggir danau, Hubert dan Julia datang menghampiriku.
“Toni, dari mana saja seharian?”
“Saya pulang dari Marienfeld pagi tadi...” jawabku.
“Semalam kamu nginap di Marienfeld?” tanyanya lagi.
“Yup”, jawabku singkat.
Lalu Hubert tertawa keras.
“You are crazy... kamu nginap di Marienfeld lalu pulang pagi-pagi...”, katanya meringis.
Saya menceritakan mengenai anak Porto yang tadi berjalan kaki 5 jam karena traffic jam.

Lalu saya mampir ke tenda makan untuk membuat teh panas. Di sana ada anak Malaysia, mereka juga baru kembali dari Marienfeld. Di ruangan sebelah tenda makan, musik menghentak-hentak... beberapa relawan sedang asyik berdansa.

Ini adalah malam terakhir bagi beberapa relawan yang akan pulang besok. Masa menginap kami di Fuhlinger See tidak lama lagi.
Sekarang saya dapat menikmati istirahat di dalam kemah, tempat pertama kali kami tiba di sini... seperti biasanya, di bawah taburan bintang-bintang.

Monday, October 10, 2005

Melamun di Dom 11: we have seen the star

20 Agustus 2005

Pukul 5 pagi saya sudah harus bangun. Karena acara kemas-kemas masih dilanjutkan, saking banyaknya barang bawaan yang harus disortir... selain itu shift pertama tugas pagi di Marienfeld adalah saya dan Fulques. Kami sudah janjian bertemu di Messe jam 7.30. Saya berencana menyimpan ransel besar di mesin penitipan barang otomat di Koeln Hbf, tarifnya 2 euro per hari.

Armel muncul di tengah kesibukan berkemas. Dia bilang tas ransel saya disimpan saja di atas lemari, romo yang nginap cuma semalam saja di kamar. Jadi saya terbebas dari rencana ke Koeln Hbf buat menyimpan ransel. Saya dapat berlenggang ke Messe dengan hanya membawa ransel kecil, sleeping bag dan bedroll [duhai bedroll, hingga sekarang aku belum pernah menggunakanmu...].

Tiba di Messe, cukup sulit menemukan di mana tempat pemberangkatan bus. Messe luas sekali. Aku mengikuti anak-anak muda yang baru turun dari kereta dan berjalan melewati terowongan hingga tiba di shelter bus khusus ke Marienfeld. Banyak sekali relawan yang menunggu untuk diberangkatkan. Bus yang tersedia cukup banyak. Setiap 3 menit bus berangkat dan terisi penuh.

Pukul 7, saya menunggu Fulques. Tuh anak belum tiba dari Fuhlinger See. Jadi saya gunakan sleeping bag yang masih tergulung sebagai alas duduk. Setiap rombongan relawan yang datang saya perhatikan. Beberapa menit berlalu, Fulques belum muncul juga. Nomor hp-nya saya tidak punya.

Yang muncul justru Mariana, si jejak petualang...
“Eh lu orang ke mana saja...”, langsung saya menyamperinya. Dia cuma cengengesan menenteng ransel sambil memperkenalkan teman grupnya. Katanya dia nginap di Messe selama ini. Kemudian dia pergi bersama arus relawan yang naik ke bus. Dasar, Mariana. Tuh anak sempat dicari-cari sama mbak Ina dan Agnes. Saya cuma bilang tuh anak gak usah dicari, ntar muncul sendiri... benar kan?

Pukul 7.30 Fulques belum muncul, jadi saya ikut dengan bus ke Marienfeld. [Tadi sempat sakit perut, tapi nggak usah saya cerita mengenai perjumpaanku dengan Dixi di pagi yang cerah itu, ya... hehehe].

Sekitar jam 9 bus kami tiba di Marienfeld. Yang tiba sepagi itu di Marienfeld adalah para relawan yang membantu menyiapkan tempat. Siang nanti barulah peserta berbondong-bondong memasuki Marienfeld.

Florian Jung rupanya nginap di sini semalam. Markus dan Kristina juga sudah ada, tapi saya tidak tahu apakah mereka juga nginap sejak malam tadi.

Fulques sempat nelpon ke Jung. Tahu nggak, dia bilang lagi nyasar naik kereta ke Aachen. Aachen? Itu kan berlawanan arah dari Koeln. Ya ampun, Fulques! Ternyata orang Eropa bisa juga nyasar di sini.... hehehe. Maklum sih, bahasa Jerman beda banget sama bahasa Perancis. Aku sempat ngirimi Fulques sms berupa petunjuk ke Messe: “It’s Toni. Just go to Koeln Messe and follow the volunteers there. Ask the officer with white suite. You will pass the tunnel and find buses line. See u, Fulques!” [maklum sms itu belum kuhapus. sesudah ini baru dapat kuhapus karena sudah tersimpan...]

Nggak tahu apakah sms tsb bermanfaat apa tidak, yang pasti beberapa saat kemudian baru dia muncul sambil cengar-cengir... dia nyasar betulan sampai ke Aachen. Jung kemudian beristirahat di tenda. Kami berdua berjaga di posko. Kristina minta bantuan kami untuk mengatur ransum berupa kotak-kotak makanan dan bungkusan roti tawar. Kotak makanan disusun menyerupai tembok benteng, dan kemudian bungkusan-bungkusan roti tawar ditaruh di dalam.
Yang dia kuatirkan adalah bila hujan turun sewaktu-waktu. Dengan mudah terpal dapat ditutup di atas “benteng makanan” ini. Ramalan cuaca cukup mencemaskan, katanya diduga hujan akan turun pada puncak perayaan WYD di Marienfeld. Apalagi langit terlihat agak mendung.

Kemudian security vest alias rompi relawan untuk jaga malam dalam dos-dos musti kami turunkan dari mobil, lalu dibagikan ke relawan yang baru tiba. Fulques semangat sekali mengangkut dos-dos itu. Asyik bila dapat rekan yang semangat juangnya tinggi.

Agak siang, Edward dan Estelle tiba. Jam 13 mereka menggantikan tugas kami di pos jaga.
Markus kemudian memanggil kami dan meminta untuk mengantarkan sepeda ke relawan di Frechen. Sepeda yang dimaksud adalah sepeda Deutsche Bahn [DB], keren sekali dengan kunci digital. Saya dan Fulques bersedia melaksanakan tugas itu. Frechen terletak sekitar 5 kilometer dari situ. Sesudah itu kami musti pulang dengan berjalan kaki ke tempat ini...

Yah... yang penting bisa bersepeda, ya toh?
Maka saya dan Fulques mengayuh sepeda sambil membawa peta yang diberikan Markus. Cukup sulit juga menentukan arah, karena melewati hutan-hutan. Tapi asyik sekali pakai sepeda DB, ada persenelingnya. Yang payah waktu melewati tanjakan bukit-bukit, musti dikayuh sambil ngos-ngosan... hehehe, rupanya saya sudah cukup tua untuk hal ini.

Singkat cerita, kami tiba di Frechen dengan sehat walafiat. Sepeda DB kami berikan kepada yang berhak... dan kami pulang berjalan kaki. Apa?? Nahhh... ini dia yang menarik. Seperti anak hilang kami berjalan kaki pulang. Lalu saya tanya Fulques, berani nggak hitching?
“What? Hitching?? What is hitching?” tanyanya culun.
Lalu saya jelaskan bahwa menurut buku Lonely Planet, hitching itu nama lain dari nebeng alias numpang di mobil orang. Soalnya ada turis yang modal cekak suka ‘hitch hiking’ di daratan Eropa... lalu dengan tenangnya dia mengacungkan jempolnya setiap kali ada mobil yang lewat.

Saya nggak berani melihat dan menahan tawa saat mobil tersebut dengan tenangnya melewati kami... hahaha. Ada beberapa mobil berlalu. Mobil berikutnya sebetulnya sudah melewati kami, namun kemudian direm. Thanks to God. Rupanya ada juga yang tergerak hatinya memberikan tumpangan kepada dua pemuda nyasar...

Pengemudinya seorang ibu. Dia mengenali kami dari kaos WYD yang kami kenakan dan menebak bahwa kami hendak ke Marienfeld. “Benar sekali...”, serempak kami menjawab. Di belakang kaos kami memang tertulis menyolok ‘volunteer’.
Lalu ibu itu bertanya saya berasal dari mana. “Indonesia”, jawabku. “France”, jawab Fulques. Langsung ibu yang baik hati itu ngomong dalam bahasa Perancis sama Fulques. Kami diturunkan di pinggiran Marienfeld karena ibu itu mau meneruskan perjalanan ke tempat lain. Itu saja sudah merupakan berkah buat kami sehingga tidak perlu berjalan kaki beberapa kilo. Mukjizat lagi?

Kami menempuh jarak yang tersisa melalui hutan dan melintasi ladang. Rombongan peziarah mulai ramai memasuki kawasan ini. Akhirnya tiba di posko kami... Fulques rencananya mau balik ke Koeln untuk ambil cucian di Ursulinen.

Jung sudah bangun dan memegang sebuah sepeda DB. Saya ingin ke lokasi dalam Marienfeld, soalnya di jalan tadi Agnes sms meminta saya datang ke tempatnya di blok B5, katanya ada Jayadi, mahluk Indonesia yang studi di Jerman. Maka saya meminjam sepeda DB yang dipakai Jung untuk masuk ke dalam lokasi.

Inilah kesempatan saya pertama kali meninjau lokasi ‘perkampungan’ peziarah yang akan dipakai nginap malam nanti.

Wow, ramai sekali... sepanjang jalan penuh dengan kaum muda yang baru datang membawa ransel besar dan sleeping bag, berpapasan dengan mereka yang membawa kotak makan siang. Macet sungguh... sepeda DB yang saya kendarai musti dengan bunyi lonceng klakson, ucapan “excuse me”, sambil tak lupa tersenyum... biasanya mereka pun dengan senang hati minggir, apalagi karena saya mengenakan kaos volunteer.

Beberapa kali nyasar, karena saya tidak membawa denah lokasi... baru kemudian tiba di blok B5. Ini tempat dikhususkan bagi para volunteer menginap. Seragam merah semua, jadi ada sekitar 3 kali saya mengitari tempat ini mencari wajah Indonesia bernama Agnes. Dan ketika sudah hampir putus asa, ya astaga, dia ada di sana sedang duduk ngobrol... Saya pun berkenalan dengan Jayadi. Katanya dia nginap di blok lain.
“Agnes sudah makan?” tanyaku dengan manis.
Dijawab Agnes: “belum”. Maka aku pun bercerita bahwa kami punya ‘benteng makanan’ di luar sana. Kalau mau aku ambilkan. Agnes setuju, jadi aku musti balik buat mengambilkan makanan.

[sebetulnya rencana saya sore itu mau balik ke Fuhlinger See untuk beristirahat di kemah kami yang permai]
Sepeda DB kukembalikan dan dikunci secara digital dulu. Lalu aku minta beberapa dos makanan pada Kristina yang diberikannya dengan senyum manis. Kemudian aku berjalan kaki kembali memasuki areal yang penuh sesak dengan manusia. Kali ini aku membawa denah lokasi, jadi mudah mencari jalan terdekat...

Beberapa kali nyasar di blok B5 sebelum bertemu Agnes... soalnya semua memakai seragam merah sih. Agnes senang sekali melihat aku datang. Bedroll-ku sekarang bisa digelar di atas bedroll-nya yang luas sekali. Di sekitar kami sudah penuh dengan para relawan, sehingga sulit mencari lahan kosong.
“Eh Ton, Armel ada di blok lain... kasihan tuh, katanya dia belum dapat makan. Aku bawakan ya dos makanan untuk dia...”, kata Agnes.
Dan sekarang aku sendiri. Matahari sore bersinar terik. Konser musik ditayangkan di layar lebar di setiap blok. Aku coba berbaring untuk istirahat.

Sewaktu berjalan ke sini tadi aku sempat merasa sesuatu yang aneh di hatiku... di tengah lautan manusia dari segala bangsa ini, apa gerangan yang menginspirasikan sehingga kami datang ke sini? ‘Kegilaan’ macam apa ini? Kemudian dengan rasa tak percaya, terbersit rasa bangga bahwa kini aku menjadi bagian dari lautan ini. ‘we have come to worship Him’.

Agnes membeli beberapa kandil untuk acara nanti malam. Baik sekali tuh anak. Dia mau ngajak Stella dan mbak Ina beramai-ramai nginap di atas bedroll-nya. Aku pergi mencari air minum... berjalan melewati deretan boks Dixi. Oh ya, ada toilet khusus di tempat terbuka untuk pria buang air kecil. Terbuat dari plastik berbentuk bundar dan dibagi 4 bagian. Jadi empat orang bisa pipis bersamaan, di tengahnya ada lubang saluran penampung. Terus, untuk cuci tangan, nggak pakai air, cuma pakai dispenser cairan pencuci tangan yang mirip alkohol.

Keran air minum tersedia untuk peziarah. Di sana saya mengisi botol minum. Sayang botol yang saya bawa ukuran 500ml, botol-botol besar sudah kubuang karena terlalu makan tempat. Padahal untuk saat ini saya butuh botol besar daripada harus bolak-balik ngantri untuk isi air minum.

Jam 20, Paus Benediktus XVI tiba. Peserta ramai sekali mengelu-elukan: “be-ne-det-to...’ berulang kali. Beliau menumpang di mobil papal yang anti-peluru itu. Kami memandangnya dari layar lebar. Kelihatan dekat sekali namun jauh di atas bukit yang khusus didirikan sebagai panggung.

Ibadat dimulai saat hari senja. Lilin-lilin dinyalakan. Tempat ini semakin penuh dipadati peziarah. Tidak hanya kaum muda, ada juga kakek-nenek, bahkan anak-anak kecil dalam kereta bayi. Mereka akan menginap semalam suntuk di lapangan terbuka Marienfeld. Termasuk orang cacat yang ditemani paramedis.

Selesai prosesi ibadat malam, sekarang kami hendak beristirahat. Sleeping bag digelar. Bayangin, 4 sleeping bag di atas matras Agnes: aku, mbak Ina, Stella dan punya Agnes sendiri. Posisi Agnes terjepit di bawah kaki Stella dan mbak Ina. Maklum badannya kecil jadi bisa nyungsep... hehehe.

Aku dapat memandang bintang-bintang di langit serta embun yang berjatuhan dari langit... sebuah pengalaman yang sangat berkesan.

Sungguh, kami telah melihat bintangNya!

dikau

engkau di sini
berbayang malam
saat kusandarkan letih
di pundakmu

terbanglah, terbangkan
tidurku
dengan sayap malam
dan titian angin
akan kutunjukkan
tempat para peri bersama manusia
di mana
setiap kisah tak kunjung akhir

Melamun di Dom 10: Du sei bei uns in der Mitte

19 Agustus 2005

Hari ini kami sedikit bernafas lega. Tiada tugas sepanjang pagi hingga siang, selain janji meeting sore di depan tenda Jung untuk persiapan puncak WYD di Marienfeld. Justru karena itu, saya jadi sempat ragu sewaktu naik kereta pagi itu, maunya langsung ke Fuhlinger See, tapi saya berhenti di Hansaring. Di peron Hansaring mustinya lanjut dengan kereta lain ke Chorweiler... keretanya cukup lama muncul, saya turun dan berjalan mengelilingi stasiun. Oh ya, di kejauhan tampak gedung toko Saturn. Jadi saya berjalan ke sana.

Toko Saturn adalah jaringan waralaba penjualan barang elektronik di Jerman, pesaingnya adalah toko Media Markt. Hampir semua daerah Jerman dijangkau oleh kedua konglomerasi ini. Harga barang yang ditawarkan cukup bersaing, apalagi bila barang tersebut sedang promo. Perang dagang kedua toko sangat terasa bila melihat poster-poster iklan yang dipasang pada halte-halte. Misalnya, Saturn dengan mottonya: “Geiz ist Geil!” menjual MP3 Player 512Mb seharga 39 Euro. Di tempat lain Media Markt dengan mottonya: “Ich bin doch nicht bloed” juga memasang iklan MP3 Player dengan harga lebih rendah.

Pembeli tentu yang diuntungkan. Meskipun sedikit bingung sebelum memutuskan jadi belinya yang mana? Saat memasuki Saturn Hansaring, saya sempat nyasar. Pikir saya karena sudah berada di toko Saturn, maka ibarat supermarket, barang elektronik lainnya mungkin ada di lantai atas... ya ampun, dari lantai satu sampai lantai [ada 3 lantai] atas hanya melulu menjual produk CD, termasuk VCD, DVD, CD musik bahkan piringan hitam... hehehe. Rupanya bangunan yang saya masuki khusus menyediakan CD doang.

Aku langsung mencari pintu keluar saat menyadari bahwa bukan tempat ini yang kumaksud. Nyebrang jalan, baru ketemu Saturn barang elektronik. Selamat datang di surga benda-benda ajaib! Dibandingkan Saturn di Galeria Kaufhof kemarin, Saturn Hansaring memang lebih luas dan lengkap koleksinya. Misalnya telepon PSTN wireless, mulai dari merek Siemens, T-Com, serta jenis-jenis dan harganya... belum lagi bila ada barang yang dianggap cacat [boksnya tidak utuh], harganya jatuh sangat murah.

Setelah melewati kasir, wisatawan diberikan formulir pengembalian pajak atas harga barang yang dibayar. Ada desk khusus di toko yang melayani tax refund. Dan untuk itu musti menunjukkan paspor kepada petugas. Formulir yang sudah dicap, nanti dapat ditunjukkan kepada pabean di bandara untuk mendapatkan pengembalian pajak tadi.

Selesai dari Saturn saya kembali ke stasiun Hansaring. Menunggu kereta menuju ke Fuhlinger See.

Hari sudah siang. Di tenda makan Fuhlinger See, saya duduk semeja dengan beberapa teman baru: Inga, Simone dan Sarah. Mereka sedang ngobrol dengan teman-teman grup kami. Sebetulnya saya tidak terlalu ingat lagi peristiwa siang itu. Setelah kembali di Indonesia, Inga menulis e-mail dan menceritakan kejadian lucu di meja makan...

Kami mengobrolkan mengenai peristiwa kemarin. Mereka katanya sempat ke Sungai Rhein untuk melihat Bapa Suci... Kebetulan surat kabar memasang berita utama kedatangan Paus di Koeln. Ada foto Bapa Suci yang baru mendarat dari pesawat, dan saya coba menirukan... mereka ketawa terbahak-bahak. Piring kertas yang ada di meja saya taruh di kepala. Detailnya tidak dapat saya ungkapkan. Setelah peristiwa itu, melalui e-mail, Inga bercerita bahwa piring kertas itu kemudian diminta oleh peserta lain untuk dipakai makan... dengan senang hati mereka berikan. Dan itulah yang membuatku gantian ketawa saat membaca e-mailnya.

Selesai makan siang, kami duduk-duduk di tepi danau. Jung dan Sandra sedang membuat tabel tugas untuk acara di Marienfeld besok. Beberapa teman sedang jemuran di bawah matahari. Hubert mengambil gitar dan bernyanyi-nyanyi dengan beberapa teman. Seru dan asyik juga mendengar lagu Jerman yang mereka nyanyikan. Lalu Jung ceburan ke dalam danau...
Mereka mengajak saya untuk ikut berenang... “tunggu”, jawabku... saya berlari ke kemah yang beberapa hari kami tinggalkan. Setelah berganti pakaian baru nyebur ke danau...

Bbbrrr... dingin sekali airnya. Ada ikan kecil-kecil berenang di dasar danau. Bebek-bebek yang biasanya berenang di permukaan danau, telah lari menjauh. Beberapa teman yang berani berenang sampai ke tengah danau dan duduk di bak pelampung yang ada di sana.
Kemudian hujan gerimis turun... teman-teman berlarian masuk ke dalam kemahnya. Acara berenang tidak dapat dilanjutkan. Aku pun juga balik ke kemah.

Sore hari, Mbak Ina datang. Seharian ini Mbak Ina istirahat di apartemen Armelia. Jam 17, grup kami berangkat bersama-sama ke stasiun menuju ke Horem. Hujan yang turun semakin deras.

Sepanjang jalan, Melitta menyanyikan lagu yang suka kudengar: “Du sei bei uns”. Lagu ini dinyanyikan dalam doa permohonan waktu misa pembukaan di Dusseldorf. Iramanya seperti tarian Hawaii... liriknya: “Du sei bei uns in der Mitte... Hoere Du uns, Gott”, dan saya ikut menari.
“Nyanyikan dong lagu Mitte”, begitu saya minta pada Melitta. Karena nggak hapal kalimatnya, aku hanya ingat Mitte doang... dan dia ketawa kalau saya bilang ‘mitte’. Dengan senang hati dia pun menyanyikan lagu ini... sampai kami tiba di Marienfeld.

Lapangan Bunda Maria, demikian arti harafiah Marienfeld. Kabarnya pernah terjadi mukjizat di sini jauh sebelum dijadikan tambang. Namun baik tambang, maupun tempat mukjizatnya tidak dapat terlihat. Yang ada lapangan yang luas sekali, lebih mirip ladang yang membentang. Tanah becek dan tergenang air hujan. Namun jalanan akses ke areal World Youth Day telah diaspal. Panitia tentu telah bekerja keras berbulan-bulan menata tempat ini.

Posko kami di Info Point gate 2. Di sana kami berkumpul sore itu. Tepatnya berteduh. Sambil menunggu kedatangan Markus, komandan dari Jung yang akan memberi instruksi.

Pukul 19, langit masih terang. Kami menikmati bekal makan malam berupa roti dan ikan kaleng. Teman-teman Perancis bernyanyi-nyanyi lagu Perancis dengan merdunya. Katanya itu nyanyian “Notre Dame”, pujian bagi Bunda Maria.
Sesudah itu, Markus baru muncul. Umurnya kelihatan sudah cukup tua. Dia asli nggak bisa berbahasa Inggris, untunglah ada Kristina, rekannya, seorang ibu yang lancar berbahasa Inggris, sambil tidak berhenti merokok. Kami akan bergantian bertugas di posko ini mulai besok pagi, bahkan ada yang kebagian jaga malam hingga pagi.

Dari tempat kami, kubah tempat Paus akan merayakan misa tak dapat terlihat karena terletak di kejauhan. Matahari telah terbenam. Selesai instruksi, kami diantar dengan mobil kembali ke stasiun Horem untuk pulang ke rumah.

Ina memberitahukan bahwa besok kamar yang kami tempati akan dipakai oleh seorang Pastor teman Armelia. Jadi, ketika tiba di kamar pukul 23.30, kami mengemas-kemasi barang bawaan kami sebelum tidur.

Besok adalah puncak perayaan WYD di Marienfeld.

Sunday, October 02, 2005

Melamun di Dom 9: shopping with pope

18 Agustus 2005

Sore kemarin, Donna membawa sekantong besar pakaian kotor saya dan mbak Ina. Dia menawarkan untuk mencucikan pakaian kami di rumahnya di Bonn. “Tak apalah, pakai mesin cuci lekas kok...”, begitu Donna menawarkan bantuan pada kami.

Hari ini kami telah membuat janji, akan mengadakan perjalanan ke Belanda siang hari. Tidak jauh sebetulnya, cuma sampai kota Venlo yang terletak di perbatasan Belanda dan Jerman.
Namun, sebelum itu aku harus ke Fuhlinger See menghadiri rapat di depan kemah Jung.

Jam 10.15 aku tiba, rapat sudah dimulai. Sandra seperti biasa menerjemahkan apa yang diomongkan Jung. Tugas di Marienfeld dibagi dalam beberapa shift kelompok.
“Ina, Donna dan Guntur [dia suka menyebut Gunther] di mana?”, tanyanya.
“mereka ada di rumah”.
“jadi Toni mewakili mereka?” tanya Jung lagi.
“nggak juga sih, tugas saya menyampaikan hasil pembicaraan siang ini kepada mereka...”

Matahari bersinar terik. Pemandangan danau terlihat indah. Setelah pembagian tugas selesai, kami menuju ke tenda makan. Makan siang telah dibagikan, saya sekelompok dengan teman-teman Perancis.

Seperti biasa, menunya pasta, kali ini dimasak dengan jamur. Saya minta Fulques pimpin doa dalam bahasa Perancis. Dia setuju. Lalu makanan dibagikan... Fulques bertindak sebagai kepala keluarga yang baik, saya sempat meledeknya; “dad, who is our mom?”
“ohh, your mom’s name Mary, Toni”, jawabnya.
“Mary who? Mary our mother or Mary our neighbour?”, godaku lagi...
Si Fulques jadi merah padam... hahaha. Kami tertawa terbahak-bahak menggodanya.
Sayangnya saya tidak bisa berlama-lama bersenda gurau dengan mereka, jam menunjukkan pukul 11.30. Saya musti segera kembali ke stasiun. Saya pamitan pada mereka... dan tergesa-gesa ke stasiun.

Jam 12.30 tiba di Dom. Rame sekali suasana di sana. Ada yang sedang membagikan DVD-DVD film Jesus secara gratis. Untung mbak Ina dan Donna segera muncul. Donna membawa sekantung besar pakaian kami yang sudah dicuci dan dikeringkan. Dia bercerita, semalam dia baru sampai di rumahnya di Bonn jam 1 malam, saking penuhnya kereta menuju Bonn oleh peserta WYD. Jadi tengah malam dia begadang nungguin mesin cuci. Suaminya sempat nyari dia di ruang cuci... trims, ya, Donna!

Jam 13.25 kami berangkat dengan kereta menuju ke Venlo. Di jalan, sempat ada pemeriksaan tiket, kami menunjukkan ID volunteer yang kami kenakan, namun karena jarak yang ditempuh melewati perbatasan Jerman, kami musti membayar tiket. Demikian juga paspor kami tak luput dari pemeriksaan. Mbak Donna tidak membawa paspor, dia ngomong dalam bahasa Jerman menjelaskan kepada petugas. Untunglah petugas itu mau mengerti...

15.30 kami tiba di Venlo. Kami jalan-jalan di sepanjang emperan toko-toko. Suasananya tidaklah asing, selain berbahasa Belanda, dan begitu banyak ‘sale’ barang-barang murah digelar. Donna membeli sandal kelom seharga 2 euro. Mbak Ina sibuk memilih arloji buat suami kesayangannya di Jakarta... dan aku cuma memerhatikan keramaian di sana. Ada dua aktris teater jalanan yang dicat sekujur tubuh dan pakaiannya sehingga mirip patung. Mereka bergaya diam, bila ada yang memberikan uang koin baru mereka bergerak normal. Unik juga.

Christ statue at Venlo
Donna cerita, negeri Belanda lebih longgar aturan hukumnya. Misalnya mengisap mariyuana dilarang di Jerman, sedangkan di Belanda diperbolehkan. Maka orang Jerman ada yang ke Venlo cuma buat ngisap mariyuana. Demikian pula bila mencari suaka politik, banyak yang lari ke Belanda.

Jam 18.15 kami kembali ke stasiun, matahari masih bersinar terang. Kami berkenalan dengan dua gadis yang hendak ke Jerman untuk mengikuti kegiatan WYD. Namanya Elske dan Schoen. Mereka justru minta petunjuk jalan pada kami.
Kemudian mereka minta tanda tangan kami pada topi yang mereka kenakan... ketemu fans, nihh...

Dom's hall crowded
Pukul 19.30 kami tiba di Dom. Suasana ramai sekali, karena Bapa Paus tiba di Jerman dan sore ini mengunjungi Dom. Dom ditutup oleh polisi, segala akses diblokade dengan portal. Orang-orang berdesakan untuk melewati jalan sempit yang tersedia. Sampah tampak bertebaran di seluruh halaman Dom.

Di sebuah sudut Dom, ada pos jaga polisi yang sudah kosong... makanan kaleng bergeletakan di mana-mana, selain itu kaleng-kaleng aerosol [parfum], dan pisau-pisau lipat. Tampaknya di tempat ini beberapa jam lalu dijadikan tempat screening peserta yang ingin masuk ke Dom, dan segala barang tersebut harus ditinggalkan di pos. Tampak beberapa orang sedang memunguti benda-benda tersebut.

Saya berjalan ke Media Markt dan Saturn Galeria [toko barang elektronik] mencoba membebaskan diri dari arus massa. Di sana melalui layar televisi aneka model yang dipajang di toko saya mengikuti liputan berita kunjungan Paus di Jerman. Paus mendarat di bandara dijemput oleh pejabat negara Jerman. Massa terlihat memenuhi tepi Sungai Rhein. Paus menumpang di perahu Rhein Energie dan melambai-lambaikan tangan. Sayangnya, sempat terjadi insiden: Kayu salib WYD yang telah dibawa keliling Eropa, dan sekarang ditegakkan di perahu tersebut sempat jatuh [patah] akibat tertiup angin. Untunglah Paus tidak duduk tepat di bawah kayu salib... ini benar-benar di luar skenario panitia, tentu saja.

Betapa jernih dan jelas kunjungan Paus terlihat dari layar kaca televisi... rasa-rasanya saya berhadapan langsung dengan Paus Benedetto... oh ya, massa kaum muda mengelu-elukan Bapa Suci dengan seruan: Be-ne-det-to... tak henti-henti. Antusiasme kaum muda tak terperikan dalam peristiwa ini.

Jam 22.30 saya kembali ke stasiun Koeln Hbf. Massa masih memadati stasiun. Stasiun sempat diblokade polisi... dengan susah payah, akhirnya bisa lewat juga.
Tiba di rumah, kami masak mie ditemani sayur kaleng dan tuna... lumayan buat makan malam. Tadi hampir semua restoran tutup, semua makanan mereka laris diserbu peziarah.